Langgam.id – Serikat Petani Indonesia (SPI) Sumatera Barat menegaskan bahwa kehadiran Bakti SPI dalam merespons bencana galodo yang berulang di Sumatra Barat bukan sekadar aksi solidaritas kemanusiaan sesaat. Lebih dari itu, Bakti SPI dipandang sebagai bagian dari perjuangan panjang petani untuk keadilan agraria, pemulihan ekologi, dan kedaulatan pangan.
Ketua DPW SPI Sumbar, Rustam Efendi, menyebut Bakti SPI sebagai aksi yang melibatkan “jiwa dan raga” petani untuk berdiri bersama sanak saudara yang terdampak banjir bandang dan longsor. Menurutnya, tekanan yang dialami penyintas tidak hanya bersifat material, tetapi juga psikologis.
“Kami tidak hanya datang membawa bingkisan. Di lapangan kami berdiskusi ringan tentang tata kelola lahan, pola tanam, dan kesehatan lingkungan. Di situ muncul kesadaran bahwa yang mulai hilang di tengah masyarakat Minangkabau adalah raso jo pareso,” kata Rustam.
Ia menegaskan, Bakti SPI adalah gerakan lintas daerah yang dijalankan di berbagai provinsi, dari Sumatra hingga Papua, sebagai bagian dari perjuangan mewujudkan kedaulatan petani dan kedaulatan pangan.
Dalam bencana galodo, petani kerap menjadi penyintas ganda: kehilangan rumah sekaligus sawah sebagai sumber hidup. SPI menilai kondisi ini sebagai momentum untuk melakukan perubahan mendasar dalam tata kelola lahan dan pemukiman.
Rustam menyebut bencana kali ini sebagai yang terbesar dalam 50 tahun terakhir dan berada di luar rasional masyarakat.
“Petani bukan hanya korban, tapi juga pejuang lingkungan berbasis kearifan lokal. Kesadaran ini makin menipis dan perlu direvitalisasi. Pemerintah seharusnya mendukung kearifan lokal, bukan malah menganggapnya kuno atau mengkriminalisasi petani dengan dalih investasi,” ujarnya.
Sawah Tertimbun, Masa Depan Terancam
Kerusakan lahan pertanian akibat galodo dinilai sangat serius. SPI mencatat di sejumlah titik sawah yang hancur berkisar antara 5 hingga 30 hektare. Di Korong Sabalah Aie, Nagari Anduriang, Kecamatan 2×11 Kayu Tanam, sekitar 30 hektare sawah tertimbun material banjir. Sementara di Korong Ujuang Guguak, Nagari Pasie Laweh, sawah dan lahan penggembalaan ternak di tepi Batang Anai turut hilang.
Sawah kini tertutup tanah, kerikil, dan bebatuan besar. Jaringan irigasi hancur, bahkan beberapa mata air terancam hilang akibat pendalaman dasar sungai dan terbentuknya rongga-rongga tanah baru.
“Masa depan tergantung hari ini. Tidak ada aksi nyata hari ini, maka tidak ada masa depan,” tegas Rustam.
SPI mendorong penyusunan Rencana Tata Ruang Detail Desa/Nagari yang berbasis kearifan lokal, mengingat setiap nagari memiliki kontur dan karakter tanah yang berbeda. Ia juga menegaskan pentingnya tatanan agraria berkeadilan.
“Tidak ada tanah, tidak ada petani. Tidak ada petani, tidak ada makanan. Tidak ada makanan, tidak ada kehidupan,” katanya.
SPI menilai kehadiran negara dalam pemulihan pascabencana masih bersifat linear dan birokratis. Rustam mengkritik pola pikir programatik yang menunda respons cepat.
Ia menegaskan pemerintah sebenarnya memiliki sumber daya, baik regulasi, SDM, maupun anggaran, untuk bertindak lebih sigap.
“Tidak cukup hadir saat tanggap darurat. Negara wajib memastikan rakyat bisa kembali beraktivitas dan menghidupi keluarganya. Pendapatan utama negara dari pajak, maka wajib membantu pemberi pajak,” ujarnya.
SPI menekankan tanggung jawab struktural pemulihan bencana harus berjalan dari pusat hingga tingkat nagari secara selaras, mengingat jabatan bersifat sementara sementara penderitaan rakyat nyata.
Koordinator Bakti SPI, Eka Kurniawan Sago Indra, menggambarkan kondisi psikologis petani penyintas yang ia temui di lapangan.
“Banyak petani kehilangan harapan. Mata kosong menatap masa depan. Ada yang kehilangan keluarga, ada yang sawahnya tertimbun lumpur sampai pinggang,” katanya.
Menurut Eka, pemulihan sawah bukan perkara singkat. Jika ditangani serius, sawah baru bisa digarap kembali dalam waktu 1–2 tahun, bahkan hingga lima tahun.
Tantangan terberat adalah material lumpur, batu besar, irigasi yang putus, sumber air yang menjauh hingga 3–6 kilometer, serta hilangnya alat dan mesin pertanian.
“Memupuk harapan menjadi tantangan terbesar,” ujarnya.
Dalam dua minggu pertama pascabencana, Bakti SPI menyalurkan sembako, selimut, pakaian, kasur, dan sepatu bot. Namun SPI menilai pendampingan jangka panjang jauh lebih penting untuk membangun kembali kepercayaan diri petani.
Model solidaritas yang dibangun adalah petani membantu petani. Dana dikumpulkan dari anggota SPI di daerah yang tidak terdampak, seperti Kalimantan, Jawa, Papua, dan wilayah lain di Sumatra.
“Secara psikologis, ini membangun kesadaran bahwa penderitaan petani Sumbar dirasakan juga oleh petani di daerah lain,” kata Eka.
Dari pengalaman Bakti SPI, organisasi ini mencatat sejumlah pelajaran penting: perlunya reforma agraria berbasis adat, kajian ulang pemukiman di daerah rawan, manajemen bantuan bencana yang profesional, pemetaan geologi, pembangunan infrastruktur dengan kajian matang, hingga pemanfaatan teknologi seperti drone untuk distribusi bantuan.
SPI juga mendorong skema relokasi berbasis kesepakatan adat dan nagari tanpa merusak tatanan sosial, serta pola anak asuh bagi anak-anak korban bencana.
“Melalui Bakti SPI, kami akan terus berbuat dengan apa yang ada. Perjuangan ini bukan hanya soal hari ini, tapi tentang masa depan petani dan kehidupan,” tutup Eka.
Selain menyasar pemulihan petani dewasa, Bakti SPI juga memberi perhatian khusus pada anak-anak penyintas galodo, terutama mereka yang masih duduk di bangku Sekolah Dasar. Tim SPI di lapangan, Nurdin Hamzah, menyebut bahwa bantuan tidak melulu soal logistik pangan, tetapi juga pemulihan psikologis anak-anak.
“Kami berharap bantuan berupa seragam sekolah untuk anak-anak Sekolah Dasar ini dapat menjadi bagian dari pemulihan, trauma healing, sehingga bisa mengurangi kesedihan akibat bencana yang mereka rasakan,” ujar Nurdin.
Menurutnya, bencana tidak hanya merenggut rumah dan harta benda, tetapi juga rasa aman dan keceriaan anak-anak. Seragam sekolah baru diharapkan menjadi simbol awal untuk kembali menata kehidupan.
“Dengan baju seragam baru, anak-anak akan lebih cepat melupakan kesedihan dan kembali bersemangat menyambut masa sekolah yang akan datang,” tambahnya.
SPI menilai pemulihan pascabencana harus menyentuh seluruh lapisan korban, termasuk anak-anak, agar siklus trauma tidak berlarut dan masa depan generasi petani tetap terjaga. Bantuan sederhana seperti seragam sekolah dipandang sebagai upaya kecil namun bermakna dalam mengembalikan harapan di tengah reruntuhan akibat galodo.






