Sumbar dan Politik Akal Sehat

Pancasila Sumbar Pilkada

Israr Iskandar, SS. MA (Foto: FIB/unand.ac.id)

Langgam.id - Mungkin tak dibayangkan sebelumnya potongan ucapan Ketua DPR Puan Maharani “semoga Sumatera Barat mendukung negara Pancasila” telah memicu reaksi beragam. Pernyataan yang disampaikan saat PDIP memberikan dukungan resmi pada pasangan Mulyadi-Ali Mukhni untuk Pilkada Sumbar 2020 itu tak hanya disambar politisi dari kubu lawan, tapi juga direspons publik luas, seperti terbaca di berbagai media massa dan media sosial.

Kalau yang “menyambar” pernyataan petinggi PDIP itu adalah politisi PKS atau bahkan Gerindra serta partai-kelompok “sekubu"-nya yang lain, misalnya, hal itu sangat mudah “dipahami”.

Mereka tentu hendak memenangkan cagub-cawagubnya masing-masing, bahkan berkepentingan hendak “mengamankan” basis suaranya untuk Pemilu 2024 nanti.

PKS yang sudah berkuasa di tingkat Sumbar dalam satu dekade ini, umpamanya, tentu ingin sekali melanjutkan dominasinya dalam kehidupan politik maupun wacana publik di daerah.

Namun ketika publik ikut mengamplifikasi isu yang cenderung mengarah pada eksploitasi “politik identitas ini, maka diperlukan suatu sudut pandang yang lebih jernih dan berbasis akal sehat, suatu cara berpikir dan bertindak yang khas pada orang Minang di masa lampau, khususnya di zaman emas para Pendiri Republik.

Hal ini diperlukan supaya substansi “pesan” yang sangat mungkin terkandung di balik pernyataan cucu Bung Karno itu tertangkap dan tidak justru hanyut dibawa emosi sebagaimana pengalaman yang ditunjukan (sebagian) kelompok masyarakat daerah ini, terutama dalam beberapa tahun terakhir ini.

Pihak PDIP sendiri sudah mengklarifikasi konteksnya. Bahkan Megawati sendiri mengakui nasionalisme dan kontribusi orang Minang dalam sejarah Republik, antara lain menyebut nama Bung Hatta.

Memang di sisi lain ia juga merasa tak habis pikir mengapa penerimaan orang Sumbar terhadap partai berlambang banteng tetap rendah, bahkan terasa semakin rendah, sekalipun selama menjadi partai berkuasa merasa sudah berkontribusi untuk banyak proyek pembangunan di daerah ini baik di masa kepresidenan Megawati (2001-2004) maupun kepresidenan Joko Widodo dalam lima atau enam tahun terakhir.

Kalau begitu, persoalan sinyalemen tersebut tentu tak terkait dengan sejarah. Artinya sinyalemen implisit Puan tersebut tidak dialamatkan pada kadar Pancasilais orang Minang di masa lampau, bahkan katakanlah untuk kurun peristiwa pemberontakan PRRI (1958-1961) sekalipun (karena latarnya justru mengoreksi pelanggaran Konstitusi masa itu), tetapi lebih pada konteks keadaan sosial politik masa kini, terkhusus di ranah.

Walaupun tak disebutkan, tetapi keceplosan dari putri almarhum Taufik Kiemas yang asal Tanah Datar itu amat mungkin terkait respon reflek-traumatik atas merosotnya pamor PDIP dan juga elektabilitas Jokowi dalam Pilpres lalu di Sumbar yang mereka anggap atau rasakan antara lain sebagai efek merebaknya politisasi SARA yang mengarah pada (meminjam istilah Fukuyama, 2018) politik kebencian” dalam masyarakat politik bangsa kita sejak beberapa tahun belakangan.

Jika hal itu yang harus dikatakannya, tentu sifatnya subyektif juga, bahwa seolah merosotnya pamor partai banteng di Sumbar berbanding lurus dengan merosotnya kadar nasionalisme dan Pancasilais masyarakat daerah ini.

Jika asumsinya memang demikian, tentu hal itu (bagi sebagian kalangan) akan mengandung masalah juga, karena variabel yang digunakan akan mudah dituding bersifat parsial dan tebang pilih.

Mungkin sekali sebagai partai berkuasa mereka bisa dituding sedang melakukan hegemoni (makna) atas Pancasila, sebagaimana pernah dilakukan rezim Orde Lama (Soekarno) dan Orde Baru (Soeharto).

Bahkan orang juga bisa bilang: apa bedanya juga mereka dengan kelompok-kelompok tertentu yang juga suka menghegemoni makna atau merasa lebih beragama dibandingkan kelompok yang lain.
Kecuali memang kalau data yang ditampilkan dari hasil penelitian ilmiah.

Temuan survei Maarif Institute tahun 2017 atau Balitbang Kemenag Tahun 2018 yang menyimpulkan bahwa Sumbar termasuk daerah dengan tingkat toleransi yang mencemaskan, misalnya, jelas lebih solid, sekalipun tidak mewakili totalitas warga.

Temuan dari riset itu bagaimanapun harus menjadi perhatian dan kerisauan pihak-pihak, termasuk elit lokal dan cagub-cawagub sendiri.

Sebab jika gejala yang bercorak “religio politik” di bawah permukaan ini tak direspon dengan rasa prihatin, terutama kepala daerah terpilih nantinya, tetapi malah disangkal secara emosional, seperti yang sering ditunjukkan selama ini, maka munculnya sejumlah kekhawatiran terhadap kondisi masyarakat daerah ke depan ini, termasuk relasinya dengan corak pemerintah nasional yang pluralistik, memang menjadi masuk akal juga.

*Dosen di Ilmu Sejarah, Universitas Andalas

Baca Juga

Ijtihad Politik Muhammadiyah Sumbar
Ijtihad Politik Muhammadiyah Sumbar
Permasalahan baru yang menimpa umat Islam yakni terkait daftar nama-nama ustadz kondang yang terdaftar dalam jaringan radikalisme.
Pergeseran Nilai Muhammadiyah Sumbar dalam Politik?
Sumatera Barat, sebuah provinsi yang dikenal memiliki sejarah politik yang kaya dan beragam, selalu menunjukkan dinamika politik yang unik.
Politik Tanpa Akhir
Sumatera Barat, sebuah provinsi yang dikenal memiliki sejarah politik yang kaya dan beragam, selalu menunjukkan dinamika politik yang unik.
Rasionalkah Rasionalitas Politik Orang Minang?
Menakar Keseriusan Politik Anies Baswedan
Menakar Keseriusan Politik Anies Baswedan
Ketua DPD Partai Gerindra Sumbar H Andre Rosiade mengungkapkan bahwa timnya langsung bergerak maju memenangkan Pilkada Sumbar usai pasanga
Perkembangan Pilkada Sumbar 2024 Hingga Kemarin: 21 Paslon Mendaftar di 15 Kabupaten/Kota