Poster A4 Militer Komunis-Fasis; Antara Indonesia dan Orwell (Bagian 1)

Di dinding kontrakan saya, terpajang sebuah poster ukuran A4, bergambar tentara lengkap dengan atribut  simbol fasis, setengah badan dari kepala hingga dada.  Di dada bagian bawah, menempel dada tentara lain dengan atribut komunis.  Keduanya dibuat bersisian atas dan bawah.  Sehingga ketika saya membalikkan posisi poster, penampakannya sama; tentara komunis dan militer fasis.  Poster didominasi warna abu, hitam, kuning, merah dan sedikit hijau serta biru.

Saya menyukai poster itu bukan karena warnanya, tapi karena kepiawaian Si Pembuat Poster mengulasnya dengan sederhana. Menurutnya, kedua isme itu sejatinya sebelas-dua belas, tak jauh berbeda. Di ujung kisah, keduanya menyengsarakan rakyat.  Pandangan fasis, memuja simbol-simbol negara di atas kepentingan apapun.  

“Rakyat dipaksa berpikir nasionalis sangat ekstrim, selain bangsanya adalah bangsat.  Fasis cenderung berpikir rasis, mereka dipersatukan oleh paksaan yang anti demokrasi,” kata Si Pembuat Poster.

Mereka menolak keberagaman, melarang oposisi. Fasisme terbukti telah menghancurkan peradaban lewat Perang Dunia Kedua. Dalam berbagai kasus, lanjut dia, fasisme mengkultuskan pemimpin dan mengedepankan kekuatan militer.

Hal yang sama juga tercermin dalam tubuh komunisme.  Komunisme merupakan badai radikal dari pemikiran sosialisme, dimana negara dibangun tanpa kelas sosial, tanpa kepemilikan pribadi, sesama negara komunis harus terbangun solidaritas, dan semua warga negara wajib bekerja untuk kemakmuran bersama.

Saya termangut-mangut.  Komunisme, lanjut dia, dapat berakhir menyedihkan seperti bercerai berainya Uni Soviet, terasingnya Kuba dan Korea Utara.  

Poster itu dibuat tahun 2023 oleh seorang anak kelas 3 SMP.  Sepanjang tahun, kami kerap beradu pendapat tentang situasi Indonesia dan global yang kian mengkhawatirkan. Saya menikmati baku argumen itu.  Dalam hati, saya berhasrat mengoleksi poster itu, namun dia menolak dengan lembut.  Setahun kemudian dia menyerah, saya berhasil merayunya, poster itu kini sudah tergantung di dinding kontrakan saya.

“Apakah di negara kita paham-paham tersebut masih ada Yah?” tanya dia ketika menyerahkan poster tersebut.  Saya hanya menjawabnya dengan senyum, hati saya sangat gembira.

Belakangan, badai protes atas tunjangan dan hak istimewa DPR menyeruak ke ranah publik.  Aksi meluas di penghujung Agustus dan tak reda walau September tiba.  Fasilitas umum banyak yang hancur, aparat telah berlaku represif, sementara ada kelompok-kelompok yang disinyalir terorganisir, telah memancing di air keruh.

Korban berjatuhan; bukan hanya dari para pendemo, namun juga mereka yang berjoget di panggung DPR, beberapa Menteri diganti, Kementerian baru dibentuk dan seterusnya. Saya teringat poster itu, masih kaku tergantung di dinding kontrakan.

Beberapa waktu di belakang, saya membaca bahwa TNI kini mulai ditugaskan ke ranah sipil dengan maraknya perwira tinggi – aktif maupun sudah purnawirawan – yang ditempatkan di berbagai Kementerian, BUMN dan jabatan strategis lainnya.  TNI merambah hingga ke isu ketahanan pangan, berikut dengan penertiban di bidang pertanahan.  Bahkan, isu sipil kini layaknya telah menjadi bualan pagi atas nama keamanan.  Sementara kontrol sipil yang diharapkan berawal dari Gedung DPR sudah tak dapat lagi diharapkan.

Militer mengendap-endap ke ranah sipil.  Dwifungsi TNI sepertinya mulai menggeliat.  Di Aceh, Kodam Iskandar Muda telah resmi membuka beberapa Batalyon dan Brigade Infanteri Teritorial Pembangunan.  Alasannya, memperkuat pertahanan teritorial, meningkatkan kemampuan pembinaan wilayah, memperluas jangkauan pelayanan masyarakat dalam menjaga keamanan dan kedaulatan negara, dan  tentunya sinergi pembangunan dengan Pemerintah Daerah.  Kendati badai protes datang dari publik Aceh, negara tetap bergeming. Poster yang terpampang di kontrakan saya itu kini mulai bercerita; militerisme pelan-pelan merayap di ruang publik.

Di lapangan, Instruksi Presiden nomor 1 tahun 2025 mengenai penghematan ratusan trilyun uang negara, agaknya menelantarkan berbagai kepentingan publik.  Aparat negara kini bisa berdalih untuk tidak melayani masyarakat atas nama penghematan.

Jauh sebelum itu, saya masih menyimpan tanya tentang upaya penyelamatan uang negara di zaman presiden SBY, bailout Bank Century.  Penyelidikan Panjang mengenai skandal ini agaknya telah dilupakan.  Kasus ini berakhir tanpa kejelasan.

Pada era 2009-2010, kita tentunya juga masih belum lupa kasus mafia pajak Gayus Tambunan.  Seiring itu, konflik KPK-POLRI; Cicak versus Buaya juga mengemuka.  Selanjutnya, drama Hambalang turut melukai perasaan masyarakat.  Situasi di masa itu betul-betul telah menelanjangi birokrasi, perpajakan, dan melemahkan upaya pemberantasan korupsi. Semua berakhir tanpa ujung, seperti kabut yang menguar dalam kesunyian.

Saya berharap, 10 tahun masa pemerintahan Presiden Joko Widodo dapat menyelesaikan semua itu.  Namun derita batin tak tuntas, seturut dengan revisi kilat atas undang-undang KPK tahun 2019, yang 3 tahun kemudian mengalami revisi.  Drama korupsi di Indonesia seakan bertambah-tambah dengan kasus Novel Baswedan (2020).

Di ranah yang lain, kita tentunya juga belum terlalu lupa dengan dampak hilirisasi nikel yang beriringan dengan isu keselamatan kerja dan lingkungan. Polemik Kartu Prakerja dan UU Cipta Kerja turut mewarnai paruh kedua jabatan Jokowi.  Belakangan tapi bukan terakhir, kita masih belum pikun atas persoalan Rempang Eco-city, dan yang paling membuat kita diam adalah putusan Mahkamah Konstitusi soal usia Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden.

Rangkaian drama politik itu mengingatkan saya pada seorang Orwell, George Orwell tepatnya. 17 Agustus 80 tahun yang lalu, dia merilis buku bertajuk Animal Farm.  Buku ini sedianya sudah ditulis sejak 1934-1944, namun tak ada penerbit di London yang berani menerbitkan.

Sedianya, Animal Farm adalah kritik terhadap sistem pemerintahan totalitarianisme Soviet usai Lenin berkuasa.  Di tangan Stalin, militer Soviet berkembang.  Stalin merangkak menjadi diktator baru.  Dia menyeret Uni Soviet ke dalam posisi paling rumit di masa itu.  Dia tak pernah sangsi akan tindakannya, bahkan jikapun itu harus membunuh tetaranya sendiri.

Kendati pihak barat mendukung Stalin – karena dianggap dapat memberangus kekuatan Nazi yang fasis – namun  Orwell secara cerdik mengingatkan bahwa revolusi adalah alat perjuangan, bukan untuk memunculkan totalitarianisme yang baru.

Dikisahkan dalam Animal Farm, sebuah peternakan bernama Manor milik Tuan Jones telah dirus secara serampangan.  Tak jarang ternak-ternak mendapat perlakukan kasar, hukuman brutal, bahkan berujung pembunuhan.  Orwell merujuk pada Soviet ketika menyebut peternakan Manor, dan Tsar sebagai Jones, tapi poster di dinding kontrakan itu seolah membisikkan; bukan! Itu adalah situasi anda, situasi yang bahkan tidak anda sadari.

Di Manor, kehidupan merupakan sebuah sirkus kesengsaraan yang terus berputar.  Matahati Jones telah terpukau oleh kesenangan semu.  Dia bahkan mungkin sudah malas memikirkan nasib hewan di peternakan itu.  Hewan ternak bagai rakyat yang hidup dalam nestapa menanti takdir.  Mana ada logika, mereka justru dibuai oleh kesadaran semu tentang kesejahteraan, sebuah cita-cita yang mungkin hanya ada di dunia khayal.

Orwel dengan lihai menggambarkan sosok Karl Marx dalam karakter Old Major, seekor babi tua.  Mereka yang menyerah pada kodrat kini bergeliat lantaran bisikan serak dan berwibawa milik Old Major.  Di kegelapan Peternakan Manor, sebuah mimpi gemilang membangunkan ketidak berdayaan hewan-hewan. Visi itu; tentang bumi yang bebas dari tirani dan hewan-hewan hidup setara, semua sederajat.  Jika dianalogikan, ini agak mirip dengan hasrat kemerdekaan Indonesia.

Tak lama berselang, Old Major mati.  Kecuali itu, babi tua itu telah membangkitkan karsa juang hewan-hewan, dia memercikkan api.  Bara hangat menyeruak di lumbung lembab di Peternakan Manor.  Itu menjadi pemicu pemberontakan spontan.  Dua babi paling brilian berdiri di garis depan pemberontakan; Snowball dan Napoleon.  Snowball yang idealis dan bersemangat, tegak bersisian dengan Napoleon yang pendiam, licik, dan penuh perhitungan.   Siapapun itu, di Indonesia agaknya ada pula tokoh-tokoh berkarakter serupa keduanya.

Papan nama Peternakan Manor akhirnya dibuang ke dalam api. Penguasa paling mutakhir di peternakan itu menegaskan bahwa mereka bukan lagi Peternakan Manor, kini berganti dengan Animal Farm.  Disinilah babak baru pengelolaan peternakan dimulai. Bagai Orde Baru yang mencampakkan Orde Lama, buku-buku diberangus, suara di jalanan pupus.  Sampai tiba saatnya Era Reformasi yang jengah dengan Orde Baru, demikianlah.  

Reformasi bagi kebanyakan rakyat Indonesia adalah fajar yang baru saja terbit di antara 1998 sampai 2001.  Sama halnya dengan kedatangan tentara Jepang tempo dulu, mereka adalah cahaya Asia.  Dia bagai sebuah surga yang dipaksakan turun ke Nusantara, namun kaku seperti poster di dinding kontrakan saya.

Orwell melalui Animal Farm sesungguhnya sedang membuat peringatan dini atas bahaya revolusi yang gegabah. Bagi saya, gagasan revolusi yang minim etika dan ugal-ugalan akan mengantarkan birahi kekuasaan pada tempat yang penuh pengkhianatan, licik tanpa martabat dan cenderung biadab.

Lagi, poster di dinding kontrakan ini masih diam, fasis dan komunis berkelindan dari atas ke bawah, dari bawah ke atas.  Seperti Orwell, lukisan ini bagai sebuah kisah panjang tentang Indonesia yang berubah, Indonesia yang penuh puja-puji, sekaligus caci-maki.  Dia bagai hujan yang menyejukkan, sekaligus terik yang membakar.

Tag:

Baca Juga

Kodaeral II akan menggelar berbagai kegiatan sosial menjelang peringatan Hari Ulang Tahun (HUT) ke-80 Tentara Nasional Indonesia (TNI) 2025.
Kodaeral II Akan Adakan Bakti Sosial hingga Pasar Murah Jelang HUT TNI ke-80
Mayor Jenderal Arief Gajah Mada yang akan dlantikan menjadi Pangdam XX/Tuanku Imam Bonjol
TNI Bakal Resmikan Kodam XX/Tuanku Imam Bonjol, Naungi Sumbar dan Jambi
Jokowi Tunjuk 9 Pansel KPK, Ada Dosen Hukum UNAND
Jokowi Tunjuk 9 Pansel KPK, Ada Dosen Hukum UNAND
Gubernur Sumbar Usulkan Pembangunan Flyover Lembah Anai ke Presiden
Gubernur Sumbar Usulkan Pembangunan Flyover Lembah Anai ke Presiden
Jokowi mengatakan, bahwa akibat bencana banjir bandang yang melanda Sumbar beberap waktu lalu, menyebabkan 625 rumah warga mengalami
159 Rumah Rusak Berat Akibat Banjir di Sumbar, Jokowi: Ada 100-an Sudah Setuju untuk Relokasi
Arfi Bambani Amri
Selamat Tinggal Prabowo, Jokowi