Masih belum hilang dari ingatan, betapa arus masa memadati pusat perbelanjaan menjelang hari raya. Arus itu dapat diyakini berakar dari hasrat berbelanja, semacam keinginan dasariah manusia yang sulit dibendung. Sebagaimana disampaikan Michel Foucault, bahwa syaraf sensorik yang dipuaskan dengan berbelanja sama dengan syaraf yang dipuaskan saat melakukan aktivitas seksual. Hasrat itu yang dilatih dengan berpuasa dan kebetulan pula diiringi dengan ujian pandemik yang membuat orang mangurung diri di rumah masing-masing.
Kedatangan hari raya, dalam suasana ini, laksana gerbang yang dinanti-nanti terbuka. Orang-orang kemudian berbondong mencari pelampiasan hasrat berbelanja. Tuntasnya hasrat itu, salah satunya, untuk mencapai citarasa bahagia. Dapat pula dikatakan, perilaku ini adalah bentuk pelepasan beban-beban psikis selama terkurung oleh ritual berpuasa dan kepatuhan terhadap protokol kesehatan. Menjelang gerbang new normal dibuka, diperkirakan, arus serupa akan akan terjadi lagi.
Belajar kepada perilaku membeli baju baru sebelum lebaran, perlu menyadari beberapa hal untuk mengarifi kedatangan suasana baru pascapandemi. Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosutanto dalam buku Sejarah Nasional Indonesia menyatakan kebiasaan belanja baju baru ketika lebaran dimulai pada awal tahun I956. Kebiasaan tersebut hanya tercatat untuk pulau Jawa. Kebiasaan memakai baju baru ketika lebaran di pulau Jawa bermula di Yogyakarta dan Banten. Sedangkan pada daerah lain belum tercatat apakah sudah ada sebelum sesudah tahun 1956 itu, atau daerah lain adalah pengikut dari kedua daerah ini. Tidak ada penjelasan detail tentang hal itu.
Hal ini memperlihatkan kebiasaaan baju lebaran sudah terjadi puluhan tahun. Waktu yang cukup lama untuk menanamkan kenangan indah berbaju lebaran setiap tahunnya ke alam bawah sadar seseorang. Hal inilah barangkali yang dirasakan dan dialami oleh setiap orang Indonesia beragama Islam yang lahir setelah tahun 1956. Pengalaman ini tertanam di dalam kenangan dan bawah sadar seseorang. Baju lebaran menjadi sesuatu yang mesti ada meski tidak pula anjuran agama secara eksplisit yang mewajibkan memakai baju baru pada hari raya Idul Fitri. Sehingga, pada kondisi normal seperti tahun-tahun sebelumnya, adalah wajar bahwa baju baru menjadi simbol suka cita bagi semua orang.
Pada masa pandemi Covid-19 seperti ini, kemungkinan orang akan melupakan baju lebaran untuk sementara waktu. Bagaimanapun bagusnya baju baru yang dibeli, baju tersebut tidak akan terpakai. Akan dipakai ke mana baju baru itu? Toh, pemerintah meniadakan salat id di masjid dan kemungkinan tidak ada silaturahim dengan teman dan kolega. Sesuatu yang tidak lucu juga kalau tetap memakai pakaian untuk hang out atau sarungan beserta baju koko dan peci di rumah seharian setelah salat id di rumah, sementara kita hanya bisa rebahan di rumah.
Kita tentu berpikir bahwa tidak akan ada orang yang berani datang ke pasar-pasar, mal dan supermarket dalam masa pandemi. Meskipun, pemerintah menyatakan bahwa Indonesia bersiap memasuki new normal pada tanggal I5 Mei 2020, pemberlakuan new normal baru akan dimulai pada bulan Juni ini. Kalaupun new normal diberlakukan, tetap saja ada protokoler kesehatan yang ketat. Misalnya, orang yang diperbolehkan beraktivitas kembali adalah orang yang berusia di bawah 45 tahun, orang harus tetap memakai masker, menghindari kerumunan dan membatasi perjalanan keluar daerah. Aturan bagi mal, kafe, sekolah dan rumah ibadah jika dibuka harus memenuhi standar kebersihan yang ketat. Ini artinya physical distancing masih berlaku.
Akan tetapi, ternyata, pikiran itu hanya bercokol dalam sebagian orang yang masih bertahan di rumah. Sementara sebagian besar orang lain, sudah berkeliaran di luar sana dengan tujuan hanya untuk membeli baju lebaran. Baju lebaran yang sudah tersedia di pasar dan di mal seperti memanggil-manggil dengan sihirnya untuk dibeli. Lihatlah orang-orang di pasar-pasar berdesakkan, mal-mal ramai dan jalan-jalan kembali macet. Rasa takut telah dikalahkan oleh baju lebaran!
Seolah tak ada kecemasan lagi terhadap virus corona yang selama dua bulan lebih ini menjadi momok di dalam pikiran setiap orang. Ancaman kesehatan akibat virus itu sudah mulai diabaikan. Kurva penularan virus juga tidak kunjung melandai. Atau mungkin perilaku ini, penanda bahwa sebagian orang sudah berada di tingkat kepasrahan luar biasa terhadap apa yang akan menimpa diri sekalipun positif terinfeksi virus corona.
Hal ini menunjukkan bahwa eksistensi baju lebaran memang tidak ada matinya. Apakah eksistensi baju lebaran juga bisa mengalahkan virus corona secara fisik di tubuh kita? Jawabannya bisa iya dan bisa juga tidak. Bisa iya bagi orang yang imunnya meningkat setelah mendapatkan baju lebaran. Karena efek psikologis dari memiliki baju lebaran adalah bahagia. Kebahagian memiliki peran penting dalam menaikkan imunitas seseorang bahkan pada seseorang yang sudah positif Covid-19. Pasien yang diisolasi di rumah sakit, selain diberikan multivitamin tetapi juga didorong untuk tidak stress dan tetap berbahagia untuk melawan virus corona dalam tubuhnya. Harapan saya, baju lebaran memang bisa menaikkan imunitas setiap orang dan kita semua selalu sehat sehingga terbentuklah kekebalan kelompok dalam masyarakat Indonesia.
Lalu bagaimana dengan orang yang imunitasnya lemah karena faktor usia atau karena di tubuhnya telah bercokol penyakit penyerta seperti diabetes, jantung, ginjal dan lain sebagainya? Sebagaimana kasus-kasus yang telah berlalu, orang yang memiliki penyakit penyerta sulit tertolong oleh perawatan di rumah sakit alih-alih tertolong oleh baju lebaran. Kondisi ini memperlihatkan bahwa republik ini sekarang tengah berada pada kondisi yang serba " bisa jadi".
Lalu apa yang harus dilakukan, terutama dalam menyambut suasana baru (new normal)? Ada satu kaidah ushul fiqh yang dapat dijadikan inspirasi dalam menghadapi situasi ini, yaitu: menghindari mudarat lebih baik daripada mengambil manfaat. Artinya, menghindari mudarat akibat virus lebih baik daripada mengambil manfaat baju lebaran. Memaksakan keinginan untuk belanja aksesoris perayaan lebaran yang menyebabkan kerumunan berarti mengabaikan mudarat tertular Covid-19.
Mengingat terhitung Juni 2020 new normal mulai diberlakukan di beberapa daerah, bukan tidak mungkin hal serupa terjadi kembali: hasrat belanja kembali bangkit. Sebagian orang kembali keluar rumah dan menyerbu mal-mal, kafe-kafe dan tempat wisata karena sudah diperbolehkan meski dengan protokoler kesehatan ketat.
Hal yang tidak boleh dilupakan bahwa pandemi belum berakhir. Virus belumlah takluk. Mata rantai penyebaran belumlah putus. Maka perlu dipertimbangkan kembali keinginan dan hasrat berbelanja untuk hal yang benar-benar perlu saja. Hal ini akan sangat membantu memutus penyebaran Covid-19 agar waktu pandemi tidak semakin panjang dan kurva terinfeksinya bisa melandai.
Fitra Yanti adalah Pemerhati Pengembangan Masyarakat dan Konseling Anak.
Lahir di Kecamatan Danau Kembar, Solok, Sumatera Barat, 17 Februari 1986. Lulusan Pascasarjana UIN Imam Bonjol Padang Konsentrasi Pengembangan Masyarakat Islam. Menulis esai, puisi dan cerpen di berbagai media massa seperti Harian Umum Kompas, Pikiran Rakyat, Tabloid Nova, Padang Ekspress, basabasi.co, langgam.id dan juga beberapa media daring lainnya. Kini bergiat di Mantagi Akustik. Bisa dihubungi via instagram @fitrayantizelfeni