Langgam.id - Tes cepat atau rapid tes dalam mendeteksi virus corona (covid-19) sering dilakukan untuk hal tertentu, salah satunya syarat dalam perjalanan menggunakan maskapai penerbangan.
Padahal, hasil akurasi rapid tes sangat kecil dibandingkan akurasi mengunakan metode pemeriksaan polymerase chain reaction (PCR) melalui tes swab.
Menurut Kepala Laboratorium Biomedik Fakultas Kedokteran Universitas Andalas (Unand) Andani Eka Putra, pada prinsipnya rapid tes bisa digunakan. Namun, alangkah baiknya hasil rapid tes yang dilakukan memiliki akurasi di atas 80 persen.
"Kalau diagnostiknya tinggi, kalau di atas 80 persen, oke, pakai. Tapi kalau di bawah itu, janganlah. Kalau akurasinya tinggi, boleh dipakai," ujar Andani kepada langgam.id dalam program wicara, Jumat (10/7/2020).
Andani mengungkapkan, permasalah produk rapid tes yang berkembang saat ini memiliki akurasi yang sangat kecil dan banyak permasalahan. Sensitivitas alat rapid tes sangat rendah apalagi dalam pemeriksaan pertama hingga tujuh hari ke depan.
"Saya punya data dari beberapa rumah sakit memperlihatkan bahwa rapid tes yang berkembang saat ini tidak berkembang terlalu bagus. Sensitivitasnya rendah, apalagi hari pertama dan ketujuh. Itu semakin rendah sekali sensitivitasnya," jelasnya.
Andani memberikan contoh perbandingan pemeriksaan rapid tes dengan pola PCR. Pada hari pertama hingga ketujuh terhadap orang yang positif, pemeriksaan rapid tes hanya menunjukkan sebanyak 30 persen orang yang reaktif.
"Berarti, 70 persen hilang. Atau tidak diketahui. Anehnya, pemeriksaan hari ketujuh sampai 14 hingga 21 hari, polanya berbeda lagi dari sensitivitasnya menjadi 60 persen. Artinya, ada yang hilang 40 persen. Dari 10 orang yang tes PCR positif, (rapid tes) hari ketujuh sampai hari ke 21 itu hanya 6 orang. Berarti empat orang negatif," tuturnya.
Oleh sebab itu, kata Andani, pemeriksaan rapid tes sangat tidak akurat karena hasil yang tes PCR positif malah negatif pada rapid tes. Bahkan, dari tiga alat rapid tes yang ia ketahui, salah satunya memiliki sensitivitas yang kurang baik.
"Rapid tes berbahaya saya bilang. Kenapa berbahaya, karena negatif banyak. Ini yang jadi masalah. Idealnya itu ya sebaiknya adalah PCR, WHO merekomendasikan itu. WHO tidak sama sekali merekomendasikan rapid tes," ujarnya.
Menurutnya, biaya PCR tidak terlalu mahal karena pihaknya juga disubsidi pemerintah. Begitupun terkait ketersediaan reagen. "PCR misalnya kalau mandiri, pasien biasa habiskan Rp1 juta lah. Kalau misalnya barang masyarakat biasa, yang disediakan, paling modalnya Rp500 ribu," katanya. (Irwanda/ICA)