Pilkada tahun ini sudah ditetapkan pada 9 Desember. Di tengah Pandemi COVID-19 yang juga belum mereda, muncul kekhawatiran publik, apakah Pilkada ini dapat diselenggarakan dengan aman, selamat namun berkualitas? Pilkada tentu tidak sekedar menyalurkan partisipasi politik masyarakat saja, tapi juga menghasilkan pemimpin yang berkualitas. Tapi bagaimana ini bisa dilaksanakan, kalau situasinya tidak normal seperti saat ini?
KPU memang sudah menerbitkan PKPU No.5/2020 tentang tahapan, program dan jadwal Pilkada. Dengan demikian, KPU kembali melanjutkan aktifitas Pilkada yang sempat tertunda beberapa waktu yang lalu akibat pandemi COVID-19. Salah satu tahapan yang paling krusial yang sedang dan akan diselesaikan adalah verifikasi faktual terhadap dukungan calon perseorangan yang mengikuti Pilkada.
Seperti diketahui verifikasi faktual ini harus dilakukan kepada semua individu yang memberikan dukungan kepada bakal calon kepala daerah melalui jalur perseorangan. Dalam tahapan ini petugas KPU yang akan memverifikasi syarat dukungan calon ini akan langsung mendatangi individu-individu untuk membuktikan keabsahan dukungan yang diberikannya kepada bakal calon kepala daerah tersebut.
Dalam kondisi ini, KPU Daerah tentu harus melengkapi petugasnya dengan Alat Pelindung Diri (APD) agar mereka aman dan selamat dalam melaksanakan tugasnya sehingga tidak terinfeksi virus SARS-Cov-2. Sayangnya, dengan kondisi yang serba kasip dan ketersediaan APD yang terbatas, tentu ini akan menjadi masalah serius yang akan dihadapi KPU dan Bawaslu pada tahapan awal implementasi PKPU tersebut.
Memang, banyak pihak beranggapan bahwa Pilkada pada masa Pandemi COVID-19 ini terasa terlalu dipaksakan. Padahal kesiapan dari penyelenggara terlihat sangat minim. Belum lagi persoalan anggaran kegiatan yang sudah ditetapkan belum semua daerah dapat menggunakannya karena tidak semua daerah mengalami kesulitan anggaran karena mengatasi COVID-19 ini. Dengan adanya keharusan mengikuti protokol kesehatan dalam pelaksanaan Pilkada ini, maka mau tidak mau anggaran untuk menyediakan APD ini harus dialokasikan untuk memastikan semua tahapan, program dan jadwal yang sudah ditetapkan bisa dilaksanakan.
Sejumlah Kekhawatiran
Memang ada sejumlah kekhawatiran terhadap penyelenggaraan Pilkada ini sehingga dapat mengabaikan kualitas penyelenggaraan Pilkada. Pertama, karena kondisi yang tidak aman dan sehat, dalam pelaksanaan tahapan dan program Pilkada, maka yang muncul adalah sikap permisif dan mengabaikan pelanggaran terhadap aturan yang ada oleh petugas lapangan. Karena sudah menjadi tabiat manusia yang cenderung memilih aman dan selamat dalam bekerja, jika dirinya berada dalam bahaya seperti terinfeksi virus SARS-COV-2 ini.
Akibatnya apa yang menjadi standar kerja mereka jadi terabaikan. Keluhan ini sebenarnya sudah muncul ketika tahapan verifikasi yang dilakukan terhadap dukungan calon gubernur dari jalur perseorangan yang dilakukan oleh petugas lapangan KPU yang tidak dilaksanakan. Jelas ini merugikan calon perseorangan yang diverifikasi. Belum lagi persoalan lain yang akan dihadapi ketika melaksanakan tahapan berikutnya. Oleh karena itu, profesionalitas KPU dituntut agar kepercayaan masyarakat pada penyelenggara Pilkada ini tetap terjaga.
Kondisi inilah yang sebenarnya ditakutkan, ketika penyelenggara sangat permisif dan mengabaikan bagaimana pelaksanaan aturan yang sudah ditetapkan. Salah satu dampaknya tentu pada kualitas Pilkada yang dihasilkan. Kondisi ini memang sangat dilematis bagi penyelenggara.
Pengalaman buruk Pemilu serentak 2019 yang lalu masih membayangi penyelenggara Pilkada ini, terutama dengan adanya petugas KPPS yang meninggal di saat pelaksanaan Pemilu serentak. Bukan bermaksud untuk menakuti. Pemilu serentak dalam keadaan normal saja sudah tinggi tekanan yang dihadapi oleh penyelenggara. Apalagi Pilkada yang dilaksanakan di bawah risiko terinfeksi COVID-19. Kalau hal ini tidak mendapat perhatian serius, maka TPS yang didatangi oleh masyarakat sebagai pemilih akan menjadi kluster baru penularan COVID-19. Kondisi ini harus bisa diantisipasi oleh KPU dan Bawaslu sebagai penyelenggara Pilkada.
Kedua, muncul pertanyaan, bagaimana jika keadaan pandemi COVID-19 ini semakin memburuk, apakah KPU sudah menyiapkan rencana cadangan menghadapi keadaan ini? Misalnya menunda kembali Pilkada di daerah itu atau membatalkan untuk keseluruhan pelaksanaan Pilkada atau tetap dilaksanakan dengan risiko terinfeksi COVID-19. Sampai saat ini, KPU belum menjelaskan renana cadangan tersebut, karena ini jelas lebih penting sehingga tidak terjadi kekacauan dalam pelaksanaan Pilkada di masa pandemi ini.
Masalah ketiga yang juga harus menjadi perhatian KPU dan Bawaslu di daerah adalah tingkat kehadiran pemilih dalam Pilkada tersebut. Dalam kondisi persebaran virus SARS-COV-2 yang masih belum mereda ini, tentu ada kekhawatiran masyarakat untuk mengikuti setiap tahapan Pilkada.
Peluang terinfeksi pemilih ini lebih besar, terutama pada hari pemilihan dengan potensi orang yang berkumpul sangat banyak. Kekhawatiran inilah yang membuat mereka lebih memilih untuk tidak datang ke TPS pada hari pencoblosan, jika tidak ada jaminan keselamatan terhadap diri mereka.
Kehadiran pemilih ini juga berkorelasi dengan masalah ekonomi masyarakat yang terdampak akibat pandemi COVID-19 ini. Tidak sedikit mereka yang bekerja di sektor informal merasakan pengaruh COVID-19 ini pada kehidupan mereka.
Angka prediksi dari Bappenas akan ada penambahan sekitar 5,23 juta pengangguran baru dan 5,71 juta orang miskin di Indonesia. Bahkan diperkirakan hingga setahun ke depan keadaan mereka yang terdampak langsung COVID-19 masih akan kesulitan memenuhi kebutuhan ekonomi mereka. Jika kelompok ini dihadapkan pada pilihan apakah mereka harus pergi bekerja memenuhi kebutuhan hidup atau harus datang ke TPS, tentu pilihan realistisnya adalah bekerja.
Untuk menurunkan beratnya tekanan terhadap penyelenggara Pilkada agar berjalan aman, sehat dan berkualitas, tentu semua pihak harus berperan membantu pelaksanaan Pilkada ini. Persoalannya sekarang adalah bagaimana pihak-pihak tersebut mengambil peran untuk menyukseskan Pilkada dalam kondisi yang memang “tidak normal”.[]
Asrinaldi A, Dosen Ilmu Politik Universitas Andalas; Peneliti Spektrum Politika Institut