Pada beberapa laman media sosial hari-hari ini sangat mudah menemukan foto atau video seseorang atau sekelompok orang sedang bergaya di depan sebuah bangunan. Perilaku ini mencerminkan kecintaan terhadap bangunan sebagai penanda eksistensi identitas atau imajinasi sosial tertentu. Sederhananya, ada kebanggaan tersendiri bagi seseorang yang mempunyai kemampuan mengabadikan kenangan dan sejarah diri melalui media rekam di depan sebuah bangunan. Ada kode-kode khusus atau teka-teki identitas yang menarik dipecahkan terkait perilaku ini.
Bersamaan dengan itu, juga tengah tersirat informasi kekinian, bahwa bangunan-bangunan yang masih dilekati idenitas budaya tertentu sudah mulai menjadi harta pusaka yang mulai langka. Bila ditarik ke belakang, generasi kelahiran 1960-1970-an di Indonesia pasti punya memori dengan ukiran rumah gadang di atas koin seratus rupiah. Koin ini berlaku sepanjang dua dekade 1970-1990-an awal. Ukiran di koin ini menyimpan imajinasi arsitektur otentik Nusantara, dalam konteks historis ini, kebetulan, diwakili oleh etnis Minangkabau.
Di Indonesia komposisi identitas suku sangat beragam. Kolaborasi BPS dan ISEAS (Institute of South Asian Studies) memaparkan data bahwa terdapat sekitar 633 suku yang diperoleh dari pengelompokan suku dan subsuku yang ada di Indonesia. Ribuan pulau yang terdapat di Indonesia merupakan ciri bahwa negera ini merupakan negara dengan keragaman suku dan latar belakang kebudayaan yang berbeda-beda. Dunia internasional mengakui masyarakat Indonesia sebagai masyarakat paling majemuk di dunia selain Amerika Serikat dan India. Demikian dikemukakan oleh Agus Joko Pitoyo dan Hari Triwahyudi ketika menulis laporan tentang “Dinamika Perkembangan Etnis Di Indonesia Dalam Konteks Persatuan Negara,” Jurnal Populasi Nomor 1 2017. Laporan BPS sepanjang 2010 hingga 2015 menyoal “Kewarganegaraan, Suku Bangsa, Agama, dan Bahasa Sehari-hari Penduduk Indonesia: Hasil Analisis Sensus Penduduk” juga menerangkan kekayaan kultural di Indonesia yang pada tiap-tiap identitas mereka melakat konsep-konsep arsitektur yang terbentuk berdasarkan alam dan budaya masing-masing.
Arsitektur sebagai Ciri Cara Berpikir
Arsitektur adalah simbol yang memadat dari gagasan atau cara berpikir. Adrian Tinniswood (1998) dalam Visions of Power memaparkan bagaimana para penguasa mengekspresikan ambisinya lewat arsitektur. Sebagaimana juga dikuitp dari buku Menimbang Minangkabau (Wimra, 2020) terjelaskan bagaimana Fir’aun Akhenaten yang menganggap dirinya Tuhan, membangun kota Tell El-Amara sekitar tahun 1350 SM juga sekaligus “Pantheon Mesir”, yakni Kuil Lingkar Matahari. Sementara itu, Hadrian dari Romawi menghabiskan waktu selama 21 dari 52 tahun masa pemerintahannya di tahun 76 hingga 138 M untuk membangun kota Roma sesuai dengan ambisinya.
Kilasan sejarah ini menjadi penegasan bahwa jejak peradaban masyarakat manusia meninggalkan beberapa petanda. Arsitektur adalah salah satu di antara petanda tersebut. Menara Eiffel di Paris, semula dibangun sebagai pusat pameran internasional yang diselenggarakan tahun 1889, sekaligus menandai perkembangan industri dan teknologi membangun yang dicapai di abad ke-19. Sekarang menara ini telah menjadi ikon kota Paris. Bangunan Masjidil Haram yang mengelilingi Ka’bah juga representasi perjalanan monoteisme yang tercatat sejak kenabian Ibarahim AS.
Ruang bangunan fisik merupakan manifestasi dari ruang bangunan metafisik, yakni pikiran. Lewat sebuah karya arsitektur, seorang pemerhati dapat menyimak pesan yang ada di balik susunan gugus material yang terkonstruksi. Ahmad Fanani menguraikan diskursus ini dalam buku Arsitektur Masjid (2009). Arsitektur berfungsi sebagai petanda terhadap gejala-gejala kebudayaan. Surau kecil di sebuah dusun terpencil akan menandai adanya kehidupan Islam di tempat itu. Kelenteng di tengah perkampungan mengisyaratkan bahwa ada kehidpan etnik China di sekitarnya. Melihat Piramida di Mesir, dapat diperoleh bayangan gambar kekuasaan Fir’aun. Melihat Kolosium di Roma dapat diproyeksikan gambar kehidupan masyarakat Romawi di kala itu.
Menyaksikan Masjid Agung Kordoba dengan fenomena keberadaan sebuah kapel gereja di tengahnya dapat dipelajari perjalanan jatuh bangunnya Islam di Spanyol. Demikian pula bila menyimak tampilan Hagia Sophia di Istanbul akan didapat pelajaran tentang keruntuhan kekuasaan Byzantium Roma dan munculnya kekuatan Islam di bawah wangsa Utsmani di Turki. Atau ketika melihat megahnya bangunan kuburan bernama Taj Mahal di India, terbayang pula betapa cintanya Shah Jahan pada istrinya. Taj Mahal dibangun selama 22 tahun, mulai tahun 1631-1653 atas perintah Raja Shah Jahan. Bangunan ini didedikasikan untuk istrinya Mumtaz Mahal yang bernama kecil Arjumand Bano Begum. Singkatnya, arsitektur bukanlah dinamika ruang yang tercipta dari kekosongan. Pikiran ini yang mengelitik imajinasi saya ketika mengamati kecendrungan arsitektur yang populer di kalangan pengembang dan massif diminati oleh pengguna perumahan di Indonesia.
Rumah sebagai Surga di Dunia
Rumahku adalah surgaku, home sweet home, merupakan pengumpamaan lain yang mengafirmasi makna hunian bagi manusia berperadaban. Ketika Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) menggelar lomba menulis dan foto bertema Rumah Pertama, maka yang teringat tentu ada dua rumah. Pertama, rumah pertama tempat seseoramg dilahirkan tumbuh besar dengan segala bentuk pengasuhan yang barangkali berbenturan dengan adat istiadat setempat. Kebanyakan, rumah pertama jenis ini berada di kampung halaman. Rumah pertama ini, bagi yang lahir di tahun 60-an sampai 90-an masih banyak yang berbentuk rumah adat masing-masing. Sekadar misal, Rumah Gadang di sumatera Barat, Rumah Bolon di Sumatera Utara, Rumah Krong Bade di Aceh, Rumah Panggung Kajang Leko di Jambi, Rumah Joglo di Jawa, Rumah Sunda di Jawa Barat, Rumah Honai di Papua, Rumah Panjang di Kalimantan, Rumah Pewaris, rumah Buton dan Tongkonan di Sulawesi serta banyak lagi. Ada 38 jenis rumah adat di Indonesia.
Rumah-rumah adat memang masih ada di pelosok-pelosok negeri ini atau setidaknya menjadi ikon gedung dan gapura di ibu kota pemerintahan dari provinsi hingga kelurahan. Selebihnya ada yang sudah dirombak menjadi rumah bergaya kontemporer. Bisa dikatakan sangat sedikit sisa-sisa bangunan bercorak rumah adat yang masih menjadi hunian masyarakat. Khusus di Sumatera Barat, ada daerah yang dijuluki negeri seribu rumah gadang terletak di Solok Selatan dan negeri seribu gonjong terletak di Kabupaten Lima puluh Kota. Di daerah ini rumah-rumah lama yang masih dijaga dan dirawat belakangan dijadikan destinasi wisata.
Kedua, rumah pertama yang dapat dimiliki dan dibeli setelah memiliki pekerjaan. Rumah yang akan dijadikan sebagai tempat membentuk keluarga baru. Rumah pertama ini seringkali terdapat di kota-kota besar yang dibangun oleh pengembang atau dibangun oleh pemerintah untuk pegawai negeri atau untuk masyarakat yang berhak mendapat rumah subsidi.
Kehidupan modern menuntut orang berpendidikkan tinggi agar mendapatkan hidup lebih baik. Keinginan mendapatkan pendidikan lebih baik ini mengakibatkan mobilitas penduduk ke pusat lapangan pekerjaan tidak terkendali. Seolah sudah menjadi takdir, bahwa setiap lulusan universitas jarang sekali mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan pendidikkan yang ia raih di daerah asalnya. Rata-Rata mendapatkan pekerjaan di kota besar yang jauh dari daerah ia dilahirkan. Inilah yang mendorong seseorang memiliki rumah pertama dengan penghasilannya di tempat ia bekerja. Rumah yang disediakan pengembang rata-rata seragam yaitu rumah dengan corak minimalis. Rumah jenis ini membuat seseorang menjauh dari rumah masa kecilnya yang masih bersinggungan dengan adat istiadat dan kebudayaannya. Sehingga seringkali seseorang ingin pulang dan menjenguk kampung halamannya.
Bagaimana jika konsep kedua rumah di atas digabungkan menjadi sebuah rumah pertama yang mengembalikan seseorang ke kampung halaman? Bagaimama jika pengembang membangun komplek pemukiman dengan corak-corak rumah adat yang ada di Indonesia. Saya yakin akan banyak peminatnya. Terutama jika rumah yang dimaksud dalam gagasan ini dapat dibangun dengan subsidi pemerintah. Instansi pemerintah yang dapat mewujudkan hal ini tentu saja Kementerian PUPR.
Sebagaimana dikutip dari laman www.perumahan.pu.go.id, kementerian Pekerjaan Umum dan perumahan Rakyat (PUPR) memiliki kewenangan dan kemampuan untuk melaksanakan konsep rumah seperti ini melalui program “satu juta rumah” yang dicanangkan oleh Presiden Joko Widodo pada 29 April 2015. Berdasarkan laoran kinerja tahun 2019, jumlah rumah yang sudah dibangun per 31 Desember tahun 2019 yaitu sekitar 1.257.852 unit Rumah MBR dan Rumah Non MBR. Bantuan Stimulan Perumahan Swadaya Rumah merupakan Program teranyar Kementerian PUPR. Program ini melakukan bedah rumah terhadap rumah-rumah tidak layak huni di seluruh Indonesia. Program ini sangat membantu dan meningkatkan kualitas hidup rakyat di pelosok Nusantara.
Untuk mewujudkan diskursus ini, muncul sebuah proyeksi tawaran, bagaimana jika konsep arsitektur otentik dari ratusan rumpun kulutur ini dimasukkan dalam patronasi pembangunan perumahan di Indonesia? Ada perwujudan keadilan budaya di sini dan masyarakat tidak benar-benar tercerabut dari akar budayanya. Meskipun secara mobilitas sosial, mereka telah berpindah tempat, namun rumah yang mereka tempati masih menyimpan suasana di mana mereka dibesarkan secara fisik bahkan secara mental-spiritual. Sementara itu, rumah adat mereka yang asli barangkali akan segera roboh nun jauh di kampung halaman karena penghuninya telah berpindah karena tuntutan hidup modern.
Fitra Yanti, Pemerhati Pengembangan Masyarakat dan Konseling Anak. Instagram @fitrayantizelfeni