Menarik membaca rilis terbaru Badan Pusat Statistik (BPS) mengenai hasil survei perilaku masyarakat di tengah pandemi. BPS menemukan bahwa publik mempersepsikan bahwa selain Pasar, Rumah Ibadah dan Mall, di antara fasilitas umum yang tidak menerapkan protokol kesehatan adalah tempat kerja dan institusi pelayanan publik. Kendati relatif punya pengelolaan dan pengorganisasian yang baik, ternyata tempat bekerja atau perkantoran dan instiusi pelayanan publik dianggap tidak aman dan berpotensi menjadi tempat penularan Covid-19.
Temuan BPS tersebut mengingatkan saya, pada apa yang saya alami beberapa waktu lalu, ketika menggunakan layanan sebuah kantor kas sebuah bank, saya mememukan fasilitas cuci tangan yang tidak berfungsi, dimana airnya tidak mengalir, saya tanya ke petugas Satpam, katanya fasilitas cuci tangan tersebut sedang rusak, kemudian saya berpesan ke Satpam “sampaikan kepada kepala kantor ya, saya selaku nasabah merasa kecewa, kenapa tidak ada fasilitas cuci tangan? Fasilitas cuci tangan sangat penting pada masa pandemi Covid-19 ini,” kata saya. “Baik pak” jawabnya singkat.
Merasa tak puas, saya berusaha mencari nomor handphone kepala kantor cabang bank tersebut, setelah didapat dari seorang teman, tanpa mengenalkan nama dan hanya mengenal diri sebagai salah satu nasabah bank yang dipimpinnya, saya menyampaikan permasalahan yang saya alami. Kepala cabang itu mengatakan “akan kami tindaklanjuti Pak, terimakasih atas informasinya”. Esok harinya, guna membuktikan, saya sengaja datang lagi ke kantor kas tersebut, dan alhamdulillah, fasilitas cuci tangan telah berfungsi, air mengalir, tersedia pula tisu dan sabun.
Kejadian ini, sekaligus sejenis contoh bagaimana masyarakat bisa berperan dalam mengawasi penerapan protokol kesehatan pada institusi pelayanan publik atau perkantoran. Selama ini, digambarkan bahwa masyarakat tidak patuh pada protokol kesehatan, namun sebaliknya, klaster baru penularan Covid-19 justru bermunculan pada area perkantoran dan institusi pelayanan publik.
Perkantoran atau institusi pelayanan publik dan orang-orang di dalamnya diduga juga abai dalam menerapkan protokol kesehatan. Karena itulah, pemerintah daerah perlu membuka ruang untuk masyarakat ikut mengawasi berjalannya protokol kesehatan dalam mencegah dan mengendalikan Covid-19.
Peran Serta Masyarakat
Pemerintahan Provinsi Sumatera Barat telah merampungkan Perda tentang Adaptasi Kebiasaan Baru (AKB) dalam Pencegahan dan Pengendalian Covid-19, dikatakan Perda AKB telah berlaku efektif, namun masih menunggu proses fasilitasi oleh Kemendagri.
Perda tersebut juga mengatur peran serta masyarakat dalam pencegahan dan pengendalian Covid-19, antara lain dapat dilakukan dalam bentuk meningkatkan pemahaman dan penerapan nilai agama dan adat istiadat dalam mencegah dan menanggulangi penyebaran Covid-19 di lingkungan tempat tinggal, memperkuat prinsip persaudaraan dalam basuku banagari dan komunitas tempat tinggal berdasarkan musyawarah mufakaik, barek samo dipikua ringan samo dijinjiang, meningkatkan solidaritas sosial dan semangat kegotong-royongan dengan melibatkan kepemimpinan niniak mamak, alim ulama, cadiak pandai, bundo kanduang, dan tokoh masyarakat, meningkatkan ketahanan keluarga dan lingkungan dalam pencegahan dan penanggulangan penyebaran wabah, mempromosikan perilaku hidup bersih, sehat dan produktif.
Selain itu, masyarakat juga dapat berperan dengan membentuk kelompok masyarakat tangguh dan sadar pencegahan dan penanggulangan wabah Covid-19, mencegah stigma dan diskriminasi terhadap orang yang terkonfirmasi positif Covid-19, ikut serta mencegah penyebaran berita bohong/hoax dalam pencegahan dan penanggulangan wabah Covid-19, memfasilitasi penyelenggaraan jenazah yang terindikasi dan/atau terkonfirmasi positif wabah Covid-19, mendorong warga yang berpotensi menyebarkan wabah Covid-19 untuk memeriksakan diri ke fasilitas pelayanan kesehatan, dan terakhir mengawasi dan menghimbau penerapan protokol kesehatan.
Pengawasan oleh Masyarakat
Perda AKB telah memberikan ruang kepada masyarakat untuk berperan mengawasi penerapan protokol kesehatan. Pada bagian pengawasan, Perda AKB menjelaskan bahwa pemerintah daerah melalui perangkat daerah melakukan pengawasan pelaksanaan adaptasi kebiasaan baru, antara lain dalam bentuk pemantauan, pencegahan berita bohong/hoax, evaluasi secara berkala, dan penerimaan pengaduan masyarakat.
Jadi, masyarakat dapat berpartisipasi dalam penerapan Perda AKB dengan ikut mengawasi, dengan cara menyampaikan pengaduan pelanggaran protokol kesehatan atau adaptasi kebiasaan baru, dan pemerintah daerah melalui perangkat daerah wajib menerima dan menindaklanjuti pengaduan tersebut. Hanya saja, sejak dinyatakan efektif berlaku, kita belum mendegar kemana dan bagaimana caranya agar masyarakat dapat melaporkan pelanggaran protokol kesehatan pada fasilitas publik yang ada.
Peran serta masyarakat dalam mengawasi dengan melaporkan setiap pelanggaran Perda AKB yang terjadi pada fasilitas publik, perkantoran dan institusi pelayanan publik, akan efektif bila pemerintah menyediakan sarana pengaduan. Sarana atau media pengaduan yang mudah diakses oleh masyarakat seperti nomor pengaduan (hotline), media sosial atau nomor WhatsApp (WA).
Setelah menyampaikan pengaduan, maka masyarakat memerlukan umpan balik, masyarakat perlu tahu apakah pengaduannya direspon atau tidak, karena itu pemerintah daerah juga perlu menetapkan sejenis mekanisme umpan balik berupa standar/prosedur penanganan pengaduan dan petugas pengelola pengaduan. Dengan adanya petugas yang cakap dan mekanisme pengaduan yang baik, pengaduan masyarakat dapat direspon dengan tepat dan cepat, masyarakat merasa mendapatkan respon, merasa didengar dan dilibatkan, sehingga kepercayaan publik dalam pencegahan dan pengendalian Covid-19 akan semakin meningkat. Semoga.
Penulis: Adel Wahidi, Kepala Keasistenan Pencegahan Ombudsman RI Perwakilan Sumatera Barat