Jumat sore lalu, saya diminta berbicara soal kapitalisme religius (KR). Ini karena dua tulisan saya tentang KR yang sebelumnya dimuat oleh keadilan.id dan republika.co.id. Diskusi di Forum Ekonomi Sumbar (FES) itu dipandu oleh koordinator FES, Profesor Syafruddin Karimi.
FES dimanisfestasikan dalam bentuk grup percakapan yang dikawal dengan baik oleh Pak Syaf. Beliau menjaga kewarasan di grup tersebut.
Di grup FES, saya menangkap adanya persepsi negatif atas dua artikel tersebut. Seperti ada penilaian bahwa saya anti Islam. Sadar akan hal itu, saya memulai diskusi dengan mengingatkan bahwa dua artikel populer tersebut ditulis karena iseng dan sedikit usil. Tergelitik setelah membaca liputan Tempo soal ACT.
Dua artikel itu sengaja ditulis ringan, walau dengan sedikit satir dan terkesan sinis. Untuk apa? Supaya asyik dan menggelitik, lalu dibaca orang. Dalam bahasa kampung saya, “to grab attention”. Syukur-syukur bisa memantik diskursus dan dialektika.
Saya katakan, jangan terlalu serius menanggapi dua artikel tersebut. Tetapi, diperlukan “kadar keseriusan” untuk menanggapi artikel tersebut dengan “tidak serius”. Karena saya menulis bukanlah di ruang hampa. Ada konteks-nya: personal dan kolektif (baca: sosial).
oOo
Waktu muda, rasanya saya agak-agak anti-kapitalis. Mungkin karena melihat dari asal-usul keluarga di Kaki Singgalang, yang kalau kita menggunakan klasifikasi Marx, saya masuk kaum proletar, bukan kelas borjuasi.
Anti-kapitalis karena cemburu? Karena secara relatif mengalami deprivasi? Bisa saja. Tetapi ini hanyalah letupan perasaan anak ingusan, tak ada dasar analitis-nya.
Mendekati setengah abad, masuk masa “tua belum, muda terlampau”, saya tidak lagi anti dengan kapitalisme. Berbekal pendidikan ekonomi di Indonesia, Belanda dan Australia, sampai jenjang tertinggi, saya lebih memilih untuk bersikap kritis. Kapitalisme dengan akumulasinya adalah jalan untuk membesarkan kue.
Apakah karena saya sudah naik derajat menjadi kaum borjuasi? Tidak sama sekali. Sampai akhir hayat, sepertinya saya akan tetap setia menjadi bagian dari kaum pekerja (working class). Janganlah kita sebut “proletar”, jadinya terasa kurang bersyukur.
Di satu mata kuliah yang saya ampu, perkuliahan minggu ketiga berjudul, “how to get rich: capitalism and industrialisation”. Di minggu ke empat, baru saya mengajarkan kemiskinan, “poverty: what, how and why”. Termasuk membanding kemiskinan di negara berkembang dan negara maju.
Saya berkeyakinan bahwa praktik kapitalisme adalah insting dasar manusia, bersifat sangat alamiah. Orang ekonomi menyebutnya, “animal spirit.” Lalu, apakah tidak ada yang salah? Nanti dulu.
oOo
Sekarang kita masuk ke konteks sosial-nya. Seluruh dunia telah menganut kapitalisme. Hanya Korea Utara yang ekonominya masih komunis. Kuba pun sedang berubah. China dan Vietnam secara politik memang masih komunis, tetapi secara ekonomi mereka kapitalis.
Bagaimana dengan Indonesia dengan orang-orangnya yang makin religius ini. Bahkan tercatat sebagai salah satu yang paling religius se jagad raya.
Ada dua negara yang saya kenal dengan sangat baik. Pertama tentu tanah air Indonesia. Kedua adalah Australia, tempat periuk nasi saya. Kalau dipikir-pikir, Indonesia jauh lebih kapitalis dibanding Australia. Saya berani mengatakan bahwa, pasar di Indonesia jauh lebih bebas. Pasar di Australia lebih banyak restriksi-nya.
Dalam konteks inilah kita harus melihat kapitalisasi donasi kasta yang lebih rendah: kapitalisasi donasi ala ACT dan KITABISA yang mengkomodifikasi semangat berderma secara luas, termasuk sedekah recehan. Kapitalisasi donasi kasta yang lebih tinggi adalah filantropi Barat seperti Rockefeller Foundation dan Gates Foundation.
Sulit membayangkan kapitalisasi donasi ala ACT dan KITABISA akan terjadi di negara seperti Australia. Peran mereka tidak diperlukan di masyarakat yang berhasil menerapkan sistem negara kesejahteraan (welfare state). Negara tanggap dalam menangani bencana dan membantu orang miskin.
Welfare state adalah capaian gemilang dari peradaban kapitalisme Barat. Ekonomi berkembang maju dan moderen, kue pembanguan membesar, inovasi tumbuh subur. Hak-hak pekerja dilindungi. Hak-hak dasar warga diperhatikan: pendidikan, kesehatan, politik, ekonomi, dan sosial budaya. Kelompok rentan dilindungi secara khusus: wanita, anak, lansia, dan penyandang disabilitas.
Bagaimana semua itu dibiayai? Melalui penerimaan pajak progresif sebagai mekanisme re-distribusi. Pajak progresif adalah kebaikan yang “dipaksakan” dan diinstitusionalisasikan, bukan sukarela atau voluntary.
Welfare state adalah kapitalisme berkeadilan sosial. Puncaknya di dekade 1960-an dan 1970-an, setelah itu, terjadi degradasi di sebagian tempat.
Negara-negara welfare state justru memiliki skor tertinggi dalam hal Indeks ke-Islam-an (Islamicity Index) yang dikembangkan oleh Profesor Hossein Askari, seorang ekonom asal Iran yang berkarir di Amerika. Welfare state menjulang tinggi di atas kapitalisme.
Akan tetapi, kapitalisme neoliberal telah meningkatkan ketimpangan. Kapitalisme tetap rawan eksploitasi. Kapitalisme bisa berwajah buruk.
oOo
Masyarakat religius bisa jadi sinis pada kapitalisme, tetapi semua mempraktikannya. Indonesia yang makin religius pun menganut kapitalisme. Bahkan, bisa jadi lebih kapitalis dari pada Barat. Saking kapitalisnya, semangat berderma dari orang-orang religius pun dikapitalisasi dan dieksploitasi. Yang dilakukan oleh petinggi-petinggi ACT yang sebagian sudah ditahan polisi hanyalah salah satu contoh. Mereka semua adalah orang-orang yang paham dan aktif mendakwahkan agama.
Inilah sebab mengapa KR seperti mendapatkan stigma negatif. Padahal, KR itu sejatinya adalah alamiah belaka. Sebagaimana kapitalisme yang tanpa embel-embel, kapitalisme religius punya banyak potensi baik. Yang harus dikawal dan diwaspadai adalah fraud, penipuan, eksploitasi, dan penyalahgunaan dengan menggunakan tameng/dalih agama. Itu.
Meminjam lagu lawas-nya Bon Jovi, “they give religion a bad name.” Inilah penistaan yang sebenarnya. (*)
----
Dr Zulfan Tadjoeddin
Associate Professor in Development Studies, Western Sydney University, Australia