Langgam.id - Kabar penemuan patung berkaki naga di Sungai Batanghari, Kabupaten Dharmasraya, Sumatra Barat, Minggu (26/5/2019) lalu memancing perhatian publik. Informasi yang beredar menyebutkan patung dewa berkaki naga itu merupakan artefak kuno.
Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Sumatra Barat langsung membantah klaim tersebut. "Dipastikan, temuan tersebut bukan arca kuno," kata Kepala BPCB Sumbar Nurmatias.
BPCB langsung bisa memastikan patung berkaki naga itu bukan artefak kuno, begitu melihat modelnya. "Patung-patung Dewa di Zaman Hindu-Budha itu ada pakemnya. Tak ada yang berkaki naga seperti ini," katanya.
Apalagi kemudian, muncul laporan saat Bupati Dharmasraya Sutan Riska mengecek ke tempat ditemukan patung, ada abjad A-B-C pada patung itu. Sehingga makin memperkuat penjelasan BPCB sejak awal, bahwa itu merupakan patung baru yang dibuat massal. Ditemukan juga patung serupa dijual bebas di internet.
Namun, terlepas dari klaim temuan tersebut. Dharmasraya sendiri sebenarnya memang merupakan kawasan peradaban kuno. Di daerah ini banyak sekali ditemukan peninggalan peradaban masa lalu.
"Temuan di Dharmasraya itu sejak dari arca, candi, prasasti, kendi hingga keramik," kata Nurmatias kepada Langgam.id, Kamis (30/5/2019).
Peninggalan kuno yang ditemukan BPCB ataupun masyarakat selama ini, tersebar di sekitar empat candi yang sudah ditemukan. Yakni, Candi Pulau Sawah, Padang Roco, Rambahan (Lubuak Bulang) dan Awang Manggambia.
Situs Pulau Sawah, menurut Nurmatias, adalah yang paling tua. BPCB memperkirakan, kawasan percandian sudah ada di lokasi tersebut sejak abad ke-9. "Sementara, keramik tertua yang kami temukan di sana berasal dari abad ke-8," tuturnya.
Situs Pulau Sawah diduga merupakan tempat pemujaan. "Kemungkinan karena musibah atau perubahan alam, tempat pemujaan dipindahkan ke Padang Roco," ujar Nurmatias.
Pada situs-situs tersebut pula pernah ditemukan berbagai arca kuno yang berumur ratusan tahun. Arca Amoghapasa tahun 1286 M, misalnya ditemukan di Rambahan. Arca ini merupakan hadiah dari Raja Singasari Kertanegara untuk Kerajaan Melayu Pura yang saat itu berpusat di Dharmasraya.
Peneliti Budaya dan Sejarah Uli Kozok dalam Buku 'Kitab Undang-Undang Tanjung Tanah: Naskah Melayu yang Tertua' (2006) menulis, pengiriman arca tersebut merupakan tanda, pada saat itu ibu kota Malayu sudah pindah dari Muara Jambi ke Dharmasraya.
Mengutip CC Berg, Kozok menulis, pengiriman arca yang dikenal dengan istilah Pamalayu tersebut bukanlah penakhlukan seperti beberapa pendapat lain. Namun, perjanjian dengan Malayu untuk membentuk persekutuan melawan agresi Dinasti Mongol di bawah Kubilai Khan.
Arkeolog Bambang Budi Utomo dkk dalam Buku 'Treasures of Sumatra' (2009) menulis, wilayah kekuasaan Kerajaan Malayu yang lahir setelah runtuhnya Sriwijaya itu meliputi seluruh Sumatra.
Menurut Budi, Malayu diperhitungkan sebagai kerajaan kuat yang memegang peranan penting. "Karena itulah ketika Kertanegara dan Singasari sedang menghadapi ancaman Mongol, perlu menjalin persahabatan dengan Malayu... Sebagai tanda persahabatan Kertanegara mengirimkan arca Amoghapasa," tulisnya.
Pamalayu ini yang kemudian membuat dua putri dari Dharmasraya menikah di Majapahit. Anak dari salah satu putri tersebut, kembali ke Malayu dan menjadi raja pada 1347: Adityawarman. Ia pula yang kemudian memindahkan pusat kerajaan Malayu dari Dharmasraya ke Tanah Datar, yang kemudian dikenal sebagai Kerajaan Pagaruyung.
Selain Arca Amoghapasa, Dharmasraya juga tempat ditemukannya Arca Bhairawa. Patung dengan tinggi lebih 4 meter ini, menurut sejarawan, merupakan wujud Adityawarman. Baik Amoghapasa maupun Bhairawa dibawa ke Batavia sejak Zaman Hindia Belanda, tepatnya pada 1937 dan kini menjadi koleksi Museum Nasional.
Sejarah dan peradaban besar di masa lalu tersebut, menurut Nurmatias, membuat Dharmasraya memiliki banyak peninggalan kuno. Maka, temuan arca dan peninggalan kuno menjadi hal yang hampir lumrah di daerah tersebut.
BPCB punya ahli dan peneliti yang menguasai ikonografi, ilmu tentang arca dan patung kuno. Karena ilmu ini pula, para ahli di BPCB dapat tahu sebuah arca tersebut asli merupakan peninggalan kuno ataukah bikinan baru.
Nurmatias memberi contoh, misalnya tentang pakem patung Dewa zaman Hindu-Budha. Sembilan Dewa dari penjuru mata angin dalam kepercayaan Hindu, Wisnu, Sambhu, Iswara, Maheswara, Brahma, Rudra, Mahadewa, Sangkara dan Siwa berbeda senjatanya, kendaraannya dan pernak-perniknya.
"Ada pakem masing-masingnya. Kalaupun ada adaptasi, tidak akan ekstrem berubah. Karena, patung terkait dengan pemujaan, sehingga bisa diketahui kekhasannya," katanya.
Dengan cara itu pula, salah satunya BPCB dapat tahu patung dewa berkaki naga yang diklaim ditemukan warga tersebut bukanlah arca kuno. Tapi merupakan buatan baru.
Melalui penelitian dan eskavasi, BPCB melestarikan situs-situs kuno Dharmasraya. "Kita berharap bisa mengembangkan wilayah ini menjadi kawasan konservasi. Selain bisa dilestarikan, kita juga berharap bisa bermanfaat di zaman kini," ujarnya. (HM)