Saya merasa diberkahi, sebagai pembelajar konstitusi, diundang Universitas Nagoya-Jepang menjadi pembicara dalam konferensi tentang perkembangan konstitusi Asia. Ramai pula pakar negara lain menyebar ilmunya.
Konferensi yang berlangsung dari 23-27 Januari itu, bagi saya memiliki banyak hal menarik yang perlu dibagikan. Semacam “sedekah pengetahuan” dari ganimah belajar di Negeri para samurai.
Saya tertarik dengan pandangan Taing Ratana (Sekretaris Jenderal Mahkamah Konstitusi Kamboja). Ratana mengingatkan bahwa negara-negara Asia perlu membangun konstitusi dari akar budayanya sendiri. Konstitusionalisme Asia tidak harus ber-isme Barat.
Ratana membayangkan perbincangan mengenai konstitusi Indonesia-isme, Kamboja-isme, Myanmar-isme, dan negara Asia lainnya. Pendapat itu sejalan dengan pendapat para pendiri bangsa Indonesia. UUD 1945 bukanlah sesuatu yang murni lahir dari pemikiran Barat atau Timur, tetapi pemikiran yang juga muncul dari akar pemikiran bangsa Indonesia.
Secara gagasan, pandangan Ratana tidak baru. Namun pandangan itu sangat relevan jika membicarakan apakah Indonesia telah menerapkan isme-keindonesiannya dalam praktik berkonstitusi. Misalnya, Bung Karno menjelaskan bahwa inti Pancasila adalah gotong-royong (Buya Hamka mengatakan inti Pancasila adalah Ketuhanan Yang Maha Esa-Pen).
Apakah kita mempraktikan konstitusionalisme gotong-royong itu?. Simak yang terjadi disekitar kita. Ketika banjir menghantam Jakarta, tiba-tiba kita semua mengeluarkan isme masing-masing. Terutama isme-politik 2014 dan 2019 mereka, yaitu mempermasalahkan “jagoan politik” lawan dan menjunjung setinggi langit jagoan sendiri. Mereka benar-benar belum sembuh. Padahal ini soal bencana, dimana rasa kemanusiaan harus didahulukan dibandingkan persoalan politik partisan.
Jika gotong-royong adalah isme dalam konstitusi kita, kenapa orang-orang tidak sibuk bergotong-royong membenahi pemukiman-pemukiman yang terimbas banjir. Orang miskin menolong yang kaya dan orang kaya menolong si miskin dalam kapasitasnya masing-masing. Pejabat tidak berdalih menyalahkan pejabat lain tapi sibuk dan serius membenahi keadaan serta memaksa diri mereka membuat kebijakan agar musibah tidak berulang.
Hebatnya, pejabat negeri ini kebanyakan berkelit dan enggan bergotong-royong. Kebanyakan mereka bergotong-royong melindungi koruptor atau bahu membahu menggulung Komisi Pemberantasan Korupsi.
Jadi kita sesungguhnya tidak pernah mengamalkan isme keindonesian dalam ketatanegaraan dan kehidupan berbangsa kita. Gotong-royong adalah isme palsu orang Indonesia agar bisa berlagak sebagai bangsa baik.
Gotong-royong dalam menjalankan politik negatif memang lebih dominan. Saya teringat pendapat William Partlett dalam konferensi Nagoya itu.
Partlett berpendapat bahwa negara-negara pecahan Uni-Soviet (Rusia dan negara-negara pecahannya) memiliki satu masalah, yaitu korupsi. Menurut Partlett, negara-negara tersebut membutuhkan sebuah komisi yang independen dan trengginas memberantas korupsi.
Permasalahan negara-negara itu hampir sama dengan konteks keindonesiaan. Mereka beranjak dari negara yang super-sentralistik menjadi negara yang desentralistik.
Kegagalan administratif dan keengganan memahami tujuan desentralisasi membuat bermunculan penyimpangan-penyimpangan dalam proses bernegara, terutama praktik korupsi. Terasa Indonesia banget, kan!
Pendapat Partlett tentang KPK juga membuat hati saya miris. Katanya, negara-negara seperti pecahan Rusia yang terjangkit korupsi membutuhkan lembaga antikorupsi yang kuat dan independen.
Belajar dari pendapat itu, lihatlah Indonesia kita, bukannya membentuk KPK yang tangguh. KPK malah dimatikan. Indonesia akan berjalan mundur kalau ini dibiarkan.
Pembangun kadangkala hanya menjadi simbol agar pemerintahan dianggap berhasil. Setelah pernyataan keberhasilan yang dipaksakan itu, pemerintah menjadi otoriter dengan alasan perlu agar negara dapat berjalan.
Itu tidak hanya penyakit Orde Baru, tetapi juga penyakit kekuasaan dari Orde (zaman) Batu. Sudah saatnya kita mengulang rapal pertanyaan, apakah dengan alasan pembangunan lalu KPK dimatikan dan korupsi jadi oli pembangunan itu adalah isme-keindonesiaan kita? Saya yakin semua kita akan menjawab tidak. Faktanya, Indonesia terjebak dalam praktik busuk penyelenggaraan negara yang ditentang konstitusionalisme keindonesiaan kita.
Bukankah sebagai negara dengan isme-Gotong Royong, kita bersama-sama bergotong-royong memberantas korupsi. Untuk apa kita punya jalan bagus, gedung bagus, ibukota baru yang bagus, kalau suatu waktu nanti isme-keindonesian kita hilang.
Kita negara yang luarannya tampaknya bagus, tapi jauh di dalam jiwa keindonesiaan kita sebuah ruang kosong tanpa rasa. Negara bagus tanpa jiwa baik hanya akan menghasilkan otoritarianisme, yaitu sebuah pemerintahan korup yang terlihat elegan dan bergaya.
Itu sebuah kemunduran. Saya ingat kekhawatiran Melissa Crouch yang disampaikan dalam konferensi terkait kemunduran demokrasi Indonesia, terutama ketika membahas revisi UU KPK dan amandemen UUD 1945. Kita sebagai “darah Indonesia” tentu tidak cukup hanya khawatir saja. Sebagai anak bangsa, memperjuangkan agar bangsa ini tidak mundur dan jatuh adalah kewajiban bersama. Sebuah gotong-royong mempertahankan demokrasi. Sanggupkah kita? (*)
Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) dan Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Andalas