Aksi DPR Sumatra Tengah, Awal Perlawanan pada Pemerintah Pusat

Aksi DPR Sumatra Tengah, Awal Perlawanan pada Pemerintah Pusat

Peta Wilayah Sumatra Tengah. (Peta: openstreetmap.org)

Langgam.id - Dewan Perwakilan Rakyat Sumatra Tengah (DPRST) menggelar sidang pleno pertama setelah kembali diaktifkan pascaperang kemerdekaan. Bersidang selama sembilan hari, DPRST menghasilkan sejumlah keputusan yang mengawali perlawanan dan konflik dengan pemerintah pusat.

Sidang yang digelar sekitar tiga bulan setelah provinsi Sumatra Tengah diaktifkan kembali itu, digelar sejak tanggal 2 dan berakhir pada 11 April 1950, atau tepat 69 tahun yang lalu dari hari ini, Kamis (11/4/2019).

Sejarawan Universitas Andalas Gusti Asnan menyebutkan, pada hari kedua sidang saja, dewan legislatif tersebut sudah memutuskan untuk mengajukan mosi tidak percaya kepada gubernur Sumatra Tengah.

"Mosi tidak percaya kepada Gubernur Mohammad Nasrun, yang memang ditunjuk dan diangkat oleh pusat," tulis Gusti dalam tulisannya 'Dinamika Pemekaran Wilayah di Sumatera Tengah' dalam Buku 'Antara Daerah dan Negara: Indonesia Tahun 1950-1n'.

Nasrun sudah menjabat gubernur Sumatra Tengah sejak 1948. Berdasar UU No 10 tahun 1948, wilayah Sumatra Tengah adalah wilayah keresidenan Sumatra Barat, Riau dan Jambi. Pramoedya Ananta Toer dkk dalam Buku 'Kronik revolusi Indonesia: 1948' mencatat, Nasrun diangkat jadi gubernur pada 30 Mei 1948. Pada saat yang sama diangkat gubernur Sumatra Utara dan Sumatra Selatan serta tiga komisaris negara di Sumatra.

Kondisi perang membuat jalannya pemerintahan tidak efektif. Hanya tujuh bulan setelah dibentuk, pada 19 Desember 1948 Belanda melancarkan Agresi Militer II. Pemerintah Darurat Republik Indonesia yang dibentuk dua hari setelah itu, menentukan seluruh daerah di Sumatra menjadi pemerintahan militer, terbagi atas lima wilayah.

Wilayah Sumatra Tengah terpecah jadi tiga. Sumatra Barat berdiri sendiri di bawah Gubernur Militer Sutan Mohammad Rasjid. Jambi bergabung dengan wilayah Sumatra Selatan di bawah pimpinan Gubernur Militer AK Gani. Riau berada di bawah Gubernur Militer RM Utojo. Belakangan, pada 1 April 1949 wilayah Riau digabungkan dengan Sumbar di bawah Rasjid dan kembali menjadi Sumatra Tengah (minus Jambi).

Pemerintahan Militer Sumatra Tengah inilah yang berjalan sampai akhir 1949. Usai pengakuan kedaulatan oleh Belanda, pada 1 Januari 1950, pemerintahan militer dihapuskan oleh pemerintah pusat.

Di buku yang sama, Gusti Asnan menyebut, pemerintahan sipil kembali dijalankan, sehingga Provinsi Sumatra Tengah kembali diaktifkan. Namun, berita penghapusan tersebut terlambat sampai di Sumatra. Sehingga, pemerintahan provinsi baru berjalan efektif pada 1 Februari 1950.

Ketika kembali kepada Pemerintahan Sumatra Tengah Sipil, berarti kembali kepada wilayah Sumatra Tengah yang terdiri atas Sumbar, Riau dan Jambi, sebagaimana yang ditetapkan UU No. 10 Tahun 1948.

Anggota DPRST pun masih sama dengan komposisi pada 1948. DPRST beranggotakan 29 orang dengan perincian, 5 orang dari Riau 4 orang dari Jambi dan 20 orang dari Sumatra Barat.

DPRST ini yang mengadakan pleno pada awal April tersebut. Saat dewan legislatif daerah ini menggelar pleno, di parlemen RIS sedang sibuk membahas kembali ke negara kesatuan Republik Indonesia setelah Ketua Fraksi Masyumi Mohammad Natsir mengajukan mosi integral. (Baca: Memperingati Mosi Integral Natsir)

Hasil pleno DPRST tak disebut menyinggung persoalan ini. Sumatra Tengah saat itu, memang tetap berada dalam Republik Indonesia yang statusnya adalah negara bagian dari Republik Indonesia Serikat.

Hal yang dipersoalkan oleh DPRST adalah masalah daerah dan hubungan pusat dan daerah. Pengajuan mosi, karena anggota dewan menilai gubernur gagal dalam menjalankan tugasnya.

"Nasrun dinilai gagal mengembalikan kondisi sosial dan politik serta ekonomi daerah. Di samping itu, anggota dewan juga menilai gubernur lamban, tidak tegas dan tidak memiliki kemampuan untuk mewujudkan harapan daerah," tulis Gusti.

Sebagai konsekuensi dari kegagalan itu, penandatangan mosi meminta kepada pemerintah pusat agar Mohammad Nasrun diganti dengan salah satu dari empat calon yang mereka ajukan.

"Keempat calon tersebut adalah Ilyas Yakub, Sutan Mohammad Rasjid, Mohammad Djamil dan A. Rahim Usman," tulis Gusti, mengutip Buku 'Sumatra Tengah' (1953).

Ilyas Yakub adalah Ketua DPRST dan merupakan tokoh Masyumi yang berpengaruh. Mr. Sutan Mohammad Rasjid adalah mantan residen Sumatra Barat kemudian menjadi gubernur militer yang sukses mengawal perjuangan selama perjuangan PDRI. "Secara politik, beliau adalah salah seorang pendukung PSI," tulis Gusti.

Sementara, Mohammad Djamil merupakan mantan residen ketiga Sumbar sebelum Rasjid. "Ia juga mantan direktur Universitas Sumatera di Bukittinggi yang ditujukan khusus untuk mencetak pamong utusan hampir semua keresidenan di Sumatra."

Sedangkan A Rahim Usman adalah politisi yang sejak awal sudah terlibat dalam lembaga legislatif daerah, mulai dari Komite Nasional Indonesia Daerah hinga DPRST.

Menurut Gusti Asnan, semula Gubernur Nasrun tidak mengacuhkan isi mosi tersebut. Dalam sebuah jumpa pers ia menanggapi, bahwa ia tidak bertanggung jawab kepada DPRST, tapi menteri dalam negeri.

Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia saat itu adalah Susanto Tiroprodjo. Sementara perdana menterinya adalah Abdul Halim. Ini adalah kabinet Republik Indonesia di bawah Presiden Assaat yang menjabat sejak 21 Januari hingga 6 September 1950. Republik Indonesia sendiri saat itu adalah negara bagian dari Republik Indonesia Serikat.

Kabinet ini tidak memenuhi tuntutan DPRST. Tidak satupun dari empat calon yang diajukan ditetapkan jadi gubernur. Pada Juli 1950, menurut Gusti, Mendagri mengganti Nasrun dengan SJ Sutan Mangkuto.

"Bagi DPRST di Bukittinggi, keputusan menteri itu bagaikan jatuhnya 'bom atom' yang sangat tiba-tiba Masalahnya karena yang diangkat bukan empat calon yang diajukan DPRST sebelumnya," tulis Sejarawan UNP Mestika Zed dkk dalam Buku 'Sumatera Barat di panggung sejarah, 1945-1995'.

Ketika kembali ke negara kesatuan dan pemerintahan beralih di bawah Perdana Menteri Mohammad Natsir dengan Mendagri Assaat, masalah ini belum selesai. Pada November 1950, pemerintah pusat mengganti lagi gubernur dengan menunjuk Ruslan Mulyoharjo.

"Keputusan pemerintah pusat ini ditentang habis-habisan oleh anggota DPRST. Mereka menginginkan yang diangkat adalah gubernur definitif, dan itu haruslah salah satu dari calon yang mereka ajukan," tulis Gusti.

Tuntutan DPR Sumatra Tengah tersebut, dilandaskan pada aturan UU No 22 tahun 1948 yang mengatur, "Presiden mengangkat gubernur kepala daerah dari dua atau sebanyak-banyaknya empat calon yang diajukan DPRD."

Penentangan DPRST itu, menurut Gusti Asnan, akhirnya dilanjutkan dengan aksi boikot terhadap acara pelantikan Ruslan yang rencananya digelar pada 23 Desember 1950. Pemerintah pusat membalas dengan membekukan keberadaan DPRST tanggal 6 Januari 1951.

"Bagi Sumatra Tengah, Mr. Assaat punya keputusan yang amat mengejutkan," tulis Wartawan Marthias Dusky Pandoe dalam Buku 'Jernih Melihat cermat Mencatat'.

Kecuali oleh Masyumi, pembubaran ini ditentang oleh semua partai politik dalam DPRST. Pemerintah pusat dituding kejam dan diktator.

Sementara, Masyumi mendukung karena menilai DPRST memang sudah tidak lagi mewakili rakyat. Anggotanya tidak dipilih oleh rakyat, namun hanya karena konsensus elit pada 1946.

"Di samping itu, sikap setuju Masyumi juga dilandasi kenyataan yang menunjukkan, pembekuan dilaksanakan pemerintahan yang dipimpin Mohammad Natsir, orang Masyumi," tulis Gusti.

Perti dan PSII menerima pembekuan, tetapi mestinya dengan cara baik-baik dan demokratis. "PKI, Murba dan PAR tidak bisa menerima baik pembekuan maupun cara pembekuan itu."

Setelah dibekukan, kemudian muncul Komisi Partai-Partai Politik Sumatra Tengah (KPPST) yang terdiri dari 14 partai. Wadah ini memperjuangkan agar ada pemilu untuk membentuk DPRST yang baru. "Keinginan KPPST ini memang sulit dipenuhi karena UU untuk pemilihan dan pembentukan DPRD itu belum ada," tulis Gusti.

Berbagai aksi tersebut, menurut Gusti, seluruhnya dilakukan oleh wakil-wakil DPRST yang berasal dari Sumatra Barat. Berbagai aksi itu, menurutnya, merupakan bagian dari kehidupan berdemokrasi yang sangat dijamin oleh UUDS 1950.

"Bisa juga dikatakan sebagai perlawanan pertama Sumatra Barat terhadap pemerintah pusat," tulisnya. (HM)

Baca Juga

HIMA Sejarah Unand Bekali Angkatan Muda
HIMA Sejarah Unand Bekali Angkatan Muda
Situs Diduga Peradaban Era Neolitik-Megalitik Ditemukan di Lubuk Alung
Situs Diduga Peradaban Era Neolitik-Megalitik Ditemukan di Lubuk Alung
Penutur Kuliner
Penutur Kuliner
Deddy Arsya Dosen Sejarah UIN Bukittinggi
Hasrat Bersekolah dan Ruang Kelas
MSI Sumbar Dorong Penetapan Cagar Budaya Melalui Tahapan Akademik
MSI Sumbar Dorong Penetapan Cagar Budaya Melalui Tahapan Akademik
Seminar Front Palupuh Ungkap Perlawanan Sengit Menghadang Belanda 74 Tahun Lalu
Seminar Front Palupuh Ungkap Perlawanan Sengit Menghadang Belanda 74 Tahun Lalu