Kedua orang tua saya berasal dari Kumanis, Kec Sumpur Kudus, Sijunjung. Kecamatan kami menggunakan nama Sumpur Kudus, nagari asal Buya Syafii Maarif. Sementara, Ibu kecamatan berada di nagari kami. Begitu juga pasar. Dalam buku Titik-Titik Perjalanan di Perjalananku, buya menceritakan pengalaman masa kecil beliau ke pasar Kumanis dengan sangat indah.
Nagari saya berada lebih ke tengah daripada nagari buya. Berada di pinggir jalan yang menghubungkan Sijunjung, Tanah Datar dan Payakumbuh. Tapi untuk kemajuan pendidikan, nagari buya yang berada lebih dalam justru jauh lebih maju daripada nagari kami.
Seingat saya pertemuan dengan Buya Syafii hanya dua kali. Yang pertama ketika Halal bi Halal orang Sumpur Kudus di Kota Padang tahun 2002. Waktu itu, saya baru saja lulus kuliah. Saya masih ingat, ketika itu ada Profesor Novirman Djamarun dan Profesor Novesar Djamarun dari Silantai dan Dr Syamsuar Syam dari Tamparungo yang menjadi tuan rumah utama acara ini.
Halal bi Halal ini menarik karena tidak mengundang pejabat daerah satupun. Pejabat dan birokrat tertinggi adalah ayah saya, kebetulan menjabat camat Sumpur Kudus ketika itu. Ia hadir karena memang putra daerah Sumpur Kudus. Suasananya sangat akrab sekali, penuh canda. Bahasa yang digunakan juga didominasi Bahasa Minang logat daerah kami. Boleh dihitung sebelah jari saya ikut acara halal bi halal kedaerahan. Kehadiran saya di acara ini, karena ada Buya Syafii ada di sana.
Akibat Halal bi Halal ini. Ayah saya keesokan harinya dipanggil Bupati Sijunjung Darius Apan. Ia dimarahi karena tidak memberitahu ada Halal bi Halal Orang Sumpur Kudus di Padang. Apalagi ada Buya Syafii yang hadir. Ayah saya mengatakan, memang HBH ini sengaja tidak mengundang pejabat, sesuai permintaan buya. Beliau ingin acara ini benar-benar jadi acara keakraban orang Sumpur Kudus.
Bupati tidak terima, "Buya itu tokoh nasional bahkan dunia. Sudah kewajiban saya sebagai bupati ikut mendamping beliau jika pulang kampung."
Inilah Buya Syafii Maarif. Seorang yang sangat "kaffah" menentukan kapan dan di mana dia berpijak serta berkiprah. Ketika menjadi seorang tokoh kemanusiaan, buya akan merangkul semua orang. Tak berbilang kaum, negara, agama, bangsa dan golongan. Ketika ia menjadi tokoh nasional, ia terus menyuarakan persatuan bangsa. Bahkan di usia tuanya bergabung dengan BPIP demi membumikan Pancasila. Ketika menjadi seorang Muhammadiyah, tentu semua kita sudah tahu seperti apa beliau di Muhammadiyah.
Menjadi seorang dosen, dari cerita yang saya dengar dari mantan mahasiswa beliau ZenRS. Seorang Profesor, ketika itu menjabat Ketua Umum PP Muhammadiyah masuk kelas S1 untuk mengampu mata kuliah Bahasa Inggris satu semester.
Sebagai manusia biasa, kita bisa lihat bagaimana buya menjalani hari-harinya dengan sederhana. Betapa kita sering temui foto atau cerita buya naik kereta KRL, mengayuh sepeda atau cerita sederhana lainnya semisal tak mau tasnya dibawakan orang.
Dan bagi saya, yang lebih penting, ketika menjadi orang Sumpur Kudus, buya melakukan pun dengan "kaffah". Ia berlaku seperti anak Sumpur Kudus yang sebenarnya. Ketika pulang ke kampungnya, ia berkumpul layaknya seorang anak kampung biasa yang pulang menemui sanak keluarga. Taka da pengawalan atau sambutan spesial. Ketika menjadi seorang Sijunjung pun, ia melakukan dengan baik. Hampir setiap acara hari jadi kabupaten kami, beliau pulang. Ikut berkumpul dan merayakan hari jadi bersama warga sijunjung.
Selamat ulang tahun ke-85, Buya Syafii Maarif. Tanpa Buya, tak banyak yang tahu Sumpur Kudus dan Sijunjung. Semoga terus sehat dan bersahaja.
*Disampaikan dalam diskusi online Buya Syafii Maarif di Mata Orang Minang yang diselenggarkan Jaringan Intelektual Berkemajuan, Senin 1 Juni 2020.
Yoss Fitrayadi, Co Founder Jilatang Institute