Langgam.id - Lembaga swada masyarakat, Nurani Perempuan Women’s Crisis Center yang kerap menyoroti tindak kekerasan terhadap perempuan meminta pihak kepolisian mengusut tuntas kasus dugaan suami jual istri yang terjadi di Kabupaten Tanah Datar, Sumatra Barat (Sumbar). Dalam kasus ini juga diduga terjadi tindakan ekploitasi seksual.
Baca juga: Seorang Suami di Tanah Datar Diduga Jual Istri untuk Melunasi Utang
Selain itu, dalam kasus tersebut diduga juga terjadi tindakan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Nurani Perempuan Women’s Crisis Center akan mengandeng Lembaga Bantuan Hukum (LBH) untuk mengawal kasus ini.
"Kami bersama jaringan peduli perempuan sudah mencoba mendiskusikan terkait apa yang akan direspon cepat. Kan melihat kasus ini, dari pengalaman kami ini ada ekploitasi seksual. Nah ini tentu harus disikapi cepat," kata Direktur Nurani Perempuan Women’s Crisis Center, Rahmi Merry Yenti dihubungi langgam.id, Jumat (17/7/2030).
Baca juga: Kasus Dugaan Suami Jual Istri di Tanah Datar Dipicu Utang Rp4 Juta
Menurut Merry, kasus seperti ini apabila dibiarkan akan berdampak banyak terhadap korban. Begitu pun keluarga korban yang tertekan dari lingkungan masyarakat sekitar kediamannya.
"Bisa kita lihat dari informasi, keluarga korban malah mendapat tekanan dari masyarakat sekitar. Karena perlakuan tidak baik. Padahal tentunya, Kita harus melihat perspektif yang lain, bahwa ini terjadi dengan tekanan. Keluarga harus diberikan dukungan," katanya.
Jika dibiarkan, kata Merry, dampak psikologis terhadap korban juga terganggu. Kasus tak terungkap sehingga hilang rasa kepercayaan terhadap korban hingga akhirnya terjerumus ke jalan semakin buruk.
"Nah, sekarang kita belum tahu apakah ke satu laki diperjualbelikan. Kalau banyak orang, bisa saja mendapatkan penyakit menular seksual. Apalagi dalam kondisi hamil, apakah dia tidak tertekan dan suami melakukan aborsi. Tentu (korban) tertekan, apalagi tidak ada keadilan baginya," jelas Merry.
Ia mengakui jika kasus KDRT merupakan delik aduan yang harus melaporkan kejadian tersebut adalah istri yang menjadi korban. Namun, apabila bukti kuat korban mendapat ekploitasi seksual bisa didorong dengan undang-undang perdagangan orang.
"UU 21 Tahun 2007 Tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO). Bisa dilaporkan siapa saja. Bisa saja orang tua melaporkan, tidak harus korban sendiri. Kami melihat lebih dalam dengan LBH, kami akan bergerak," tuturnya.
Seperti diketahui, sebelumnya pihak keluarga bersama tokoh pemuda setempat telah melaporkan kasus ini ke Polsek Lintau Buo pada 27 Juni 2020. Namun, laporan tidak diterima dan pihak polsek menyarankan melapor ke polres.
Baca juga: Polsek Tak Terima Laporan Kasus Dugaan Suami Jual Istri, Ombudsman: Potensi Maladministrasi
Alasan laporan keluarga korban tidak diterima dan diarahkan ke polres karena polsek tidak ada unit Pelayanan Perempuan dan Anak (PPA) di polsek. Padahal, kondisi orang tua korban tidak memungkinkan untuk bisa dibawa ke polres mengingat usia senja dan sakit-sakitan.
"Kami sudah melaporkan tanggal 27 Juni, membawa orang tuanya (T). Tapi diarahkan ke polres. Padahal jarak 40 kilometer ke polres tidak memungkinkan membawa orang tuanya yang sakit dan tua. Belum lagi nanti ada BAP," jelas Hijrah seorang tokoh pemuda setempat. (Irwanda/ICA)