Banyak tulisan yang mengulas putusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim. Tulisan ini mencoba memberikan pandangan lain mengenai fenomena penggunaan Jilbab bagi peserta didik di sekolah.
Terbitnya Peraturan dalam Surat Keputusan Bersama (SKB) 3 Menteri dengan Nomor 02/KB/2021, Nomor 025-199 Tahun 2021, dan Nomor 219 Tahun 2021 Tentang Penggunaan Pakaian Seragam dan Atribut Bagi Peserta Didik, Pendidik, dan Tenaga Kependidikan di Lingkungan Sekolah yang Diselenggarakan Pemerintah Daerah Pada Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah merupakan teguran keras bagi pemerintah daerah.
Pertama, dengan terbitnya SKB 3 Menteri merupakan bentuk keseriusan pemerintah pusat terhadap isu-isu keagamaan di Indonesia agar tidak ditafsirkan lebih jauh, karena seyogianya benih diskriminasi terhadap minoritas acap kali terjadi di daerah pasca berlakunya otonomi daerah.
Sumatra Barat selalu menjadi sorotan sejak lama karena berbagai fenomena keagamaan, isu keberagaman dan kebebasan bagi kelompok minoritas sering menjadi permasalahan serius.
Kedua, dalam aturan tersebut berbunyi baik peserta didik, pendidik dan tenaga kependidikan di lingkungan sekolah berhak untuk memilih menggunakan pakaian seragam dan atribut tanpa kekhasan agama tertentu atau dengan kekhasan tertentu sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Tentunya dengan keluarnya SKB 3 Menteri ini suatu kewajiban bagi pemerintah daerah dan pihak sekolah mencabut aturan yang bersifat “mewajibkan” ataupun “melarang” seragam atau atribut keagamaan tertentu.
Karena pada prinsipnya dalam SKB 3 Menteri tersebut terdapat narasi “hak bagi individu” untuk memilih tanpa kekhasan agama tertentu atau dengan kekhasan agama tertentu sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Tentu sanksi yang akan menanti jika pemerintah daerah mengabaikan SKB 3 Menteri tersebut.
Ketiga, langkah pemerintah mengeluarkan SKB 3 Menteri penulis nilai sudah tepat karena dalam konteks ini pemerintah harus menegaskan aturan bahwa negara harus menjamin keberagaman, termasuk dalam berkeyakinan dan menjalankan praktik-praktik peribadatan bagi pemeluk agamanya masing-masing.
Kemajemukan harus tetap dipelihara di negeri ini, sederhananya jika penghormatan terhadap minoritas sudah surut dan peran negara sedemikian lemahnya, maka kaum minoritas akan semakin terpinggirkan.
Tak heran masyarakat kita selalu menggunakan logika kerdil memahami fenomena dengan pendekatan minoritas-mayoritas dengan menganti-tesiskan apa yang terjadi di Bali, di Papua dan yang terjadi di Padang.
Sederhananya penilaian keharusan pemakaian jilbab itu dianggap masuk akal bagi kalangan mayoritas sebab Sumatra Barat merupakan mayoritas muslim? Lalu ini dilandaskan karena kearifan lokal? bagi penulis itu logika yang keliru.
Karena, dalam narasi minoritas-mayoritas penggunaan jilbab di sekolah bagi penulis terlalu naïf jika kita memahami hanya berdasarkan kesepakatan yang terjalin antara dua kelompok atau dua pihak atas dasar kesepakatan murni atau kesukarelaan semata, tanpa ada tekanan rasa takut dari pihak manapun.
Narasi ini bukan persoalan kuantitas siapa yang mayoritas dan siapa yang kelompok minoritas, melainkan “cara pandang” itu sendiri, dimana kedua belah pihak sudah sama-sama menginternalisasikan pola yang dominan dalam relasi mereka.
Yang jelas jika nanti SKB ini diterapkan dan terdapat peserta didik muslim yang tidak menggunakan Jilbab, jangan kemudian peserta didik tersebut didiskriminasi dan dikeluarkan dari sekolah karena tidak mencerminkan “kearifian lokal” yang dipahami selama ini.
Karena pada prinsipnya pemaksaan agama saja sudah jelas dilarang apalagi pemaksaan pada persoalan yang di dalam Islam pun masih diperdebatkan oleh kalangan ulama Fiqh. Keragaman, dalam berbagai bentuk dan rupanya memang sengaja diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa.
Biarkanlah masing-masing menjalankan keyakinannya sesuai yang dianutnya dengan syarat tanggung jawab. Alih-alih menghadirkan kebaikan, pemaksaan justru memantik munculnya ketidakharmonisan antara individu dan kelompok lain yang berbeda.
Islam itu agama rahmat, bukan agama laknat yang memberengus perbedaan.
Menurut hemat penulis, apapun yang dipaksakan, bisa dipastikan akan menghadirkan dampak buruk. Demikian halnya jika idiom-idiom keagamaan dipaksakan baik dalam bentuk aturan maupun himbauan. Ia tidak akan memiliki kedalaman makna apapun.
Lebih buruknya penganutnya pun tidak akan memiliki penghayatan yang sesungguhnya. Agama, jika demikian, menjadi sia-sia belaka dan bahkan kehilangan ruhnya. Inilah sisi lain kerahmatan Islam. Islam mengedepankan cinta damai, bukan kebencian atau permusuhan.
Oleh karenanya, spirit ayat “tiada pemaksaan dalam beragama” sudah semestinya menjadi spirit keberagaman kita secara utuh sebagai insan yang beriman. Demi menjaga pluralisme bangsa, harus ada yang selalu menjaga dan merawat minoritas sebagai bagian dari kebangsaan dan keIndonesiaan.
Oleh Karenanya Ahmad Syafii Maarif dalam berbagai kesempatan dan tulisan sering mengatakan kita harus bisa cerdas dalam memahami agama ini, dalam artian beragamalah yang cerdas harus dengan sikap yang jujur, tulus dan lapang dada dengan kesediaan kita mengakui hak orang lain.
Dewasa ini konteks masyarakat Indonesia dan Sumatera Barat khususnya, menghadapi polemik mengenai apakah suatu tindakan disebut toleran atau intoleran menjadi lebih kompleks.
Semangat demokratisasi di tingkat lokal akan selalu kontraproduktif, di satu sisi demokratisasi menawarkan kebaikan bagi kepentingan orang banyak, tetapi disisi lain secara tidak langsung juga beresiko mengancam nilai-nilai toleransi itu sendiri bagi kaum minoritas.
Lantas apa konsekuensinya? Ada satu kondisi mendasar dimana ketika kaum minoritas dihadapkan pada persoalan ini penegakan aturan menjadi sandaran bagi mereka, meskipun lembaga negara cenderung berpihak terhadap mayoritas karena pertimbangan stabilitas di atas suara mayoritas.
Tidak jarang juga momentum ini digunakan politisi bahkan kepala daerah untuk melahirkan peraturan atau himbauan yang cenderung diskriminatif atau bahkan berseberangan dengan semangat SKB 3 Menteri.
Yang jelas, regulasi yang tidak sehat ini digunakan untuk kepentingan politik kelompok tertentu agar menarik simpatisan dan dianggap lebih mengedepankan suara tirani mayoritas. Ya ibarat kalimat satire “siapa yang berpesta dia yang berdansa-siapa yang berkuasa dia yang akan memaksa”.
Wallahu a’lam...
*Peneliti Spektrum Politika & Alumnus SKK-ASM III Maarif Institute