Nasi Anjing, Kuliner yang Lahir dari Sejarah yang Getir 

Ibnu Khaldun

Dosen Fakultas Adab & Humaniora UIN Imam Bonjol Muhammad Nasir. (IST)

Hampir tiga perempat abad merdeka, anak negeri masih menggunakan istilah kuliner yang dilahirkan dari sejarah yang getir

Menurut antropolog, berburu disebut sebagai aktitivitas mencari bahan makanan tertua sejak zaman prasejarah. Namun di  Minangkabau, berburu babi sepertinya tidak untuk mencari bahan makanan. Keperluan lainnya adalah untuk mengendalikan hama babi agar tidak merusak tanaman pertanian.

Tetapi ada yang menarik di luar dua keperluan di atas. Zainul Arifin dalam artikel ilmiahnya berjudul Berburu Babi, Politik Identitas Laki-laki Minangkabau dalam Adat Matrilineal (Jurnal Humaniora, 2012), menulis bahwa berburu adalah aktivitas membela kepentingan laki-laki agar terhindar dari kerusakan dan terhindar dari “amarah” perempuan pemilik ladang.

Ya, ladang dalam adat matrilineal Minangkabau merupakan “milik” kaum perempuan. Laki-laki hanya diberi tugas untuk mengolahnya. Baik ladang yang merupakan milik kaumnya, ataupun ladang milik kaum istrinya.

Selain itu, berburu bagi laki-laki Minangkabau, merupakan media untuk menunjukkan identitas dirinya sebagai lelaki bebas (free man) yang tidak mau tunduk begitu saja di bawah aturan perempuan (istrinya), kata Zainul.

Maka, laki-laki yang berhasil menundukkan perempuannya demi menunjukkan eksistensi dirinya akan mendapat dukungan bekal makanan untuk pergi berburu. Simak lirik lagu Cik Uniang Elly Kasim berjudul Hobi Laki Den (hits di tahun 70-an):

Hati den sajak dahulu lah manggarutu dek ndak satuju
Laki den kok hari Minggu inyo mancandu pai baburu
Dek wajib tando balaki, den masak kopi mambungkuih nasi
Lah nasib den punyo laki, baburu babi inyo nan hobi

Bagi yang tak berhasil menundukkan istrinya, jangan harap disediakan bekal kopi dan nasi bungkus. Maka, kepergian berburu tanpa rela istri ini disebut juga dalam seloroh urang paburu dengan istilah “pai samo jo anjiang se tuan” (pergi berbarengan dengan anjing saja).

Tentang Nasi Anjing

Sementara kita tinggalkan cerita urang paburu. Di negeri tetangga seberang pulau ribut-ribut soal nasi anjing, Di Jakarta, tersiar kabar ada pembagian nasi anjing. Di bungkusan nasi terdapat logo kepala anjing dengan keterangan tulisan: "nasi anjing, nasi orang kecil, bersahabat dengan nasi kucing.#Jakartatahanbanting.”

Istilah “nasi anjing” pertama sekali saya dengar dari sahabat saya antara tahun 1998 atau 1999. Ia sekarang berdinas sebagai penghulu di Takengon, Aceh Tengah. Ia lelaki Minang tulen yang amat hobi berburu babi.

Suatu ketika, kami merasa lapar. Ia mengajak saya ke luar kampus untuk mecari makanan. Keadaan sedang rusuh, keuangan sedang tidak baik. Saya mencemaskan uang untuk membeli makanan. Ia hanya menjawab, “tenang saja, kita beli nasi anjing di luar.”

Saya mendelik. Ia menggunakan istilah nasi anjing. Saya tak punya prasangka apa-apa, selain protes istilah nasi anjing yang ia gunakan. Yang saya pahami, ia sedang menggunakan frasa yang mewakili keadaan kantong kami. Selain itu tidak.

“Dasar muncak buru!” omelku. Bahkan dalam kondisi begini masih saja ada kamus perburuan di kepalanya. Ia hanya tertawa cengengesan. O ya, muncak buru adalah sebutan untuk pemimpin acara dalam kegiatan berburu. Terutama bila ada iven buru babi resmi yang disebut buru alek. Sedangkan tuan rumah acara berburu biasanya disebut dengan Muncak Sipangka.

Omelan saya itu terkait dengan pengalaman saat saya di ajak berburu di kampungnya, di Lintau Buo. Saat acara berburu, di sekitar arena perburuan saya melihat ada beberapa ibu-ibu yang berdagang rokok, makanan ringan, terutama godok, air mineral, saka (gula merah) dan nasi bungkus. Semua itu diperuntukkan untuk urang paburu dan anjingnya. Yang bayar tetap urang paburu, bukan anjingnya.

Nasi yang dijual hanya nasi putih yang dibungkus daun pisang dengan ikatan yang malas, tak ada lauk pauknya. Lauk pauk sepertinya sudah dibawa urang paburu dari rumah. Saya lihat beberapa orang mengeluarkan lauk “telur goreng balado” dari tas pinggangnya.

Nah ini dia, nasi bungkus tadi kadang dibagi dua dengan anjingnya. Atau, jika si pemilik anjing berbaik hati, ia akan membeli agak satu dua bungkus lagi, khusus untuk anjing kesayangan. Tetapi, pada waktu transaksi nasi bungkus itu saya tak mendengar frasa “nasi anjing” disebutkan. Entah karena baru sekali itu saya ikut menyaksikan langsung dari arena perburuan.

Sampai di sini mulai agak terkelibak sedikit. Sepertinya itu istilah satire untuk urang paburu yang tak mendapat restu bininya. Akibatnya ia dan anjingnya terpaksa jajan di arena perburuan. Untuk lebih memperterang, saya tanyai lagi teman yang juga hobi berburu. Lewat Whatsapp.

Katanya memang ada istilah nasi anjing di Kota Padang Panjang. Nasi bungkus dengan kuah sayur seadanya. Sesuatu yang mengagetkan, tidak hanya orang paburu yang melanggan nasi ini. Juga orang berkantong cekak dan anak-anak siak. Haa.

Tentang asal usulnya, salah seorang muncak buru yang sudah sepuh mengatakan bahwa nasi anjiang  berawal dari penolakan pelayan rumah makan untuk melayani urang paburu. Alasannya, para pemburu itu kotor dan bernajis.

Peristiwa itu didengar oleh muncak sipangka (tuan rumah) buru alek. Ia merasa malu kepada tamu-tamunya urang paburu dari seluruh pelosok negeri. Dengan menahan marah ia menemui pemilik lapau nasi. Ia lalu memesan nasi kepada pemilik rumah makan itu.

"Nasi anjiang ciek!" Melihat wajah muncak buru yang disegani di kampung itu, tersindirlah urang lapau nasi. Iya, maaf tuan, lauknya sedang dimasak. Sekarang yang ada cumah kuahnya saja. Namun, ia tidak menyebutkan kapan kejadiannya dan dari mana sumber cerita itu.

“Begitulah cerita yang saya dengar,”katanya. Tak pasti memang!

Sebuah Ironi  

Bagi masyarakat kecil, nasi kucing (sego kucing), nasi anjing atau apapun namanya adalah ungkapan untuk merendahkan diri. Dalam buku teks pelajaran bahasa Indonesia di sekolah, ungkapan itu disebut dengan majas litotes. Misalnya, “Kalaupun tak dapat rotinya, remah-remahnya pun jadilah!”

Terpujilah mereka yang membantu. Hanya saja ada hal yang terlupa. Indonesia dihuni oleh banyak suku bangsa dan kebudayaan. Masing-masing tentu punya makna tentang kata “anjing.” Harap maklum bila ada yang “mararah” dengan penggunaan istilah tersebut. Apa salahnya menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar agar tercipta kesatuan pemahaman.

Lagipula, penggunaan istilah nasi anjing hanya mempertegas sejarah kemiskinan di negeri ini. Hampir tiga perempat abad merdeka, anak negeri masih menggunakan istilah kuliner yang dilahirkan dari sejarah yang getir. Tentunya ini menjadi ironi di zaman yang semakin bergerak maju.

Bahkan, berbuat baikpun perlu dengan cara-cara yang baik. Pepatah Minangkabau mengatakan, “Babuek baiak pado-padoi, babuek buruak sakali jangan (berbuat baik mesti dikira-kira, berbuat buruk jangan pernah lakukan walaupun sekali).”

Muhammad Nasir, Dosen Fakultas Adab dan Humaniora UIN Imam Bonjol

Baca Juga

Ragam Kuliner di Padang, Pj Wako Resmikan Outlet Dapur Solo
Ragam Kuliner di Padang, Pj Wako Resmikan Outlet Dapur Solo
Pondok Goreng Baluik Payakumbuh Resmi Hadir di Bypass Batipuah Panjang
Pondok Goreng Baluik Payakumbuh Resmi Hadir di Bypass Batipuah Panjang
Ludes Hanya Dua Jam, Pengunjung Berburu Serbu Nakerin
Ludes Hanya Dua Jam, Pengunjung Berburu Serbu Nakerin
Menhir Maek Tiang Peradaban yang Selaras dengan Semesta
Menhir Maek Tiang Peradaban yang Selaras dengan Semesta
Tanjung Barulak Menolak Pajak
Tanjung Barulak Menolak Pajak
HIMA Sejarah Unand Bekali Angkatan Muda
HIMA Sejarah Unand Bekali Angkatan Muda