Kewajiban Lembaga Survei Mengungkapkan Sumber Dana

Kewajiban Lembaga Survei Mengungkapkan Sumber Dana

Miko Kamal, SH. LLM, Ph.D (Foto: Dok Miko)

KolomLanggam - Sebuah lembaga survei (pollster) merilis hasil surveinya. Hasilnya mencengangkan. Publik Sumbar heboh. Ragam tanggapan bermunculan. Ada yang bilang hasil survei itu hanyalah strategi untuk membangun opini publik. Ada juga yang bilang, hasil survei itu berlebihan. Angka 49,5 % untuk salah satu pasangan calon itu terlalu tinggi, katanya.

Dalam sistim demokrasi langsung, survei-survei politik itu biasa saja. Tujuan dasarnya baik, untuk mendapatkan data dan informasi tentang peta kekuatan dan kelemahan kandidat yang dibantunya. Juga untuk mempelajari perilaku pemilih. Misal, apakah pemilih akan menggunakan hak pilih atau tidak. Bisa juga untuk mengukur prosentase pemilih yang sudah menentukan pilihan.

Untuk mencapai tujuan baik itu, pollster harus jujur dalam bekerja. Kejujuran pollster dapat membantu mewujudkan demokrasi yang berkualitas. Secara normatif, tuntutan jujur bekerja bagi pollster tergambar jelas dalam Pasal 49 Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) No. 8/2017. Inti dari Pasal 49 adalah kewajiban pollster untuk memberitahukan sumber dana, metodologi yang digunakan, jumlah responden, tanggal pelaksanaan survei, dan pernyataan hasil survei bukan hasil resmi penyelenggara pemilihan ketika mengumumkan hasil survei.

Dalam praktik, di antara kewajiban-kewajiban di atas, pemberitahuan sumber dana pelaksanaan survei sering diabaikan. Sering disurukkan. Tidak dibuka kepada publik.

Berdasarkan informasi yang saya dapatkan, pada saat merilis hasil survei tanggal 3/11/2020, lembaga survei itu tidak mengungkapkan siapa yang mendanai survei mereka. Pada saat presentasi, kabarnya, ada wartawan yang menanyakan ini. Tapi, pertanyaan itu tidak dijawabnya.

Saya tidak dalam kapasitas menilai hasil survei itu; valid atau sekadar lucu-lucuan. Meskipun secara mendasar ada yang aneh dari teknis survei itu. Tapi tak usahlah diperdebatkan di sini. Bisa jadi panjang ceritanya.

Poin saya adalah soal kewajiban. Kewajiban kita sebagai warga negara untuk senantiasa memperbaiki kualitas kehidupan berbangsa dan bernegara. Pilkada merupakan salah satu alat untuk mencapai itu. Jika pilkadanya berkualitas, ganjarannya insyaallah pemimpin yang baik dan kompeten. Ujungnya adalah kehidupan yang berkualitas.

Banyak yang salah sangka. Disangkanya, menyerukan lembaga survei untuk terbuka dengan sumber dana surveinya sebagai bentuk meragukan integritas lembaga survei itu. Bukan.

Justeru maksudnya adalah untuk meninggikan marwah lembaga survei. Dengan alasan kewajiban disclosure sumber dana, posisi tawar lembaga survei bisa lebih kuat. Contohnya, ketika seorang kandidat nakal ingin mengumumkan hasil survei yang diatur-atur, pasti dia akan berpikir ulang untuk melakukannya. Sebab, publik sudah tahu bahwa survei yang menghasikan cerita lucu itu dibiayai oleh si kandidat.

Untuk dan atas nama kepentingan publik, lembaga survei, pasangan calon dan tim kampanye pasangan calon untuk berjelas-jelas soal sumber dana survei. Penyelenggara pilkada wajib proaktif soal ini. Sebagai rakyat, kitapun bertanggung jawab mengontrolnya, tentu sesuai dengan daya yang kita punya. (***)

Baca Juga

Gamawan Fauzi
Semua Ada Akhirnya
Demi Kemajuan Sumatra Barat, Kita Lebih Butuh Pulang Kampung daripada Merantau
Demi Kemajuan Sumatra Barat, Kita Lebih Butuh Pulang Kampung daripada Merantau
Reformasi (Bagian I): Retrospeksi
Reformasi (Bagian I): Retrospeksi
Gosip Online
Gosip Online
Jokowi Sumbar, pengamat,
Dinamisnya Pencalonan Presiden
Peluang Perti dalam RPJPN 2025-2045
Peluang Perti dalam RPJPN 2025-2045