Langgam.id - Para siswa sekolah menengah hari itu dikumpulkan di Padang. Nazir Datuk Pamoentjak, aktivis Jong Sumatranen Bond yang didirikan pada 9 Desember 1917 di Batavia, datang ke Padang untuk berbicara di depan para anak muda tersebut.
Mohammad Hatta yang kelak jadi proklamator dan wakil presiden pertama Republik Indonesia, ada di antara anak muda itu. Itulah pertemuan pertama Hatta dan Nazir, sebelum kelak mereka bersama-sama aktivis pergerakan kemerdekaan di Belanda.
Abdullah Rivai dalam Buku 'Student Indonesia di Eropa' (2000) menulis, Mohammad Nazir Datuk Pamoentjak lahir di Salayo, Solok, pada 10 April 1897, atau tepat 122 tahun yang lalu dari hari ini, Rabu (10/4/2019).
Mr. Mohammad Nazir Datuk Pamoentjak, namanya kemudian sering ditulis: Nazir Pamontjak, lebih tua lima tahun dari Bung Hatta yang lahir pada 1902. Ia juga lebih dahulu masuk ke dunia pergerakan kemerdekaan. Ia adalah mentor Hatta saat muda.
Januari 1918, saat Nazir berceramah sebagai aktivis Jong Sumatranen Bond (JSB) di depan para siswa sekolah menengah itu, Hatta masih jadi siswa Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) Padang atau sekolah menengah pertama. Gedung MULO Padang tempat Hatta bersekolah saat itu, kini masih ditempati SMP Negeri 1 Padang.
Dalam Buku 'Memoir Mohammad Hatta', Bung Hatta memperlihatkan kekagumannya kepada Nazir. "Suatu peristiwa yang bersejarah rasanya bagiku terjadi di Padang pada bulan Januari tahun 1918. Nazir Datuk Pamontjak datang ke Padang sebagai utusan Jong Sumatranen Bond, perkumpulan pemuda Sumatra yang belajar pada sekolah-sekolah menengah yang didirikan pada tanggal 9 Desember 1917 di Betawi," tulis Hatta.
Hatta melanjutkan kesannya, "Kedatangan itu memperluas kaki langit pandangan kami pemuda Sumatera yang bersekolah di Padang. Perkumpulan itu menyingkap tabir masalah baru bagi kami yang sebelum itu tidak dikenal."
Saat datang ke Padang, Nazir sudah setengah tahun tamat HBS di Batavia. Ia berencana melanjutkan ke jurusan ilmu hukum di Universitas Leiden. "Tetapi karena perjalanan kapal ke Eropa sering terhalang waktu itu karena dunia berada dalam perang, ia akan menunggu dulu," tulis Hatta.
Dalam masa menunggu tersebut, Nazir pulang kampung untuk melihat keluarga. Saat itulah, Pengurus JSB sekaligus meminta ia mendorong pendirian cabang JSB di Padang dan Bukittinggi. Dalam rangka itu, ia berceramah di depan siswa sekolah menengah di Padang.
"Sebagaimana biasa pada rapat-rapat murid sekolah menengah di waktu itu, pidato Nazir Dt. Pamontjak diucapkan dalam Bahasa Belanda," tulis Hatta.
Nazir memulai pidato dengan kalimat suggestif, bahwa pemuda Sumatra sudah terlambat dua tahun dibanding pemuda di Jawa yang mendirikan Jong Java pada 1915. Karena itu, penting untuk mengejar ketertinggalan.
Ia lalu memaparkan tujuan JSB didirikan. Pertama, memperkuat pertalian antara pemuda yang masih belajar serta menanam keinsafan dalam jiwanya, bahwa mereka mempunyai seruan hidup untuk menjadi pemimpin dan pendidik bangsanya.
Kedua, menimbulkan perhatian pada anggotanya dan orang lain terhadap tanah dan bangsa Sumatra dan untuk mempelajar adat-istiadat Sumatra, keseniannya, bahasa-bahasanya, pertaniannya dan sejarahnya.
JSB, kata Nazir, berupaya memerangi keangkuhan suku bangsa yang merasa lebih tinggi sukunya dari suku-suku lain di antara penduduk Sumatra, dengan memperkuat rasa persatuan antara mereka.
"Sehabis pidato Nazir Pamontjak itu, yang memakan waktu kira-kira satu jam, terasa olehku seolah-olah tugas baru terbentang di muka pemuda Sumatra. Mereka harus menyiapkan diri untuk menjadi pemimpin dan pendidik gunan mengangkat derajat bangsanya yang masih terbelakang," tulis Hatta.
Esok harinya, JSB Cabang Padang terbentuk. Pengurusnya, Anas Munaf sebagai ketua, Bahder Djohan sebagai sekretaris, Ainsjah Jahja dan Malik Hitam sebagai komisaris dan Bung Hatta bendahara.
Berhasil mengembangkan JSB di Padang dan Bukittinggi, Nazir kembali ke Batavia. Ia kemudian berlayar ke Belanda untuk melanjutkan cita-citanya masuk Fakultas Hukum Universitas Leiden. sebelum masuk fakultas hukum, Nazir harus mengikuti dulu ujian negara yang ia lalui dengan baik.
Di Belanda, Nazir kemudian aktif di Indische Vereeniging (Perhimpunan Hindia). Ini adalah Organisasi pelajar dan mahasiswa Hindia di Negeri Belanda yang berdiri sejak 1908.
Ketika Hatta sampai di Belanda pada September 1921, Nazir menemui Hatta. Layaknya senior, Nazir memberi tahu Hatta berbagai perkembangan terbaru. Bahwa, di Belanda, para mahasiswa yang datang dari Hindia Belanda tak ingin lagi disebut Inlander, tapi Indonesier.
"Bagi kita orang Indonesia, tidak ada lagi Inlander atau Inboorling, tidak ada lagi Nederlandsch-Indie, melainkan hanya Indonesia," kata Nazir, sebagaimana ditulis Hatta.
Menurut Nazir, juga ada perkembangan baru dengan berdirinya komite yang yang memperjuangkan otonomi untuk Hindia Belanda.
"Penganjurnya hampir rata-rata guru besar di Leiden. Ketuanya Van Oppenheim, profesor emeritus di Fakultas Hukum Universitas Leiden dan sekretarisnya mahasiswa Indonesia Oerip Kartodirdjo."
Ia juga meminta Hatta segera mendaftar jadi anggota IV. Bahkan, Nazir yang tahu bagaimana Hatta menjadi bendahara JSB di Padang dan kemudian juga sukses di JSB Batavia, memintanya juga bersiap jadi bendahara di IV.
"Di sini tidak ada Jong ini dan Jong itu. Waktu Budi Oetomo didirikan tahun 1908, mahasiswa Indonesia di Nederland mendirikan Indische Vereening," katanya.
"Kenapa tidak Indonesische Vereeninging?" tanya Hatta. Karena, kata Nazir, istilah Indonesia belum dikenal pada waktu itu. Istilah Indonesier dan Indonesisch baru beberapa tahun terakhir dari saat itu diintroduksikan oleh ahli hukum adat Prof. Van Vollenhoven.
"Indische Vereeniging tentu akan kita ganti menjadi Indonesische Vereeniging," kata Nazir.
Seperti diperkirakan Nazir, organisasi tersebut memang berganti nama kemudian menjadi Indonesische Vereeniging. Pada pergantian pengurus tanggal 9 Februari 1924, Nazir Pamontjak menjadi ketua Indonesische Vereeniging didampingi AA Maramis sebagai sekretaris.
Pada rapat anggota tanggal 1 Maret 1924, Ketua IV Nazir Pamoentjak menegaskan garis perjuangan organisasi.
"Hanya Indonesia yang bersatu, dengan menyingkirkan perbedaan-perbedaan golongan, dapat mematahkan kekuasaan penjajahan. Tujuan bersama memerdekakan Indonesia, menghendaki adanya suatu aksi massa nasional yang insaf dan berdasar kepada tenaga sendiri. Melihat dua macam penjajahan, politik dan ekonomi, aksi itu adalah suatu persediaan bagi kemerdekaan politik dan satu sikap menentang kapital asing yang menyedot kekayaan Indonesia," kata Nazir Pamontjak, sebagaimana dikutip Hatta.
Dalam uraian Nazir, menurut Hatta, ia menegaskan politik non-kooperasi sebagai sendi perjuangan rakyat Indonesia. Kerja sama dengan si penjajah untuk mencapai cita-cita kemerdekaan Indonesia, tidak lain dari menipu diri sendiri.
Hatta tak masuk dalam kepengurusan, karena ia diberi tugas menyelesaikan buku 'Gedenkboek Indonesische Vereeniging 1908-1923'. Ia baru jadi pengurus IV di kepengurusan setelah Nazir. Pada 1925, organisasi itu berganti nama menjadi Perhimpunan Indonesia (PI). Pada 1926, Hatta yang kemudian menjadi ketua.
Pada masa kepengurusan Hatta, Nazir tetap aktif di Perhimpunan Indonesia. Perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia makin aktif mereka suarakan lewat Majalah Indonesia Merdeka dan memperluas propaganda ke luar negeri Belanda.
Atas dasar itu, PI mengiriim delegasi yang terdiri dari Hatta, Nazir Pamontjak, Ahmad Subardjo, Gatot Tarumihardja dan Abdul Manaf menghadiri Kongres Internasional Menentang Kolonialisme yang digelar di Brussel, Belgia pada 10-15 Februari 1927.
Robert Edward Elson dalam Buku 'The Idea of Indonesia' mengutipkan pidato Nazir Pamontjak dalam kongres tersebut saat menggambarkan Indonesia. "Di sana, tempat orang kulit putih menginjakkan kaki, hak-hak rakyat diinjak-injak."
Aktivitas perjuangan kemerdekaan inilah yang kemudian membuat Nazir Pamontjak bersama Hatta, Ali Sastroamidjojo dan Abdul Madjid Djojodiningrat ditangkap polisi Belanda dan ditahan selama 5,5 bulan mulai 23 September 1927. Para mahasiswa ini kemudian dibebaskan hakim dari segala tuntutan setelah pidato pembelaan Hatta yang fenomenal: Indonesia Vrij. (Baca: Para Advokat Belanda Pembela Bung Hatta dan Pidato Indonesia Merdeka)
Setelah memperoleh gelar Meester in de Rechten dari Leiden, Nazir Pamontjak tak menetap di Tanah Air seperti Hatta. Nazir tetap di Belanda.
Sejarawan Mestika Zed dalam Buku 'Somewhere in The Jungle: Pemerintah Darurat Republik Indonesia' menulis, Nazir ikut dalam gerakan bawah tanah di Belanda saat negeri itu dikuasai Jerman selama Perang Dunia II. Setelah perang usai, Belanda mengakomodir Perhimpunan Indonesia dalam parlemen.
Menurut Harry A. Poeze dkk dalam Buku 'Di Negeri Penjajah: Orang Indonesia di Negeri Belanda, 1600-1950', Nazir Pamontjak sempat bekerja sebagai asisten kepala bahasa Melayu di Universitas Leiden. Sambil tetap aktif di Perhimpunan Indonesia.
"Yang unik dalam sejarah perwakilan Belanda pastilah ikut duduknya dalam lembaga itu orang-orang Indonesia sebagai utusan Perhimpunan Indonesia, organisasi politik orang Indonesia di negeri ini, yaitu Mr. Nazir Pamontjak dan RM Setiadjit," tulis Poeze.
Tak tembus memperjuangkan Indonesia merdeka di parlemen, Nazir mundur dari parlemen Belanda pada 1946. Ia kemudian kembali ke Tanah Air yang saat itu sudah merdeka di bawah salah satu kawannya, Hatta.
Pada 10 April 1947, Nazir Pamontjak tercatat menjadi anggota delegasi Indonesia yang memperjuangkan pengakuan kedaulatan ke Mesir di bawah pimpinan Haji Agus Salim. Misi ini sukses sehingga Mesir menjadi negara pertama di dunia yang mengakui kemerdekaan Indonesia.
Seterusnya, Nazir tetap di jalur diplomasi. Ia kemudian menjadi duta besar Indonesia yang pertama untuk Prancis pada 1950. Selanjutnya, duta besar Indonesia untuk Philipina hingga ia meninggal dunia pada 10 Juli 1965 di sana. Nazir Pamontjak dan istri Nini Karim punya putri tunggal, Lidia Djunita. Ia kemudian dikenal sebagai aktris dan sutradara film, Jajang C Noer atau Jajang Pamoentjak. (HM)