Langgam.id – Perkembangan teknologi digital menuntut pemerintah terus memperkuat pelindungan anak dan literasi masyarakat melalui Peraturan Pemerintah No.17 Tahun 2025 tentang Tata Kelola Penyelenggaraan Sistem Elektronik Dalam Pelindungan Anak (PP Tunas).
Salah satu aspek yang menjadi perhatian adalah pesatnya pertumbuhan aplikasi kecerdasan buatan (AI) yang kini hadir di berbagai sektor kehidupan.
Praktisi Teknologi Komunikasi Digital dan Arsitektur AI, Erry Farid menjelaskan bahwa jumlah pasti aplikasi AI di seluruh dunia sulit ditentukan karena terus bermunculan setiap hari. Namun, data terkini menunjukkan peningkatan signifikan. “Per 4 November 2025, model AI yang beredar di seluruh dunia ada 2.259.000 aplikasi,” ujar Erry dalam kegiatan Indonesia.go.id (IGID) Menyapa bertema “Cerdas di Dunia Maya, Bijak di Dunia Nyata” pada Festival Komunitas Informasi Masyarakat (KIMFest) Nasional 2025 di Lapangan Ahmad Yani, Kota Tangerang, Banten, Sabtu (15/11/2025), dilansir dari InfoPublik, Minggu (16/11/2025).
Ia menegaskan bahwa di Indonesia hanya sebagian kecil aplikasi yang dikenal luas, seperti ChatGPT, Canva, dan beberapa aplikasi populer lainnya. Padahal, secara global jumlahnya telah mencapai sekitar 2,2 juta aplikasi. “Dua jutaan aplikasi tersebut beredar di seluruh dunia. Maka tidak salah ketika teman-teman di Kemenkomdigi menjaga ruang digital,” kata dia.
Erry kemudian mencontohkan beberapa aplikasi AI yang dapat menimbulkan tantangan baru di ruang digital, seperti aplikasi pengubah wajah, aplikasi yang mampu mengubah rekaman suara menjadi notulen, serta berbagai bentuk otomatisasi lainnya.
Di tengah perkembangan tersebut, Erry menekankan bahwa kecerdasan manusia tetap lebih tinggi dibandingkan kecerdasan buatan. Karena itu, manusia harus menjadi pengendali utama dalam penggunaan teknologi.
Ia juga mengingatkan pentingnya etika dalam penggunaan AI, seperti tidak menggunakan teknologi untuk tujuan diskriminatif, dan melanggar hukum.
Selain itu, Erry menyoroti potensi penyalahgunaan teknologi AI dalam memproduksi konten negatif. Di mana AI kini mampu menghasilkan deepfake berbahaya, konten pornografi ilegal, manipulasi politik, hingga penipuan digital.
Dengan berbagai potensi risiko tersebut, ia menegaskan bahwa pelindungan ruang digital dari penyalahgunaan teknologi AI harus menjadi prioritas bersama agar masyarakat dapat memperoleh manfaat teknologi secara aman dan bertanggung jawab. (*/Yh)






