Pemerintah Daerah mesti menghitung dengan cermat kekuatannya, dalam mengantisipasi penularan Covid-19. Bayangkan, di Sumatera Barat hanya ada dua Rumah Sakit rujukan, RSUP. M. Djamil dan RSUD Ahmad Mukhtar. Itupun dengan segenap keterbatasan, keterbatasan sarana, keterbatasan ruang rawatan/isolasi, tenaga medis, hingga Alat Pelindung Diri (APD) bagi petugas.
Sejauh ini, tes Covid-19 tidak dapat dilakukan di Sumbar, hanya bisa dilakukan di Jakarta, kira-kira membutuhkan waktu selama 4 hari. Indonesia jelas bukan Korea atau Singapura, Padang atau Sumatera Barat jelas bukan Seoul. Dalam berbagai aspek kapasitas kita sangat rendah, respon pencegahan yang cepat dan tepat sangat dibutuhkan, kebijakan yang bersifat selektif sesuai kewenangan daerah perlu diambil dengan segera.
Kendati Gubernur Irwan Prayitno dan seluruh kepala daerah telah rapat membahas antisipasi penularan Covid 19, dan menghasilkan beberapa kesepakatan, tapi nampaknya respon publik belum memuaskan.
Kesan lambat dan menunggu masih terasa, hal itu terwakili dengan pernyataan Ketua DPRD Sumatera Barat, Supardi. Dilansir oleh Langgam.Id, Supardi justru mempertanyakan, apa yang ditunggu oleh Gubernur guna meliburkan sekolah, apakah akan menunggu ada yang meninggal dunia?.
Pertanyaan yang sangat menohok dan tajam. Alasan belum diliburkannya sekolah, memang rada kurang enak di telinga, salah satu alasan adalah belum diliburkannya sekolah karena belum ada yang positif Covid-19, nanti kalau ada yang positif baru diliburkan, salah satu kategori komunikasi publik yang jelek, jadi wajar, jika Supardi naik pitam, dan protes keras.
Saya sendiri, dapat memahami pilihan para kepala daerah itu. Tapi sayangnya, kepala daerah hanya berhenti sampai di situ, tanpa melihat ada opsi lain, seperti mengurangi hari dan jam belajar.
Padahal, dalam pelembagaan kebijakan sosial distancing, mengurangi hari dan jam belajar bisa tempuh, satu minggu dua atau tiga hari belajar ke sekolah, atau belajar hanya sampai jam 12 siang saja. Tentu saja, dikecualikan bagi siswa yang sedang Ujian Nasional (UN).
Kebijakan ini akan efektif mengurangi pergerakan para pelajar. Kalau khawatir, target pembelajaran tidak tercapai, maka bisa ditambahkan dengan sistem belajar di rumah, semuanya tentu saja mesti di bawah pengawasan orang tua.
Salah satu contoh pelembagaan kebijakan sosial distancing ditempuh oleh Ombudsman RI, tempat saya bekerja. Kami setiap hari kerja, sampai dengan tanggal 31 Maret nanti, bekerja mulai pukul 09.30 sampai dengan 15.00 WIB, pegawai yang demam atau hamil diberi tugas bekerja di rumah.
Kami juga dilarang melakukan perjalanan luar kota, dilarang mengundang orang atau menghadiri undangan pertemuan pihak lain. Penanganan laporan masyarakat, diefektifkan melalui telepon, WA, dan email.
Lalu apa yang terjadi, kami merasa aman, saya merasa semakin jauh dari potensi penularan Covid-19. Bukan berarti kami tidak peduli dengan pengawasan pelayanan publik, tapi itu pertolongan pertama yang mesti dilakukan terhadap potensi penularan Covid-19. Setiap lembaga seharusnya, memilih kebijakan yang bersifat selektif, sembari memastikan tugas pokok tetap dapat dilakukan.
Komunikasi Publik Covid-19
Buruknya komunikasi publik penanganan Covid-19, telah dimulai sejak dari Pusat, pemerintah gugup. Sebelum ada yang positif Covid-19, kelakar dan lelucuan soal Covid-19 justru dengan mudah keluar dari mulut para pejabat, ada kesan pejabat itu menganggap enteng dan tampak terlalu percaya diri.
Di lain pihak, ada yang memancing di air keruh, mencoba menjadikan penanganan Covid-19 menjadi arena pertempuran politik, agaknya semua arena mau dijadikan wilayah perseteruan politik, tak kecuali wabah Covid-19 ini, nasib rakyat tidak dipikirkan.
Dalam hal komunikasi publik, data dan informasi mesti dibuka dan terkonsolidasi dengan baik, jangan ada yang ditutup-tutupi, atau disampaikan ke publik secara tidak utuh.
Tidak boleh juga ada pejabat yang kemudian justru membuat disinformasi di tengah masyararakat. Saat ini di Sumbar, data Covid-19 dari berbagai daerah berserakan dan tidak terintegrasi, masing-masih daerah merilis jumlah Orang Dalam Pantauan (ODP) dan Pasien Dalam Pengawasan (PDP).
Tanah Datar misalnya, merilis jumlah ODP bertambah dari 15 menjadi 34 orang, Pesisir Selatan ODP 14 orang. Kota Padang sendiri, melalui Kepala Dinas Kesehatan Ferry Mulyani meliris jumlah ODP per tanggal 18 Maret 2019, 241 orang, di dalamnya ada 38 orang anggota DPRD Padang, yang baru pulang dari Bali.
Ada 19 Kabupaten/Kota di Sumbar, ada yang merilis, dan sebagiannya boleh jadi tidak diketahui datanya. Tentu saja, ini akan menambah kecemasan publik, belum lagi informasi dan berita hoax seputar Covid-19 juga terus merebak bak wabah pula, ini harus di counter.
Dalam membuka dan mengkonsolidasikan data ODP dan PDP, Sumbar mesti belajar pada DKI Jakarta, melalui situs https://corona.jakarta.go.id/, setiap detik/hari publik Jakarta dapat mengetahui hasil pantauan Covid 19. Per tanggal 18 Maret 2020 misalnya, terpantau OPD berjumlah 862 orang, 560 diantaranya telah selesai proses pemantauan. PDP berjumlah 374 orang, 194 masih dirawat dan 180 orang pulang dan sehat.
Data OPD dan PDP adalah data yang dilaporkan oleh seluruh Fasilitas Kesehatan, Puskesmas dan Rumah Sakit se-Jakarta, dan disampaikan ke Kemenkes. Sementara, data Terkonfirmasi atau Positif Covid 19 berjumlah 172 orang, data itu adalah data nasional yang diumumkan secara resmi oleh Kemenkes.
Tersedia dan dibukanya data ini, bukan malah membuat publik semakin takut atau panik, tapi malah sebaliknya, akan membuat publik semakin berhati-hati dan menyadari, apa yang mesti dilakukan agar tidak tertular, dan kemudian himbauan pemerintah agar menjaga jarak, berdiam di rumah akan berjalan lebih efektif. Kita menunggu Pemprov membuat situs https://corona.sumbar.go.id/.
Tidak hanya itu, dalam hal komunikasi publik, dua rumah sakit rujukan yang ditunjuk, RSUP. M. Djamil dan RSUD Ahmad Mukhtar juga perlu mengubah sistem pelepasan informasinya ke publik, keadaan tidak normal, jangan hanya mengandalkan Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID).
Saat ini komunikasi publik perlu dipegang oleh direktur, atau salah seorang direktur, prosedur khusus yang cepat mesti dibuat. Publik sangat membutuhkan informasi yang update, karena itu publik akan lebihbisa tenang. Misalnya saja, hari Jumat, tanggal 13 Maret 2020, ada pasien yang disebut suspect Covid-19 meninggal dunia di RSUP M. Djamil, dan dijelaskan oleh pihak M. Djamil, sebelum meninggal sampel swap pasien telah dikirim ke Jakarta, hasilnya akan keluar dalam 4 hari, sekarang tanggal 18, hasilnya apa?. Hayoo.. bersiap!.
Adel Wahidi, Asisten Ombudsman Perwakilan Sumbar