Warga Bantu Warga Nyata Adanya

Warga Bantu Warga Nyata Adanya

Rumah Amrina Rasada, sejak galodo atau banjir bandang menghantam Sungai Batang, Kecamatan Tanjung Raya, Kabupaten Agam, pada Kamis, 27 November 2025, berubah menjadi tempat pengungsian darurat bagi puluhan warga selama beberapa waktu sebelum pindah ke Huntara. Foto: Yose Hendra

Langgam.id – Di sebuah rumah tembok sederhana yang berdiri di tengah kampung Tapian Data, Jorong Labuah, Nagari Sungai Batang, tikar dan karpet digelar rapat-rapat beberapa hari usai terjangan galodo (banjir bandang) pada 27 November 2025. Malam hari, puluhan tubuh terbaring berdempetan seperti sarden. Kendati demikian, tak ada yang mengeluh. Bagi mereka yang penting selama dari hantaman galodo dan masih bisa berteduh dengan aman di tengah trauma yang membekap.

Rumah itu milik Amrina Rasada, 35. Sejak galodo atau banjir bandang menghantam Sungai Batang, Kecamatan Tanjung Raya, Kabupaten Agam, pada Kamis, 27 November 2025, rumah Amrina berubah menjadi tempat pengungsian darurat bagi puluhan warga.

“Tempat pengungsian ini di rumah saya, inisiatif sendiri,” ujar Amrina.

Tak ada rapat, tak ada komando resmi. Saat air datang dan tanah bergerak, warga berlarian menyelamatkan diri. Mereka mengetuk pintu rumah yang masih berdiri dan pintu itu dibuka tanpa banyak tanya.

Ada sekitar 60 lebih warga mengungsi di rumah Amrina. Semuanya warga Jorong Labuah yang mengalami rumahnya rusak berat, ada yang rusak sebagian, ada pula yang tak berani kembali karena trauma.

Empat kamar di rumah itu terisi penuh. Ada yang berenam, berempat, bahkan berdelapan dalam satu ruang. Sebagian tidur di kasur, sebagian lagi beralaskan tikar dan karpet. Di luar rumah, sekitar 30 orang tidur berjejal di ruang terbuka beratap.

“Pokoknya kayak sarden. Yang penting tidur aman,” ucap Amrina, tersenyum tipis.

Di sekitar rumah Amrina, rumah-rumah kayu tua juga bernasib serupa, menjadi hunian darurat bagi penyintas galodo. Tak ada sekat antara tuan rumah dan pengungsi. Laki-laki dan perempuan, orang tua dan anak-anak, semua bercampur. Karena di sini, mereka sudah dianggap keluarga.

Wali Jorong Labuah Elbama, menyebut warganya terdampak parah. Selama hampir seminggu, Jorong Labuah benar-benar terkurung. Akses ke arah Nagari Sungai Batang, Jorong Kubu, hingga Tanjung Sani sama-sama terputus.

“Tujuh jorong di Sungai Batang terkurung. Masyarakat bertahan dengan apa yang ada. Ada yang terpaksa menyewa ponton ke Pasar Maninjau, bayar Rp300 ribu, demi sembako,” ujarnya.

Dia mengatakan, ada sekitar 1.000 jiwa pengungsi tersebar di 49 rumah di beberapa titik yakni di Jorong Labuah, Jorong Tugu, Ujung, Kota Tenggai, hingga Naladi.

Di dapur-dapur kecil, warga memasak bersama. Awalnya dari bahan yang ada di rumah masing-masing. Siang masak, sore masak lagi. Hingga bantuan mulai berdatangan.

“Tak semua rumah hancur. Dari 19 rumah di Jorong Labuah, sekitar 15 menjadi tempat pengungsian. Sebagian warga yang rumahnya rusak berat memilih pergi sementara ke luar daerah atau perantauan, seperti Pekanbaru, demi menghindari trauma,” ungkapnya.

Nestapa Pengungsi Berada di Antara Dua Sungai yang Galodo

Listrik padam sejak hari pertama. Malam-malam awal dilalui dengan cahaya senter dan ponsel. Baru pada hari kedua, genset mulai digunakan. Namun rasa takut tak semudah itu padam.

Jorong Labuah berada di antara dua aliran sungai Batang Tumayo dan Raggeh. Meski kampung ini berada sekitar 20 meter lebih tinggi dari sungai, trauma tetap membekas.

“Kalau hujan, kalau dengar bunyi air, orang-orang langsung diam. Trauma,” ujar Amrina.

Kekahwatiran lain adalah lokasi rumah-rumah yang menjadi tempat mengungsi terjepit antara sungai Batang Raggeh dan Batang Tumayo yang sama-sama menghilirkan galodo.

Namun ketakutan tak membuat mereka saling meninggalkan.

“Karena ini kampung sendiri,” katanya pelan.

Di rumah itu pula, seorang nenek bernama Amah menghabiskan hari-hari terakhirnya. Sejak Kamis hingga Selasa, Amah tidur di rumah Amrina. Tiga hari sebelum wafat, napasnya mulai sesak. Ia tak bisa tidur selama dua hari.

Senin sore, kondisinya memburuk. Setelah sempat salat Magrib di rumah itu, Amah dipindahkan ke tempat anaknya yang juga mengungsi. Tak lama berselang, ia meninggal dunia.

“Kalau menurut kami, mungkin sudah penyakit,” ujar Amrina lirih.

Duka itu menjadi bagian dari kisah pengungsian yang sunyi, tanpa sorotan, namun membekas.

Solidaritas Jadi Sistem Bertahan

Di Jorong Labuah, warga menolong warga bukan sekadar spontanitas, melainkan menjadi sistem bertahan hidup.

Ketua penerimaan dan penyaluran logistik, Feri Gunawan Datuk Maharajo Nan Sati menjelaskan, posko bantuan hanya dibuka satu. Tidak ada dapur umum besar.

“Kalau dibuka dapur umum, dikhawatirkan orang berbondong-bondong dan bisa terjadi konflik,” ujar Datuk Maharajo Nan Sati yang juga suami Amrina ini.

Solusinya sederhana namun efektif: pengungsi disebar ke rumah-rumah warga. Logistik dibagikan sesuai jumlah jiwa yang ditampung. Tuan rumah bertanggung jawab memasak dan memberi makan.

“Kalau ada yang bisa dimakan, dimakan bersama,” katanya.

Namun bagi yang tinggal, satu hal jadi pegangan: tidak ada yang dibiarkan sendirian.

“Kalau pengungsi datang ke rumah kita, masak kita tolak,” kata Amrina.

Di tengah galodo yang merenggut rumah, memutus jalan, dan menumbuhkan trauma, Jorong Labuah menunjukkan satu hal yang tak runtuh: solidaritas.

Di rumah-rumah sederhana itulah, warga menjaga warga. Tanpa baliho, tanpa seremoni. Hanya pintu yang terbuka dan hati yang lapang.

Aksi warga bantu warga juga diperlihatkan Yogi Yolanda, seorang perantau asal Danau Maninjau yang berdomisili di Jakarta. Hari-hari awal setelah kejadian galodo menerjang Nagari Maninjau dan Nagari Sungai Batang di tepian Danau Maninjau, sekelabat kemudian kampung-kampung yang kena terisolasi karena putusnya jalan lingkar Danau Maninjau.

Di tengah keterisoliran penyintas, Yogi Yolanda bermodalkan perahu bermesin 25 PK itu membelah Danau Maninjau yang kelabu. Di atas perahu, Yogi Yolanda duduk berhadapan dengan karung beras dan jeriken minyak goreng, bantuan pertama yang berhasil masuk ke Nagari Sungai Batang setelah galodo memutus seluruh akses darat.

Saat jalan dari Pasar Maninjau tertutup longsor di banyak titik, satu-satunya jalur yang tersisa hanyalah danau. “Ini bicara kampung kita,” kata Yogi.

Usai membeli logistik di Padang, Yogi dan kawan-kawan berangkat subuh menggunakan perahu warga. Perjalanan 45 menit terasa panjang di tengah kecemasan. Saat tiba, ratusan warga mengungsi di rumah dan sekolah dengan persediaan pangan menipis. Ada keluarga yang hanya bertahan dengan tiga liter beras. Selama hampir sepuluh hari hujan turun tanpa henti, padi tak bisa dijemur, pasokan terputus.

“Warga sudah dua hari makan mi instan. Forkopimca pun belum bisa masuk karena jalan putus,” ujar Yogi.

Bantuan awal yang dibawa sederhana yakni beras, telur, minyak goreng, namun krusial. Dalam dua minggu, Yogi dan relawan bolak-balik menyusuri danau, menyalurkan sekitar 1,2 ton beras, telur, minyak goreng, serta empat unit genset di tengah listrik yang padam total.

Wali Jorong Labuah, Elbama, menyebut warganya terkurung hampir sepekan. “Tujuh jorong di Sungai Batang terisolasi. Ada warga terpaksa menyewa ponton ke Pasar Maninjau, bayar Rp300 ribu hanya untuk sembako,” katanya.

Bagi Yogi, menyeberangi danau itu bukan sekadar misi kemanusiaan, melainkan panggilan pulang seorang perantau saat kampungnya paling membutuhkan.

Pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Andalas, Feri Amsari juga gerak cepat dalam menekel kebutuhan mendesak penyintas terutama yang terisolasi pasca galodo. Feri Amsari atas nama Themis Indonesia Law Firm berkolaborasi dengan Auriga Nusantara, serta Yayasan Bambu Lingkungan Lestari segera buka donasi melalui platform Kitabisa.com.

Mereka mengatasnamakan Rakyat Bantu Rakyat, dimana saat ini sudah menebar banyak bantuan ke lokasi tersulit terdampak bencana di Sumatra Barat, Sumatra Utara, dan Aceh.

Beberapa lalu misalnya, Gerakan Rakyat Bantu Rakyat melalui relawan yang dikoordinasikan Yefral Kasman dan Afdal Zulka menjangkau wilayah terdampak seperti Subarang Luak, Jorong Ladang Laweh, Nagari Batipuh Baruah. Hingga kini, distribusi logistik di kampung tersebut masih dilakukan menggunakan tali sling dengan sistem katrol, menyusul putusnya satu-satunya jembatan akibat banjir bandang Sungai Batang Sumpur.

Kepala Jorong Ladang Laweh, Arif Rahman, mengatakan Subarang Luak terisolasi selama hampir lima hari setelah jembatan penghubung terputus pada 27 November 2025.

“Di sini ada sekitar 50 KK atau 200 jiwa. Selama beberapa hari kami benar-benar terkurung karena debit sungai sangat besar,” ujarnya.

Akses menuju kampung juga sangat terbatas. Relawan harus memikul logistik sejauh sekitar satu kilometer, lalu menyalurkannya menggunakan katrol karena kendaraan tidak dapat melintas.

“Bantuan dari Bang Ferry dan kawan-kawan dengan tagline Rakyat Bantu Rakyat ini sangat berarti bagi kami,” kata Arif.

Wali Nagari Bungo Tanjuang, Yudisthira Anuggraha yang mendapat bantuan untuk 59 jiwa warganya yang terdampak merasakan manfaatnya saat besar.

“Bantuan ini ibarat sitawa sidingin (penyejuk hati dan penguat di tengah duka),” ujarnya.

Feri Amsari, menilai solidaritas yang terbangun menunjukkan kuatnya kepedulian masyarakat. “Gerakan ini membuktikan rakyat Indonesia saling menjaga. Yang paling buruk dari bencana adalah ketika pembuat kebijakan absen, tapi justru gelisah melihat warganya bergerak saling peduli,” ujarnya.

Hampir tiga pekan bencana galodo di sejumlah tempat di Sumatra Barat berlalu, LBH Padang bersama relawan terus mengulurkan bantuan. Hari-hari mereka diwarna masak dalam jumlah besar di laman Kantor LBH Padang. Bahkan di antara relawan tampak ikut serta trah Sang Proklamator Bung Hatta yakni Halida Hatta dan Gustika Jusuf Hatta. Apa yang mereka masak, lalu disalurkan untuk makan siang dan makan malam siap santap bagi penyintas galodo di pengungsian atau pun di lingkungan mereka.

Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Padang, Diki Rafiqi mengatakan, apa yang LBH Padang lakukan bersama relawan adalah bentuk nyata aksi warga bantu warga. Dan itu akan terus bergerak, baik penyaluran dan dapur umum kepada korban bencana.

“Kami selalu melihat bagaimana kondisi dari waktu ke waktu. Tentunya warga bantu warga tidak akan berhenti sampai tanggap darurat dari pemerintah selesai, warga bantu warga akan terus bekerja untuk menyalurkan dan memastikan kebutuhan korban bencana tercukupi,” katanya.

Sementara Serikat Petani Indonesia (SPI) juga punya cara lain dalam membantu penyintas yang mengalami serba kesulitan.  Ketua DPW SPI Sumbar Rustam Efendi mengatakan, SPI menamai aksi kemanusiaan dalam respons bencana di Pulau Sumatra dengan BAKTI SPI. Dalam konteks ini, sambungnya, BAKTI SPI aktif di tanggap darurat banjir dan longsor seperti di Sumatra Barat, sebagai satu kesatuan aksi jiwa dan raga bersama-sama sanak saudara terdampak dalam meringankan tekanan baik secara psikologi maupun kehilangan sebagian besar materil yang mereka punya.

“Disaat kita lakukan kunjungan kelapangan tidak hanya sekedar berbagi bingkisan buah tangan namun kita juga lakukan diskusi ringan tentang tata kelola lahan dan sistem pola tanam dalam rangka menyehatkan keluarga petani, lingkungan dan konsumen (aktor utamanya manusia).  Dalam proses diskusi tersebut mereka menyadari bahwa ada yang hilang di tengah-tengah masyarakat Minangkabau yakni raso jo pareso,” terangnya.

Menurutnya, BAKTI SPI merupakan perjuangan panjang hingha terwujudnya tatanan yang berkeadilan dan kedaulatan petani guna kedaulatan pangan.

Koordinator BAKTI SPI Eka Kurniawan Sago Indra menambahkan, model yang dilakukan adalah dari luar daerah terdampak dimana dengan menggalang dana dari petani anggota SPI. Misalnya Kalimantan, Papua, Jawa dan Sumatra yang tidak terdampak, hal ini untuk memberikan dukungan darurat.  

“Secara psikologis membangun kesadaran, bahwa petani yang terdampak, juga dirasakan oleh petani lainnya dari luar daerah.  Secara ekonomi menyeluruh belum ada yang bisa dilaksanakan,” tukasnya.

Hingga tiga pekan lebih bencana berlalu, bantuan dengan ragam kebutuhan penyintas bertalu-talu datang ke titik pengungsian, dapur umum. Bentuknya beragam, ada berwujud sembako, sayur mayur yang dipetik langsung para petani, selimut, kasur, genset, sumur bor, bahkan juga jasa alat berat untuk menyingkirkan lumpur.

Semua ini adalah modal sosial yang masih lestari di tengah kesulitan dan penanganan bencana yang tertatih-tatih.

Baca Juga

Banjir di Sumatera: Soal Air, Hutan, dan Negara
Banjir di Sumatera: Soal Air, Hutan, dan Negara
Berita Pasaman Barat - berita Sumbar terbaru dan terkini hari ini: Pembangunan Huntara untuk korban gempa di Pasaman Barat terus berlanjut.
Pemerintah Siapkan Lahan Seluas 1,7 Ha untuk Pembangunan Huntara di Asam Pulau
Dipimpin Ganjar dan Risma, PDI Perjuangan Distribusikan Bantuan di Agam
Dipimpin Ganjar dan Risma, PDI Perjuangan Distribusikan Bantuan di Agam
Melayari Danau Maninjau: Kisah Perantau Masuk ke Lokasi Galodo Sungai Batang yang Terisolir
Melayari Danau Maninjau: Kisah Perantau Masuk ke Lokasi Galodo Sungai Batang yang Terisolir
Ratusan Pelajar di Malalo Tigo Jurai Kehilangan Perlengkapan Sekolah akibat Galodo, Relawan Butuh Donatur Besar
Ratusan Pelajar di Malalo Tigo Jurai Kehilangan Perlengkapan Sekolah akibat Galodo, Relawan Butuh Donatur Besar
Batang Kuranji Meluap, 12 Warga Dievakuasi Dua Sempat Hanyut
Batang Kuranji Meluap, 12 Warga Dievakuasi Dua Sempat Hanyut