Boy, pemilik ‘Hindia, Sebentang Peta Kumal’. Anak itu mempersilahkan saya masuk. Di ruang tamu, berbagai keperluan bertebaran di atas meja. Saya mengeluarkan kartas karton, penggaris, spidol, gunting dan tali rapia. Kami bercerita, tertawa sambil terus mengukur, menggunting dan menulisi kertas untuk keperluan Masa Orientasi Siswa (MOS).
Kami adalah siswa baru madrasah di Bukittinggi, 15 tahun lalu.
Tak berapa lama duduk di bangku kelas VII MTsN 1 Bukittinggi, Boy pindah ke Pekanbaru. Sejak itu, lebih sepuluh tahun kami tidak saling berkomunikasi.
Beberapa tahun lalu, saya menemukannya di facebook. Saya menyapa, berlangsung percakapan basa-basi dan saling bertukar kabar. Pada beberapa postingannya, saya meyakini kalau dia mulai berkecimpung di dunia sastra. Boy menulis puisi dan essay, sesekali ia membaca puisi.
Beberapa waktu lalu, di twitter, Boy mengunggah gambar. Puisi-puisinya sejak beberapa tahun belakangan akan segera diterbitkan. Pada design cover tertulis, 'Hindia Sebentang Peta Kumal'. Saya mencium aroma masa lalu.
Di penghujung Juli 2020, buku itu akhirnya sampai di hadapan saya. "Buku iko paubek rindu awak", tulisnya di halaman pertama. Saya membalik beberapa halaman hingga sampai di daftar isi, 61 puisi dalam buku ini adalah cerita tentang peristiwa, daerah dan manusia yang pernah singgah dalam ingatan Boy.
Peta Kumal Sumatra Weskust dan Fort de Kock
Berbicara peta, tentu berbicara geografis, berbicara tempat. Hindia yang menjadi sebutan Bangsa Belanda untuk Indonesia saat ini cukup luas, saya ingin fokus membaca peta Sumatra Westkust.
Kata demi kata pada puisi tersebut saya amati, untuk kemudian menemukan koordinat tempat saya menghabiskan masa kecil hingga remaja, Fort de Kock atau Bukittinggi. Daerah yang menjadi salah satu bagian dari “Hindia, Sebentang Peta Kumal”.
Puisi pertama yang saya baca berjudul Prolog. Sebuah pembukaan yang menarik untuk membawa ingatan saya ke gelanggang pacuan kuda tertua di Sumatera Barat, Bukik Ambacang. Kuda-kuda, kerumunan orang-orang yang bersorak menyemangati kuda idola mereka, suara pemandu acara yang sayup-sayup tertiup angin di gelanggang, serta puluhan makam etnis Tionghoa yang berjejer di atas bukit, di depan gelanggang.
Luak Anyir, pemukiman yang berada tidak jauh dari Gelanggang Bukik Ambacang adalah daerah lain yang saya temui dalam buku ini, termuat pada judul puisi Turun di Luak Anyir. Terus mengikuti Jalan Veteran dan kemudian berbelok ke kiri, ke jalan Haji Miskin, daerah ini bernama Palolok, tempat lain yang termuat dalam puisi Ekspatriat di Palolok.
Narasi-narasi Paderi cukup kentara pada puisi ini. Barangkali berkaitan dengan jalan yang memakai nama Haji Miskin, salah seorang dari Trio Haji yang memicu gerakan Paderi di daerah Luhak.
Tidak jauh dari Palolok, tempat lain yang juga disebutkan dalam buku ini adalah Mandiangin, dalam judul puisi ‘Mandiangin Mandi Api’. Tidak hanya itu, beberapa tempat di Fort de Kock yang tidak luput dari buku kumpulan puisi ini adalah Tangah Sawah (daerah Pasar Bawah), termuat dalam judul puisi Pulang ke Tengah Sawah.
Tentu saja satu tempat lain yang punya memori kuat bagi Boy, sebuah rumah di Gulai Bancah. Puisi berjudul Rumah 77B, Gulai Bancah, agaknya adalah salah satu puisi yang merepresentasikan masa kecilnya, tentang rumah yang menjadi saksi perjalanan Boy kecil hingga remaja sebelum akhirnya pindah.
Tidak hanya tempat-tempat yang ada di Fort de Kock, beberapa puisi pada buku ini juga menyebut tempat lain yang ada di luarnya. Secara umum saya menyebutnya Sumatra Westkust, sebutan Belanda untuk Sumatera bagian barat.
Agam yang secara administratif menjadi sebuah kabupaten dan menjadi luhak dalam perspektif daerah adat, disebutkan dalam puisi ‘Menjelang Sampai ke Agam’. Tiku, daerah di Kabupaten Agam yang berada di tepi Samudera Hindia juga disebut dalam puisi ‘Menziarahi Tiku’.
Padangpanjang, sebuah kota kecil di kaki Gunung Marapi saya temui pada puisi Sajak kepada Seorang Orang Tua yang Bertemu Syafruddin Prawira Negara. Tempat lainnya adalah Batusangkar, tempat yang saat ini menjadi lokasi berdirinya replika istana Kerajaan Pagaruyuang, ditemui pada judul puisi Melintasi Selatan Batusangkar.
Kota Padang juga tidak luput dari ingatan Boy. Air Manis, termuat dalam puisi Di Air Manis. Kata Purus, kawasan pemukiman nelayan di tepian Pantai Padang terdapat dalam puisi Di Tepi Purus, dan kata Siteba ada dalam judul puisi Hujan di Siteba.
Narasi Sejarah dan Nuansa Lokalitas
Saya mencium aroma sejarah dan lokalitas yang cukup kental dalam puisi-puisi Boy. Sejarah dan lokalitas adalah dua hal yang saya minati. Selain karena punya kedekatan secara geografis dengan tempat-tempat pada puisinya, dua hal ini adalah alasan lain mengapa saya tertarik membaca dan kemudian berkomentar.
Selain narasi Paderi, kolonialisme Belanda adalah adalah isu-isu yang cukup banyak ditemui dalam puisi-puisi Boy. Tidak hanya penggunaan diksi, beberapa potongan cerita dan tokoh juga turut serta dalam beberapa puisi.
Tentu saja peristiwa itu tidak semua ditulis secara utuh, hanya mengutip ide dari sebuah peristiwa sejarah yang kemudian ia maknai sesuai kebutuhannya. Sebagai karya sastra, puisi-puisi tentu menuntut pembaca memberikan penafsiran sesuai pemahaman masing-masing. Di sini saya tekankan, puisi-puisi tersebut beraroma sejarah.
Ekpstriat di Palolok adalah salah satu puisi yang di dalamnya saya cium aroma sejarah. “Haji Padri, di Rokan, tuan punya kembaran, Saudara seiman, dan kawan seperjuangan” adalah sepenggal narasi yang terdapat dalam puisi tersebut.
Berbicara tentang Haji Padri, sebagaimana yang saya tulis sebelumnya, barangkali berkaitan dengan Haji Miskin yang dijadikan nama jalan di Palolok. Haji Miskin dalam sejarah disebut sebagai salah satu dari tiga orang pelopor terjadinya Gerakan Paderi pada awal XIX di Minangkabau. Barangkali, nama dan peristiwa inilah yang menjadi salah satu alasan Boy memuat narasi tersebut.
“Ada menhir terpahat, aksara segala umat” adalah narasi beraroma sejarah lain dalam buku kumpulan puisi ini. Penggalan dari puisi Melintasi Selatan Batusangkar itu jelas memuat narasi sejarah, walau hanya sepenggal. Batusangkar, adalah bagian dari Luhak Tanah Datar, daerah kultural di Minangkabau.
Walau secara fisik menhir lebih identik dengan daerah Maek di Limapuluh Kota, akan tetapi bukan berarti daerah ini tidak memiliki menhir, salah satunya berada di Talago Gunuang. Tentang aksara, Tanah Datar menyimpan cukup banyak prasasti peninggalan Adityawarman, raja pertama Pagaruyuang, beraksara palawa dengan bahasa sangskerta.
Dua penggalan puisi di atas hanyalah sebagian dari banyaknya aroma sejarah dalam puisi-puisi Boy. Terkait alasan penggunaan diksi dalam puisi ini tentu hanya penulis puisi yang tahu. Terlepas dari apa pun alasan penulis, sebagai pembaca, saya hanya menikmati dan kemudian mencoba menafsirkan sesuai pemahaman saya. Membaca puisi-puisi tersebut, saya cukup yakin Boy punya bacaan sejarah yang cukup baik, terutama berkaitan dengan kolonialisme Belanda dan juga Paderi.
Sebagaimana dari catatan tangan Boy perihal pengobat rindu, saya merasakannya obat yang cukup mujarab. Rindu kepada kampung halaman, tempat Boy menghabiskan masa kecil, dan juga saya hingga dewasa dan akhirnya merantau. Tidak hanya pengobat rindu dengan narasi geografisnya, akan tetapi juga karena narasi sejarah dan lokalitas yang melekat pada diksi, hampir di seluruh puisi. Mengutip ungkapan Hasan Aspahani pada pengantar buku tersebut, “Kerena Setiap Kenangan Mesti Ditebus”, maka rindu akan kenangan masa kecil dan kampung halaman dapat ditebus dengan “Hindia, Sebentang Peta Kumal”. (***)
Syahrul Rahmat, Dosen Sejarah STAIN Sultan Abdurrahman Kepri. Pegiat sejarah Komunitas Rangkiang Budaya Sumbar