Suatu hari Nasruddin didatangi oleh seorang ibu yang membawa anak. Ibu ini mengeluh, ‘Wahai Nasruddin, anakku ini terlalu gemar dengan gula-gula. Setiap aku memberinya gula-gula dia selalu menghabiskannya dengan cepat. Disaat saya lengah, semua gula-gula di dapur dihabiskannya. Sudah berulangkali saya menasihati, memarahi, dan menghukumnya untuk menghentikan kegemarannya dan memintanya agar dapat mengendalikan diri, tetapi tidak pernah diacuhkannya. Apakah engkau punya saran?’
Tanpa pikir panjang Nasruddin langsung berkata, ‘Kembalilah bulan depan. Saya akan memberikan nasihat’.
Sebulan berlalu, ibu dan anaknya kembali mendatangi Nasruddin. Nasruddin langsung berjongkok dan menatap mata anak itu dalam-dalam sembari berkata, ‘Anak muda, bersabarlah sampai ibumu memberikan gula-gula. Perkokoh niat dan tekadmu, niscaya kau akan menahan dirimu untuk memakan gula-gula’.
Mendengar nasihat itu, si ibu kaget dan berkata, ‘Wahai Nasruddin, kenapa tidak kau katakan saja sebulan yang lalu?’
Nasruddin menjawab, ‘Aku tidak bisa mengatakannya sebulan yang lalu karena aku juga sangat menyukai gula-gula. Dalam sebulan ini aku berusaha mengendalikan diri agar bisa dengan jujur mengatakan kepada anakmu bahwa dia juga bisa mengendalikan hasratnya terhadap gula-gula’.
Kisah ini dinisbahkan kepada tokoh sufi yang acapkali muncul dengan cerita-cerita anekdot yang jenaka, yaitu Nasruddin Hodja. Cerita Nasruddin menampar muka kita semua. Kita yang seringkali lebih mengutamakan pengetahuan dibanding perbuatan. Kebanyakan kita sangat piawai untuk bercerita dan menuliskan seruan-seruan kebaikan tetapi sangat amatiran dalam mempraktikkannya. Buku-buku pengembangan diri, motivator, dan ahli kata-kata selalu laris di pasaran.
Para cendekiawan menulis pelbagai pengetahuan dan keteladanan tetapi banyak yang tidak mampu melakukan apa yang ditulisnya. Lihatlah para pengajar di lembaga-lembaga pendidikan (formal atau non formal) kita dewasa ini. Kita tidak pernah tahu apakah mereka mampu mengamalkan atau hanya mampu mengkhayalkannya. Sungguh, kita dan termasuk saya juga seringkali berprilaku begitu.
Alquran menyindir prilaku seperti itu. Di dalam surat ash-Shaff ayat 2-3 disebutkan bahwa perbuatan mengatakan sesuatu yang tidak dikerjakan itu amat dimurkai oleh Allah. Ayat itu dimulai dengan seruan kepada orang-orang beriman, seakan-akan Allah menyindir rasa keimanan kita. Thabathaba’i di dalam tafsir al-Mizan membedakan dua hal, mengatakan sesuatu yang tidak dikerjakan dan tidak mengerjakan sesuatu yang dikatakan. Hal pertama adalah bentuk kemunafikan dan yang kedua adalah bentuk kelemahan tekad. Merujuk pada pendapat ini, kita menyadari kenapa Nasruddin butuh waktu satu bulan untuk satu nasihat? Ya, untuk menguatkan tekad agar tidak terjebak pada kemunafikan.
Satu bulan satu nasihat? Terlalu sulit rasanya untuk berprilaku begini. Kadang dalam 10 menit saja, kita bisa mencurahkan ratusan nasihat. Entah itu datang dari pengamalan atau hanya khayalan saja, kita tidak pernah jujur. Apalagi manusia-manusia politik, mampu menguraikan khayalannya di depan publik sembari tertawa terbahak-bahak karena orang percaya dengan khayalan kebaikan yang dia karang. Apakah itu bentuk kemunafikan? Bisa jadi itu hanya kelemahan tekad. Atau bisa juga karena kebiasaan bertekad dalam bentuk kemunafikan. Terlalu banyak pilihan jawaban untuk mengurainya.
Kita terbiasa membaca, mendengar, dan melihat nasihat-nasihat kehidupan tercecer di sana sini. Semua nasihat itu kadang hanya singgah sebentar di mata dan telinga. Sisanya, habis terbawa hasrat nafsu rohani. Biasanya, nasihat yang jujur dan berasal dari hati akan sampai ke hati juga. Kejujuran dan ketulusan itu memancarkan aura.
Kita kadang memberikan nasihat tentang sabar dalam kemiskinan atau musibah, namun tatkala kemiskinan atau musibah itu menghampiri sang pemberi nasihat, dia lupa dengan nasihatnya, bahkan lupa dengan Tuhannya. Makanya ada satu perintah dalam agama untuk saling memberi nasihat dan saling berbagi tekad tentang kesabaran. Rujuklah Alquran surat al-‘ashr ayat 3!
Ramadan merupakan bulan pengasahan tekad dan pengasuhan kepribadian. Persis seperti cerita Nasruddin di atas, satu bulan rasanya waktu yang cukup untuk mengubah diri. Apalagi jika di kalkulasi dengan umur kita. Misalnya, orang yang berumur 30 tahun sekarang, berarti sudah melewati kurang lebih 30 kali bulan ramadan dalam hidupnya.
Setelah kita kalkulasikan dengan sederhana, lalu jawablah dengan jujur dalam hati, ‘ramadan keberapa dari yang sudah dilewatkan itu yang mampu mengubah diri kita?’ Bisa juga dimunculkan pertanyaan, berapa kali ramadan lagi yang dibutuhkan untuk bisa mendatangkan perubahan? Hanya sisi terdalam nurani yang bisa menjawabnya.
Hidup ini dilematis, memberi nasihat artinya membuat jebakan antara kemunafikan dan bertekad untuk kebaikan. Ketika saya menulis tulisan sederhana ini, saya juga lagi merasakan dilema yang sama. Apakah ini kemunafikan atau bentuk lain dari penguatan tekad untuk mengamalkan pengetahuan? Entahlah. Wallahu a’lam.
Aidil Aulya, Dosen Fakultas Syariah UIN Imam Bonjol Padang