Nagari dan Penolakan Terhadap “Negara Minangkabau”

Nagari dan Penolakan Terhadap “Negara Minangkabau”

Edy Utama (Foto: Dok. Edy Utama)

KolomLanggam -  Wacana mengganti nama Provinsi Sumatera Barat menjadi Provinsi Minangkabau kembali bergulir. Dalam dua pekan terakhir, seperti diberitakan sejumlah media, ada dua orang Minangkabau yang mewacanakan pergantian tersebut, yaitu Fadli Zon politisi dari Senayan dan mantan Mendagri periode 2009-2014, Gamawan Fauzi. Keduanya seperti sepakat, meskipun dengan alasan yang berbeda, pergantian nama tersebut akan memberikan dampak positif terhadap perkembangan Sumatera Barat ke depan.

Menurut Fadli Zon, nama Minangkabau jauh lebih tepat untuk dipakai jika ditinjau dari sisi sejarah dan kebudayaan. Apalagi secara demografis, 88.35 persen penduduk Sumatera Barat berasal dari etnis Minangkabau. Pergantian nama Sumatera Barat menjadi Provinsi Minangkabau, juga dihubungkan dengan keistimewaan sejarah, budaya dan identitas yang melekat pada etnis bersangkutan, seperti halnya Aceh, Bali dan Papua. Masyarakat Minangkabau menurut Fadli Zon, layak mendapatkan kehormatan seperti itu.

Sementara Gamawan Fauzi, punya alasan lain pula. Gamawan Fauzi mendukung pergantian nama agar masyarakat yang berkemajuan tidak tercerabut dari akar budayanya. Menurut mantan gubernur Sumatera Barat periode 2005-2010 tersebut, dengan pergantian nama itu, etnis Minangkabau yang berketurunan menurut garis ibu, dan berfalsafah Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah tidak hilang ditelan kemajuan zaman. Selain itu, Gamawan Fauzi juga menyingung perlunya kebersamaan dalam membangun daerah Sumatera Barat.

Sebagai wacana, dukungan dua tokoh nasional di atas untuk mengganti nama Provinsi Sumatera Barat menjadi Minangkabau mungkin cukup menggoda. Apa lagi dikaitkan dengan keterpurukan berbagai bidang kehidupan yang terjadi sekarang ini di Smatera Barat. Tetapi apakah memang itu jawabannya? Apakah sejalan dengan sejarah perjuangan orang Minangkabau, baik dalam artian historis maupun kultural? Benarkah?

Menolak Negara Minangkabau.
Untuk kembali berkuasa dan mempertahankan dominasinya di Republik Indonesia yang baru diproklamasikan, kolonial Belanda pernah mengiming-iming orang Minangkabau untuk membentuk “Negara Minangkabau”, dan akan menjadikan Sumatera Barat sebagai Daerah Istimewa. Kolonial Beanda ingin menjajah Indonesia kembali dengan cara melakukan politik pecah belah (devide et impera).

Namun strategi politik pecah belah ini gagal total di Minangkabau. Para pejuang republik di nagari-nagari dan kota-kota di Sumatera Barat, melalui jaringan gerakan bawah tanah, berhasil mengobarkan semangat keindonesiaan dan nasionalisme rakyat Minangkabau. Republik Indonesia tetap tegak dengan kukuh di ranah Minangkabau.

Rencana kolonial Belanda mendirikan “Negara Minangkabau” ini, diceritakan Audrey Kahin. Menurut Kahin (2005: 233-236) “Negara Minangkabau” yang direncanakan kolonial Belanda tersebut merupakan bagian dari rencana besar Kolonial Belanda membentuk federasi Sumatera, dengan menjadikan Sumatera Barat sebagai Daerah Istimewa. Daerah Istimewa Sumatera Barat (DISBA) didirikan di Padang pada bulan Agustus 1947 oleh sekolompok orang yang pro Belanda.

Sedangkan “Negara Minangkabau” akan dijadikan sebagai Dewan Permusyawaratan Federal (Bijeenkomst voor Federaal Overleg), dan merupakan daerah otonomi yang akan memainkan peranan besar, dan hubunganya dengan Jawa lebih bersifat simbolis daripada kenyataan.

Baca Juga: Kandasnya Federasi Sumatra dan Negara Minangkabau

Fragmen sejarah mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia di Sumatera Barat pada masa agresi kolonial Belanda tersebut, merupakan sebuah bukti kongrit betapa kuatnya nasionalisme yang hidup di dalam diri orang Minangkabau. Mereka menolak untuk menjadi bagian dari politik pecah belah kolonial Belanda. Mereka tetap memilih untuk menjadi bagian dari Republik Indonesia.

Pilihan mayoritas orang Minangkabau untuk tetap menjadi “benteng republik”, telah dicatat sebagai fakta sejarah Republik Indonesia. Pilihan yang telah dibangga-banggakan orang Minangkabau sesudahnya, dan dianggap istimewa oleh banyak suku bangsa lainnya di Indonesia. Keistimewaan ini pulalah yang menyebabkan orang Minangkabau menjadi warga yang diterima dengan lapang dada dan tangan terbuka di setiap jengkal tanah di negeri kita ini. Minangkabau dianggap berperan menegakkan republik ini. Sebagai warga perantau, dan yang berpandangan kosmopolitan, orang Minangkabau telah menunjukan eksistensinya sebagai perekat yang menganyam keindonesian.

Jadi rasanya tidaklah bijak jika ada orang Minangkabau membangkitkan politik identitas dalam konteks keindonesian. Jika masih ingin menghormati pejuang-pejuang kemerdekaan, baik yang ada di Sumatera Barat maupun yang berjuang di tingkat nasional, seyogianya meneruskan apa yang mereka pilih dan cita-citakan. Bukan mengusung sesuatu yang pernah mereka tolak, yaitu politik identitas. Biarlah Minangkabau menjadi kebanggaan dan dianggap istimewa oleh berbagai suku bangsa di negeri ini, baik oleh kelompok minoritas maupun mayoritas.

Di manakah Akar Minangkabau?
Apakah benar dengan mengganti nama Sumatera Barat menjadi Provinsi Minangkabau, akan menyebabkan masyarakat berkemajuan tidak tercerabut dari akar budayanya, seperti yang disinyalir Gamawan Fauzi? Atau, benarkah masyarakat matrilinial Minangkabau dengan falsafah Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah, tidak akan hilang dari kemajuan zaman kalau nama Provinsi Sumatera Barat diganti dengan Minangkabau? Sangat sulit mencari hubungan sebab akibat antara perubahan nama dengan dampak yang akan ditimbulkannya.

Di manakah akar budaya Minangkabau? Apakah pada wilayah administratif Sumatera Barat? Sudah pasti jawabannya bukan. Kesadaran kultural orang Minangkabau sampai saat ini masih tetap menyebut akar kulturalnya ada di nagari. Sumatera Barat adalah kampung halaman yang lebih dilihat dalam kesadaran politis. Tidak ada satupun institusi yang bersifat keminangkabauan pada wilayah Sumatera Barat tesebut. Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau (LKAAM) adalah lembaga baru, yang mencoba mengakarkan diri pada Kerapatan Adat Nagari (KAN). LKAAM didirikan awal tahun 1966, yang tujuan awalnya adalah untuk menyelesaikan goncangan yang terjadi dalam masyarakat Minangkabau pasca pemberontakan PRRI dan G30S/PKI. Sebelum LKAAM ada yang namanya Majelis Tinggi Kerapatan Adat Minangkabau (MTKAAM). MTKAAM kemudian menjadi partai politik dan menjadi salah satu kontestan Pemilu 1955. MTKAAM hanya menjadi pemenang kedelapan dengan raihan 12.294 suara, jauh di bawah PKI yang menduduki posisi ketiga dengan 61.591 suara.

Fakta sejarah di atas menunjukkan, bahwa Minangkabau tidak memiliki akar yang kuat di Sumatera Barat, selain tidak memiliki simpul anyaman yang bersifat kelembagaan. Tidak berakar dan tidak berpucuk di Provinsi Sumatera Barat. Fakta sosiologisnya dapat dilihat dari kesadaran sosial orang Minangkabau pada saat ini, terutama orang Minangkabau yang ada di perantauan. Orang Minangkabau perantauan, adalah orang-orang yang mencintai adat dan budaya Minangkabau. Caranya adalah dengan mengorganisasikan diri dalam ikatan-ikatan keluarga nagari asalnya. Ada juga yang mengorganisir diri dalam cakupan wilayah kecamatan, dan kota/kabupaten. Namun tidak satupun organisasi ikatan keluarga Minangkabau yang wilayah cakupannya Sumatera Barat.

Memahami pandangan dan jalan pikiran orang Minangkabau, bagi mereka nagari adalah tabang tampek basitumpu, inggok tampek mancakam. Nagari adalah tempat mereka berangkat dan tempat mereka pulang. Meminjam istilah Mochtar Naim (1990: 48), nagari adalah lambang mikroskosmik dari tatanan makrokosmik yang lebih luas. Oleh karena itu kaitannya ke atas ke luhak dan ke Alam, sedangkan ke samping sesama nagari yang terkait secara emosional. Artinya, tidak ada pandangan yang menyebutkan adat sebatang panjang mereka itu adalah Sumatera Barat.

Ikatan emosional dan kultural orang Minangkabau yang masih begitu kuat terhadap nagari, seyogianya nagari tetap dipandang sebagai solusi dari berbagai permasalahan sosial yang dihadapi orang Minangkabau. Bukan dengan mengalihkannya pada negara dengan mengganti nama Sumatera Barat menjadi Provinsi Minangkabau. Hanya di nagarilah kepemimpinan tungku tigo sajarangan, seperti penghulu/ninik-mamak, alim ulama dan cerdik-pandai dapat berfungsi secara maksimal. Ada pula bundo kanduang dan parik paga nagari, yang perannya juga tidak kalah pentingnya dalam memajukan masyarakat Minangkabau. Peran kepemimpinan tradisional Minangkabau yang terpenting, selain mengurus kehidupan anak kemenakannya, juga memastikan pandangan kosmopolitan orang Minangkabau, yang membuatnya menjadi istimewa, baik di ranah maupun di rantau tetap tumbuh dan berkembang.

Sejak zaman Gubernur Harun Zain sampai sekarang, rasanya peran kepemimpinan di nagari ini tetap didorong melalui pemerintahan provinsi, meskipun kadang-kadang hanya sebatas instrumen politik. Melalui kenyataan ini, seyogianya orang Minangkabau memperkuat nagarinya kembali, karena secara kultural di situlah tempat mereka sesungguhnya. Bukan mengganti nama Sumatera Barat menjadi Provinsi Minangkabau, karena ini hanyalah ibarat rinai pambasuah luko. Luka akan semakin menganga dan pedih. (***)

Edy Utama adalah pengamat budaya Minangkabau, tinggal di Padang. Bersama Mestika Zed dan Hasril Chaniago, Edy Utama menulis Buku "Sumatera Barat di Panggung Sejarah: 1945-1995" (1995).

 

Baca Juga

Pameran Etnofotografi: Pencak Silat Minangkabau sebagai Jembatan Diplomasi Budaya
Pameran Etnofotografi: Pencak Silat Minangkabau sebagai Jembatan Diplomasi Budaya
Permasalahan baru yang menimpa umat Islam yakni terkait daftar nama-nama ustadz kondang yang terdaftar dalam jaringan radikalisme.
Pergeseran Nilai Muhammadiyah Sumbar dalam Politik?
Kepala Balai Pelayanan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) Sumbar, Bayu Aryadhi mengungkapkan bahwa konflik yang terjadi
BP2MI: Tidak Ada Pekerja Migran Indonesia dari Sumbar di Zona Konflik
BNNP Sumbar Gagalkan Penyelundupan Setengah Ton Ganja di Kabupaten Pasaman 
BNNP Sumbar Gagalkan Penyelundupan Setengah Ton Ganja di Kabupaten Pasaman 
Ahmad Hafidz
Nagari Creative Hub: Penggerak Ekonomi Masyarakat
Sebanyak 14 anggota DPR RI dan 4 anggota DPD RI terpilih asal Sumatra Barat untuk periode 2024-2029 telah dilantik pada 1 Oktober 2024
Harta Kekayaan Anggota DPR dan DPD Asal Sumbar: Mulyadi Terkaya, Cerint Iralloza Terendah