Fatwa keagamaan di bulan Ramadan ikut berperan dalam menyikapi masifnya penyebaran Covid-19. Baik melalui Majelis Ulama Indonesia (MUI) pusat dan daerah, maupun para ulama dan cendekiawan muslim melalui ceramah dan diskusi daring. Jamak fatwa yang sudah menjadi bagian integral dengan upaya memutus mata rantai penyebaran Covid-19, seperti kewajiban mengganti salat Jumat dengan salat Zuhur di tengah wabah Covid-19. Namun, secara praksis tidak seluruh masyarakat mengikuti fatwa tersebut.
Di sebagian daerah, tempat ibadah masih diramaikan meskipun daerah tersebut tidak termasuk ke dalam zona hijau. Fakta ini seolah mengindikasikan bahwa wacana hukum Islam tidak sepenuhnya memiliki relevansi dalam pemberantasan pandemi. Mengapa demikian? Barangkali banyak jawaban yang dapat dikemukakan untuk menjawab pertanyaan tersebut. Namun, tulisan ini lebih dititikberatkan pada peran pemegang otoritas keagamaan dalam membentuk wacana hukum Islam di tengah masyarakat.
Pemahaman keagamaan biasanya dibentuk dan ditransmisikan oleh pemegang otoritas keagamaan. Dalam konteks hukum Islam, otoritas keagamaan dimiliki oleh para ulama. Ulama menjadi titik sentral yang perlu dikritisi jika ada pemahaman keagamaan yang tidak tepat di masyarakat. Pada tahun 2019 lembaga Puspidep menerbitkan sebuah buku yang berjudul “Ulama, Politik dan Narasi Kebangsaan”. Buku tersebut merupakan kumpulan hasil penelitian terhadap Ulama di seluruh kota di Indonesia. Di dalam buku tersebut disampaikan bahwa konservatisme masih menjadi temuan yang signifikan.
Secara sederhana, konservatisme dalam konteks ini adalah pemahaman yang cenderung kaku dan tekstual. Dengan pola ini, gagasan dan pengetahuan keagamaan dapat ditanamkan sebagai habitus. Merujuk Bourdieu dalam bukunya Outline of a Theory of Practice, habitus dapat memandu seseorang untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Dalam konteks ini, konservatisme bisa saja menjadi nilai sosial yang tertanam melalui proses sosialisasi yang berlangsung lama. Sehingga, pengamalan masyarakat terhadap praktik keagamaan tertentu sulit untuk diubah. Jangan heran, jika di suatu daerah ditemukan masyarakat yang tetap salat Jumat di tengah pandemi dengan alasan “Ada yang kurang rasanya kalau tidak pergi salat Jumat”.
Pada level yang lebih parah, tak jarang masyarakat ikut menggunakan dalil al-Quran dan sunnah untuk melegitimasi pemahaman mereka. Padahal, al-Quran dan sunnah merupakan sumber hukum yang perlu digali lebih lanjut. Meskipun al-Quran dan sunnah memuat aspek hukum, tapi keduanya bukanlah kitab hukum. Melalui sumber hukum tersebut kemudian dilakukan Ijtihad dengan metode tertentu. Dalam kajian ushul fikih misalnya, Imam al-Syafii dikenal dengan motode Qiyas atau analogi dan Imam Abu Hanifah dikenal dengan metode Istihsan. Masih banyak lagi metode istinbath hukum yang perlu ditelisik agar hukum Islam senantiasa selaras dengan kondisi faktual.
Sayangnya, masyarakat muslim secara luas tidak mengenal hukum Islam secara metodis. Wacana hukum Islam hanya dikenal melalui diksi-diksi hukum taklifi, seperti wajib, haram, mubah, sunnah dan makruh. Wacana ini telah lama mengakar di tengah masyarakat. Pertanyaan yang kerap muncul perihal hukum Islam adalah “apa hukumnya?” dan “apa dalilnya?” Pertanyaan “apa hukumnya?” mengandaikan jawaban yang normatif, tertutup dan kaku, sementara jawaban pertanyaan “apa dalilnya?” mengandaikan jawaban yang literalis atau tekstual. Akhirnya, hukum Islam tidak ditransmisikan dengan pola yang diskursif melainkan dengan pola indoktrinasi.
Indoktrinasi kerap dilakukan dengan memproduksi fatwa yang melulu mengemukakan aspek teologis, bukan humanistis. Apakah hukum Islam memang demikian? Tentu tidak, hukum Islam sangat menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Dalam kondisi tertentu, hukum Islam bisa saja bergeser dari kekakuannya menjadi sesuatu yang dinamis. Dalam teori hukum Islam tradisional saja sudah dikenal istilah rukhsah atau keringanan. Hukum asal dapat bergeser kepada hukum yang situasional. Dalam kondisi terpaksa dan tidak ada lagi yang bisa dimakan, untuk sekadar menyambung hidup makan babi bisa saja diperbolehkan.
Dalam wacana kontemporer pun Maqasid Syariah telah dikembangkan sedemikian rupa. Maqasid Syariah merupakan salah satu metode yang mengedepankan tujuan hukum. Salah satu tujuan hukum Islam adalah menjaga jiwa (hifz al-nafs). Dalam konteks ini, hukum Islam tidak dimaksudkan untuk membahayakan keselamatan manusia. Jika suatu produk ijtihad (hukum Islam) dapat membahayakan manusia berarti hukum tersebut telah mengingkari tujuan syariah yang sebenarnya. Dalam aras ini, tepatlah himbauan sebagian besar Ulama untuk meniadakan salat Jumat dan mengganti dengan salat Zuhur di tengah wabah. Ironisnya, selama ini pendekatan Maqasid Syariah ini jarang ditemukan dalam ceramah dan khutbah keagamaan.
Pandemi Covid-19 paling tidak mengingatkan pemegang otoritas keagamaan untuk senantiasa mengkaji hukum Islam. Ceramah agama tidak dapat dilakukan hanya bermodalkan satu ayat al-Quran atau satu buah hadits. Alih-alih mencerdaskan, khutbah agama bisa saja menyesatkan. Wael B. Hallaq dalam bukunya “A History of of Islamic Legal Theories” memaparkan bagitu banyaknya prinsip-prinsip yurisprudensi mulai dari abad pertama Hijriah sampai era Modern. Mulai dari era kenabian, sahabat, imam mazhab sampai era pemikir hukum Islam kontemporer. Dengan kata lain, Hukum Islam bukan suatu yang mapan, mutlak atau final. Kontekstualisasi mesti senantiasa digaungkan agar hukum Islam memiliki relevansinya terhadap perkembangan zaman.
Tidak hanya dalam masa Covid-19, relevansi ini diharapkan dapat berlanjut dalam kondisi-kondisi yang tidak dapat diprediksi ke depannya. Dalam jangka pendek, paling tidak, kita tidak lagi mendengar klaster baru penyebaran Covid-19 yang dipicu oleh penafsiran hukum Islam yang hitam-putih, sempit dan kaku. Semoga![]
Mhd Yazid, M.H, Dosen Hukum Islam UIN Imam Bonjol Padang