Ajaibnya Matrilineal di Minangkabau

Ajaibnya Matrilineal di Minangkabau

Muhammad Fadli. (Foto: Dok. Pribadi)

Minangkabau tempo dulu melahirkan banyak pemikir dan pemimpin. Apa sebenarnya yang istimewa dari ranah Minangkabau? Mengapa begitu banyak tokoh bangsa yang dilahirkan dari rahim wanita berdarah Minang?. Tulisan ini saya (Penulis) awali dengan dua pertanyaan tersebut, pertanyaan yang barangkali juga dipertanyakan banyak orang.

Tidak dapat dipungkiri bahwa tanah Minangkabau adalah tanah kelahiran tokoh-tokoh bangsa, sebut saja Muhammad Hatta, Natsir, Tan Malaka dan lainnya. Tokoh-tokoh tersebut begitu terkenal dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia. Datuk Ibrahim atau yang lebih dikenal dengan nama Tan Malaka bahkan digelari sebagai bapak republik karena pemikirannya. Bukunya “Narr de Republiek” terbit jauh sebelum Indonesia menjadi republik. Bahkan di dalam buku berjudul “Sengketa Tiada Putus” yang ditulis oleh Jeffrey Hadler dituliskan bahwa mengapa etnis Minangkabau begitu populer diteliti oleh peneliti asing setelah Jawa dan Bali, tak lain jawabannya adalah karena keunikan yang ada pada etnis Miangkabau itu sendiri. Buku tersebut juga menyebutkan kalau tak perlu menjadi negara Minangkabau jika para pemikir bangsa Indonesia adalah orang Minangkabau, bukankah itu mengartikan republik Indonesia berdiri dengan andil besar tokoh-tokoh Minangkabau.

Tokoh-tokoh yang disebutkan sebelumnya merupakan keturunan asli orang Minangkabau. Jika dilihat lebih lanjut Pendidikan di Minangkabau dimasa orang-orang tersebut tidaklah semudah mengakses pendidikan seperti masa sekarang. Pendidikan yang ada adalah sekolah-sekolah yang didirikan Belanda dan tidak semua generasi bisa mengakses pendidikan tersebut. Namun disamping pendidikan cetusan Belanda, Minangkabau mengenal pendidikan non formal berbasis Surau. Di surau anak-anak Minangkabau belajar ilmu agama dan bela diri, bisa dikatakan bahwa pembentukan karakter anak Minang dilakukan di surau. Selain itu, di rumah mereka juga dikenalkan dengan falsafah hidup, pengetahuan bertopik adat diajarkan mamak kepada kemenakannya. Tiga poros Pendidikan itu yang membentuk generasi Minangkabau. Segitiga Pendidikan antara Surau – sekolah formal – Rumah Gadang menjadi poros penentu dalam menciptakan generasi Minang yang tangguh.

 Terbentuknya segitiga pendidikan itu juga tidak terlepas dari pengaruh adat yang diterapkan di Minangkabau. Anak laki-laki lebih banyak menghabiskan waktu di surau bahkan mereka tidur di surau karena mereka tida memiliki kamar di Rumah Gadang. Kamar hanya untuk kaum perempuan. Adat Matriarkat yang dianut masyarakat Minangkabau atau lebih dikenal dengan nama Matrilineal, keturunan berdasarkan garis keturunan ibu membentuk pendidikan seperti ini. Posisi laki-laki di Minangkabau ini juga ditulis dengan sangat kritis oleh Hamka dalam bukunya “Adat Minangkabau Menghadapi Revolusi” dituliskan bagaimana miskinnya laki-laki Minangkabau di kampunya sendiri. Mereka tidur di rumah kaum istri dikala malam dan siangnya harus kembali ke kaumnya mengurusi kemenakan. Laki-laki yang bagaikan Abu diateh tunggua yang bisa terbang seketika angin kencang. Tidak memiliki banyak tempat di kampungnya sendiri membuat banyak generasi Minang yang sukses di tanah rantau, dalam budaya diaspora masyarakat Minangkabau laki-laki yang belum berguna di kampung merantau untuk mencari peruntungan hidup. Dibunyikan dalam pepatah Minang berbunyi Karatau Madang di Hulu Babuah Babungo Balun, Marantau Bujang Dahulu di Kampuang Paguno Balun. Sebelum anak Minang marantau mereka dibekali dulu di surau sebelum dilepas merantau ke kampung orang.

Fenomena ini membuat penulis tertarik untuk melihat lebih jauh matrilineal di Minangkabau. Berlanjut pada pertanyaan, mengapa matrilineal di Minangkabau sanggup bertahan ditengah masyarakat yang beragama islam?, dalam islam nasab anak adalah pada bapaknya. Juga dengan kolonial yang mengenalkan modernitas dan paham patriarki. Mengapa sampai sekarang matrilineal yang paradok itu masih eksis di Minangkabau. Mengapa dikataka paradok? Dalam banyak praktik perempuan hanya dijadikan simbol saja. Dalam surat menyurat yang menyangkut harta pusaka suatu surat tidak akan sah apabila tidak terdapat tanda tangan perempuan. sebut saja surat pegang gadai di Minangkabau, surat itu tidak akan berguna jika tidak ditanda tangani perempuan sebagai pemegang waris. Dimana letak perempuan sebagai simbol? Sekalipun perempuan adalah pemegang waris peran mamak juga sangat vital. Di banyak praktik ninik mamak memerintahkan secara tegas kepada kemenakannya untuk menandatangani surat, jika demikian bukankah kuasa berada di tangan mamak. Budaya yang paradok ini terjadi di banyak tempat di ranah Minang. Namun mengapa matrilineal itu bisa bertahan sampai detik ini?

Perang paderi yang Meletus pada tahun 1803 sebagai bentuk upaya pemurnian ajaran Islam di tanah Minangkabau yang diprakarsai Nan Renceh dan kawan-kawan telah berupaya menentang sebagian adat di Minangkabau yang tidak sesuai dengan ajaran agama. Perang itu tak lain hanyalah perang saudara antara kaum agama dan kaum adat. Upaya itu nyatanya tak mampu merobohkan matrilineal di Minangkabau kendati masyarakat Minangkabau adalah masyarakat penganut Islam. Menghasilkan kesepakatan bahwa adat Minangkabau bersandikan hokum syarak dan syarak bersandikan kitab suci Al-Qur’an, namun matriarkat tetap eksis.

Pada sisi yang berlainan, kolonial membawa gaya hidup yang lain pula polanya. Kehidupan ala barat dibawa oleh orang-orang Belanda. Matriarkat dipertentangkan dengan patriarki. Sekalipun belanda bisa menguasai Minangkabau namun tidak dapat merobohkan matrilineal. Ajaibnya matrilineal di Minangkabau, pola kekerabatan ini terus eksis sampai pada masa sekarang. Sebagai masyarakat matrilineal terbesar di dunia orang Minangkabau dengan bangga melabeli identitasnya  berdasarkan garis keturunan ibu, bersuku menurut suku ibu.

Secara umum tidak hanya etnik Minangkabau yang menganut adat matrilineal. Beberapa etnik lain di dunia juga menganut sistem kekerabatan ini, diantaranya suku di Garo di India, suku Masuo di China, masyarakat Indian suku Hopi, Suku Navajo di Amerika Serikat dan beberapa lainnya. Namun tidak ada yang sebesar Matrilineal Minangkabau.

Ajaibnya matrilineal di Minangkabau adalah kemapuannya untuk tetap eksis dari masa ke masa disamping banyaknya momentum bersejarah yang berpotensi merusak matrilineal itu. Matrilineal dengan dampaknya telah melahirkan banyak tokoh bangsa. Namun yang sangat disayangkan sekarang adalah lahirnya Minangkabau baru yang hanya berbangga pada romantisme masa lalu, kejayaan-kejayaan masa lalu, tokoh-tokoh hebat Minang masa lalu. Hari ini Minangkabau tak ubah seperti daerah-daerah dan sukuk-suku lain dimana generasinya mengagung-agungkan budaya populer dan modernitas. Apakah keajaiban akan muncul sekali lagi, yaitu Matrilineal yang mampu berdamai dan sukses melahirkan tokoh-tokoh hebat ditengah gempuran modernitas, pola hidup modern, keluarga yang tersentralisasi pada rumah yang diisi oleh Ayah, Ibu dan Anak-anak, bukan lagi Rumah Gadang dan Surau. Entitas Rumah Gadang dan Surau yang makin hari makin pudar apakah akan memudarkan matrilineal?

* Penulis: Muhammad Fadli (Mahasiswa Magistee Cultural Studies Universitas Andalas)

Baca Juga

Menyelami Era Digital dengan Aman: Mengapa UU PDP Penting untuk Melindungi Data Pribadi Anda?
Menyelami Era Digital dengan Aman: Mengapa UU PDP Penting untuk Melindungi Data Pribadi Anda?
Penggunaan Media Informasi Instan Menurunkan Minat Baca dan Konsentrasi
Penggunaan Media Informasi Instan Menurunkan Minat Baca dan Konsentrasi
Dampak UU ITE Terhadap Kebebasan Pers dan Demokrasi
Dampak UU ITE Terhadap Kebebasan Pers dan Demokrasi
Meromantisasi Sumbang Duobaleh Sebagai Kebudayaan Minangkabau Melalui Media
Meromantisasi Sumbang Duobaleh Sebagai Kebudayaan Minangkabau Melalui Media
Perempuan Membangun Jalan Menuju Kesetaraan: Perjuangan Melawan Sistem Patriarki
Perempuan Membangun Jalan Menuju Kesetaraan: Perjuangan Melawan Sistem Patriarki
Inovasi Digital: Transformasi Ekonomi Budaya melalui Media Online
Inovasi Digital: Transformasi Ekonomi Budaya melalui Media Online