Oleh: Sunardi Simanullang
Setelah dilanda hujan ekstrem yang berkepanjangan selama lebih kurang dua pekan, banjir bandang dan tanah longsor melanda sebagian Pulau Sumatera. Setidaknya, ada tiga provinsi di pulau Sumatera yang merasakan dampak yang sangat parah akibat bencana tersebut, yakni Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat.
Di Aceh, setidaknya ada sekitar 20 kabupaten/kota yang merasakan bencana tersebut. Seperti Kota Lhokseumawe, Aceh Barat, Aceh Utara, Aceh Timur, Aceh Singkil, dan Kabupaten Bireuen (detiknews 27/11/2025). Sementara di Sumatera Utara, setidaknya ada 13 Kabupaten/Kota yang dilanda bencana tersebut, seperti Kabupaten Langkat, Tapanuli Tengah, Tapanuli Utara, Tapanuli Selatan, Mandailing Natal, Pakpak Bharat, Nias Selatan, Humbang Hasundutan, Deli Serdang, Kota Sibolga, Padangsidempuan, Binjai, dan Kota Medan (MetroTv 27/11/2025).
Adapun di Sumatera Barat, tercatat ada 13 wilayah yang terdiri dari Kabupaten/kota yang juga ikut dilanda bencana tersebut, yakni Kota Padang, Padang Pariaman, Kota Solok, Agam, Kota Pariaman, Bukittinggi, Padang Panjang, Tanah Datar, Pesisir Selatan, Kabupaten Solok, Pasaman, Pasaman Barat, dan Limapuluh Kota (Kompas.com 25/11/2025).
Ketiga provinsi ini merasakan dampak yang sangat luar biasa akibat bencana tersebut. Hingga Jumat (5/12/2025), Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat, jumlah korban meninggal dunia telah mencapai 836 orang. Angka ini berpotensi bertambah mengingat masih banyaknya warga yang belum ditemukan di tiga provinsi tersebut.
Selain merenggut nyawa, bencana ini juga menimbulkan dampak secara material bagi masyarakat, seperti rumah warga yang hanyut di bawa arus, jalan yang longsor hingga memutus akses transportasi darat, banyak barang-barang seperti mobil, motor, emas yang hanyut di bawa arus, dan bahkan terputusnya jaringan komunikasi seperti yang terjadi di beberapa wilayah di Aceh dan Sumut. Selain itu, kondisi ini juga memaksa ribuan warga di tiga provinsi tersebut untuk mengungsi ke tempat yang lebih aman.
Faktor Terjadinya Bencana
Kalau kita merujuk pada penjelasan dari BMKG, faktor terjadinya bencana tersebut, khususnya di tiga provinsi ini yaitu Aceh, Sumut, dan Sumbar di picu oleh adanya Siklon Tropis Koto yang berkembang di Laut Sulu dan adanya Bibit Siklon Tropis 95B yang terpantau di Selat Malaka. Alhasil, kedua Siklon ini mempengaruhi peningkatan curah hujan dan angin kencang di Pulau Sumatera, khususnya di bagian utara (detiksumut 28/11/2025).
Tapi apakah benar faktor utama terjadinya bencana ini akibat adanya Siklon Tropis? Kalau kita melihat banjir yang terjadi, khususnya di sungai Batangtoru tepatnya di wilayah Tapanuli Selatan, Sumatera Utara, yang memperlihatkan banyaknya material bongkahan kayu besar tanpa akar, tanpa daun dan bahkan terpotong-potong dengan rapi yang hanyut terbawa arus banjir di perairan sungai Batangtoru. Hal ini mengindikasikan bahwa di hulu sungai telah terjadi deforestasi atau penggundulan hutan secara ugal-ugalan.
Sehingga ketika terjadinya hujan ekstrim yang berkepanjangan dan mengguyur tanah yang kritis, dan tandus membuat sungai kehilangan akal sehatnya. Akibatnya, kondisi ini menyebabkan terjadinya banjir bandang dan juga tanah longsor yang melanda masyarakat sekitar. Karena tidak mungkin gelondongan kayu jatuh dari awan begitu saja dan juga tidak mungkin hujan deras bisa membawa kayu yang besarnya seperti tiang listrik kalau tidak ada yang memotongnya.
Hal ini selaras dengan sejumlah data yang menunjukkan bahwa laju deforistasi di Pulau Sumatera terus meningkat dalam beberapa tahun terakhir. Di Sumatera Barat misalnya, mengutip data dari Global Forest Watch (GFW), direntang tahun 2002 hingga 2024, Sumatera Barat telah kehilangan sekitar 320 ribu hektare hutan primer basahnya atau sekitar 44% dari keseluruhan kehilangan tutupan pohon dalam periode tersebut. Secara keseluruhan, luas hutan primer basah di provinsi ini menyusut hingga 14% yang menunjukkan betapa masifnya tekanan ekologis yang telah dibiarkan berlangsung hingga bertahun-tahun lamanya.
Dikutip dari sumber yang sama yaitu GFW, pada tahun 2024 Sumatera Utara juga kehilangan hutan alaminya sekitar 8,1 ribu hektare. Hilangnya hutan seluas ini menyebabkan terjadinya pelepasan sekitar 5,9 juta ton emisi CO2 ke atmosfer. Sementara di Aceh, sekitar 13 ribu hektare hutan alaminya hilang. Sehingga hal ini melepaskan sekitar 9 juta ton emisi CO2 ke atmosfer pada tahun 2024.
Artinya, akar dari penyebab terjadinya bencana ini bukan karena hujan ekstrim yang melanda wilayah Sumatera, karena itu hanyalah sebagai pemicu. Akar dari semua bencana ini adalah akibat maraknya deforestasi dan praktik ekonomi ekstraktif yang terus merangsek tanpa pengawasan yang ketat. Dua hal inilah yang merusak fondasi ekologis hutan, sehingga memicu terjadinya bencana ketika curah hujan tinggi dan berkepanjangan terjadi. Ibarat rumah yang tiang penyangganya sudah retak, ketika angin kencang datang, rumah itu roboh bukan karena anginnya yang kencang, tetapi karena tiangnya yang sudah retak yang tak kunjung diperbaiki. (*)
Sunardi Simanullang, mahasiswa UIN Imam Bonjol Padang





