Fenomena Fitnah dan Hate Speech di Media Sosial

Fenomena Fitnah dan Hate Speech di Media Sosial

Sidi Boby Lukman Piliang (Foto: Dok. Pribadi)

Pada awalnya, saya yakin dengan sangat bahwa Mark Zuckerberg ingin platform jejaring media sosial "Facebook" yang didirikannya akan mampu menyatukan orang orang dalam sebuah jaringan pertemanan di dunia maya, penuh dengan kehangatan silaturahmi. Keyakinan itu bertumbuh-kembang dan didasari bahwa pada awal-awal aplikasi media sosial ini dimanfaatkan untuk mencari teman di masa lalu dan menjalin silaturahmi antar sesama kolega meski berada dan bertempat tinggal pada titik yang berjauhan.

Akan tetapi, seiring perjalanan waktu, serta ditingkahi dengan dinamika politik yang kian dinamis, banyak pengguna justru kini tidak lagi menggunakan akun media sosial mereka untuk menjalin silaturahmi. Media sosial (medsos) saat ini justru berevolusi menjadi etalase yang bisa dimanfaatkan untuk menjual apa saja. Dan, parahnya juga menjadi alat untuk mem-bully, menyebar ujaran kebencian terhadap lawan politik dan juga berkampanye politik.

Soal politik ini, tentulah banyak sekali kasus kejahatan bermedia sosial yang menjadi berlatar belakang politik yang menjadi pembicaraan publik dan diproses hukum. Beberapa kasus itu, ada yang menggunakan akun asli (nama dan foto asli), namun tak sedikit pula yang muncul sebagai akun pseudonym alias nama samaran. Di dunia maya, mereka lalu menyebar fitnah dan ujaran kebencian guna menjatuhkan kredibilitas pihak lain yang berseberangan kepentingan dengan pihak yang didukungnya.

Sejak tahun 2010 silam, booming media sosial di pentas politik kian terasa dan cenderung menjadi alat kampanye yang keras dan tak jarang menimbulkan benturan di dunia nyata. Keterlibatan akun besar yang didapuk menjadi influencer serta akun samaran untuk memenangkan salah satu calon, sudah tidak susah lagi ditemukan. Dua jenis akun tersebut memiliki tanggung jawab untuk mengawal atau menyerang lawan politik klien mereka dengan metode yang berbeda. Jika akun asli bertugas mengkampanyekan keberhasilan sang calon, akun pseudonym atau akun "abal-abal" kerap ditugaskan untuk menyerang lawan. Bahkan, kalau perlu menggunakan narasi yang tidak patut dan cenderung berlatar belakang fitnah.

Pertanyaan, kenapa akun pseudonym dan "abal abal" itu muncul dan dimanfaatkan jika data yang disebarkan dapat dipertanggungjawabkan keabsahannya? Tentu saja, hal itu mudah dijawab. Sebab, jika menggunakan akun palsu, sang admin akan dapat bersembunyi di balik teror fitnah dan ujaran kebencian yang disebarkannya.

Sadar atau tidak, pertumbuhan akun pseudonym di media sosial sudah sangat marak dan masuk ke level mengkhawatirkan. Banyak di antara akun bodong tersebut menjadi alat unuk menyebar kebencian dan mengajak orang lain untuk ikut membenci pada target yang mereka tetapkan.

Mereka membangun opini bahwa seseorang telah bersalah. Di sinilah terjadi "trial by social media". Namun celakanya, publik atau pengguna medsos ikut terpengaruh tanpa sedikitpun memfilter informasi yang disampaikan. Ibarat kata orang di kampung saya, pengguna medsos, apalagi dari kalangan yang kurang berpengetahuan dan tidak membaca, mereka akan "main lulua saja". Mereka menelan mentah-mentah. Bahkan, tak jarang media online kerap mengutip postingan akun tersebut dan tanpa sadar ikut menyebarkan sebuah kebohongan.

Tidak dapat dimungkiri, bahwa kompetisi politik memerlukan alat kampanye selain APK (alat peraga kampanye) seperti billboard, baliho, spanduk dan pamflet. Media sosial menjadi salah satu sarana untuk berkampanye. Namun sekali lagi, jika dikendalikan oleh orang yang salah, media sosial akan menjadi alat untuk "membunuh" lawan politik tanpa ampun. Benar kata beberapa tokoh, bahwa media sosial justru menyebabkan kekacauan sosial karena abai.

Kini semua terpulang kepada masyarakat. Tidak semua informasi di media sosial bisa diterima dan dimakan mentah-mentah. Informasi di medsos harus diteliti keabsahannya meski dituliskan oleh akun real sekalipun. Sebab, seorang guru besar saja bisa memposting sebuah berita hoaks dan menghasut followernya untuk membenci pada suatu kelompok lain.

Di samping itu, perangkat hukum yang ada juga sangat tegas mengatur terkait batasan dan hukuman bagi para pelaku penyebar hoaks, penghasut dan penyebar ujaran kebencian di dunia maya. UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) serta perangkat aturan di bawahnya siap menyambut keteledoran sang admin dan berurusan dengan hukum.

Jadi, jika tidak mau berurusan dengan hukum, berpikir ulanglah jika masih ingin menjadi tukang fitnah dan penyebar ujaran kebencian di dunia maya. Meski, memakai akun anonim sekalipun. Sebab teknologi yang kian canggih yang dimiliki kepolisian bisa mendeteksi keberadaan anda di manapun dan kapanpun. (***)


Sidi Boby Lukman Piliang, Pekerja Media

Baca Juga

Slacktivism: Aktivisme Digital yang Berhenti di Layar
Slacktivism: Aktivisme Digital yang Berhenti di Layar
Gamawan Fauzi
Semua Ada Akhirnya
Demi Kemajuan Sumatra Barat, Kita Lebih Butuh Pulang Kampung daripada Merantau
Demi Kemajuan Sumatra Barat, Kita Lebih Butuh Pulang Kampung daripada Merantau
Kominfo Bakal Bentuk Dewan Media Sosial 
Kominfo Bakal Bentuk Dewan Media Sosial 
Reformasi (Bagian I): Retrospeksi
Reformasi (Bagian I): Retrospeksi
Gerai coffee shop menyuguhkan berbagai keunikan, mulai dari konsep tata ruang sampai dengan menu yang disajikan. Di Kota Padang,
Optimalisasi Media Sosial Sebagai Tools Promosi di Era Marketing 5.0