Oleh: Habibur Rahman
Dalam dinamika kehidupan masyarakat Minangkabau, perselisihan sosial seperti konflik antar keluarga, kasus pencurian, hingga tindakan pemaksaan sering kali terjadi hari ini. Kondisi ini sedikit banyaknya mencerminkan ada pelemahan sistem nilai adat yang dahulu begitu kokoh sebagai pedoman hidup.
Fenomena ini tidak terlepas dari pengaruh modernisasi dan arus informasi global yang turut menyentuh wilayah pedesaan di Sumatra Barat. Perubahan pola pikir, budaya, dan struktur sosial menjadi pemicu utama yang memengaruhi penghormatan terhadap nilai-nilai adat.
Pada masa lampau, masyarakat Minangkabau menjunjung tinggi nilai adat sebagai acuan kehidupan. Anak kemenakan (generasi muda dalam kaum) sangat takut untuk melakukan tindakan yang melanggar aturan adat. Hal ini berakar dari pentingnya menjaga nama baik kaum atau suku.
Ketika salah seorang anak kemenakan berbuat kesalahan, bukan hanya individu tersebut yang tercemar, tetapi nama baik mamak sebagai (pemimpin kaum) juga turut dipertaruhkan. Oleh karena itu, mamak memiliki kewenangan besar untuk menjatuhkan sanksi sosial yang berat, seperti pengucilan dari kaum, dll, tergantung tingkat kesalahan yang diperbuat. Hukuman ini dipandang sebagai bentuk konsekuensi sosial yang efektif dalam menjaga stabilitas norma.
Namun, perkembangan zaman telah membawa perubahan signifikan pada pola hubungan sosial masyarakat. Saat ini inkonsistensi dalam penerapan nilai adat semakin sering terjadi, bahkan dianggap sebagai bagian dari dinamika sehari-hari.
Contoh yang mencolok adalah cara penyelesaian kasus pelecehan seksual. Apabila seorang anak kemenakan menjadi korban pemerkosaan, solusi yang sering diambil oleh mamak adalah menikahkan pelaku dengan korban. Langkah ini diambil untuk menghindari rasa malu yang lebih besar jika korban melahirkan tanpa status suami. Pendekatan seperti ini mencerminkan kompromi terhadap nilai adat yang semula mengedepankan keadilan dan penghormatan terhadap martabat individu.
Selain pengaruh dari generasi muda, faktor lain yang menyebabkan pelemahan nilai adat adalah perubahan peran kaum tua. Dahulu, mamak berfungsi sebagai pengayom dan pembimbing yang aktif menjaga anak kemenakan agar tetap sesuai dengan aturan adat.
Namun, pada masa kini, banyak mamak yang cenderung abai terhadap tanggung jawab tersebut. Akibatnya, generasi muda kehilangan arah dan semakin terpengaruh oleh nilai-nilai luar yang tidak sesuai dengan adat Minangkabau.
Dalam tradisi Minangkabau, penyelesaian konflik antar anggota masyarakat umumnya dilakukan pada tingkat kaum atau suku. Mamak bertugas sebagai mediator yang memfasilitasi penyelesaian masalah secara damai dan adil. Apabila konflik tidak dapat diselesaikan di tingkat ini, barulah masalah tersebut dibawa ke tingkat Jorong, Dusun ataupun Nagari.
Struktur adat yang hierarkis ini memungkinkan setiap persoalan diselesaikan secara berjenjang, dengan mengutamakan musyawarah mufakat. Namun, dalam beberapa kasus, masalah tidak dapat diselesaikan di tingkat Nagari, sehingga pada akhirnya membuat masalah tersebut bergulir ke pengadilan formal.
Peningkatan jumlah kasus yang dibawa ke pengadilan formal tentu mengindikasikan mulai minimnya peran mamak dalam menyelesaikan persoalan anak kemenakan di tataran adat. Secara prinsip, penyelesaian konflik melalui jalur hukum merupakan langkah akhir dari penyelesaian yang mana masyarakat Minangkabau dahulu cukup jarang menggunakan metode ini, dan kalau kita komparasi kan dengan tradisi adat Minangkabau yang lebih menitikberatkan pada harmoni sosial, tentunya dua hal ini memiliki perbedaan yang cukup kontras.
Hal ini memiliki relevansi dengan teori sistem sosial yang dikemukakan oleh Talcott Parsons seorang Sosiolog kelahiran Colorado Springs, Amerika Serikat, bahwa setiap sistem sosial memiliki mekanisme kontrol internal untuk menjaga stabilitas. Ketika mekanisme ini melemah, seperti yang terjadi pada peran mamak kalau kita bawakan ke contoh peranan Mamak hari ini yang semakin mengalami degradasi, maka sistem sosial tersebut cenderung bergeser ke arah pola penyelesaian yang lebih formal.
Pergeseran ini juga dapat dijelaskan melalui konsep modernity oleh Anthony Giddens, yang memberitahu kita bahwa globalisasi dan modernisasi sering kali mendekonstruksi struktur sosial tradisional. Jikalau kita bawakan dalam konteks Minangkabau hari ini, globalisasi membawa arus nilai-nilai baru yang cenderung individualistik, sehingga melemahkan pola kolektivitas yang selama ini menjadi landasan kehidupan adat kita.
Di sisi lain, pendekatan hukum formal sering kali tidak dapat sepenuhnya menjawab kebutuhan masyarakat yang masih memiliki keterikatan emosional dan budaya yang kuat dengan adat pada kehidupan sehari-hari.
Untuk mengatasi pelemahan sistem nilai adat ini, revitalisasi peran mamak menjadi sangat penting. Pendidikan adat bagi generasi muda perlu digalakkan kembali, sehingga mereka memahami esensi dan pentingnya nilai-nilai adat sebagai pedoman hidup.
Selain itu, kaum tua juga harus kembali mengambil peran strategis dalam membimbing dan mengawasi generasi muda. Penguatan institusi adat melalui kerja sama dengan pemerintah juga dapat menjadi solusi untuk menjembatani tradisi dan kebutuhan masyarakat modern hari ini.
Tentu kita dapat memahami bahwa pelemahan nilai adat di Minangkabau bukanlah masalah yang dapat diselesaikan secara mudah dan cepat. Diperlukan upaya kolaboratif antara semua elemen masyarakat yang bersifat kolektif, termasuk mamak, anak kemenakan, dan institusi pemerintah.
Dengan pendekatan yang komprehensif, siapa yang tidak ingin bahwa adat Minangkabau dapat kembali menjadi pilar yang kokoh dalam kehidupan bermasyarakat. Kita semua tentu ingin hal itu. Tapi perlu kita sadari dalam menerapkan itu, kita juga tidak bisa mengabaikan tuntutan zaman yang terus berkembang. (*)
Penulis: Habibur Rahman, Mahasiswa Program Studi Komunikasi dan Penyiaran Islam, UIN Sjech M. Djamil Djambek Bukittinggi. Aktif menulis tentang sejarah ulama-ulama tarekat di Sumatra Barat serta dinamika dan problematika Surau Tradisional Minangkabau.