Langgam.id - Seorang remaja di Kota Payakumbuh, Sumatra Barat, Zahira (14) menyampaikan curahan hatinya soal kondisi sang ibu bernama Nur Amira (36), yang terancam dideportasi ke Malaysia terkait masalah kewarganegaraan.
Zahira menceritakan permasalahan yang dihadapi sang ibu dalam sebuah surat yang ditulis pada 24 September 2025 dan ditujukan kepada Kepala Kantor Imigrasi Agam.
Dalam surat itu, siswi SMPN 1 Situjuah Limo Nagari, Limapuluh Kota itu mengungkapkan bahwa ibunya sebelumnya sudah pernah dideportasi ke Malaysia pada 2024 lalu dan kini kembali terancam dideportasi kedua kalinya.
"Ibu saya Nur Amira pada bulan Oktober 2024 dideportasi ke Malaysia karena memiliki paspor Malaysia tahun 1996 dan akta lahir Malaysia," ujar Zahra dalam surat yang ditembuskan ke Menteri Imigrasi dan Pemasyarakatan dan Perwakilan Ombudsman RI Provinsi Sumatra Barat.
Ia menjelaskan, bahwa setelah dideportasi ke Malaysia, ibunya hendak mengurus dokumen ke Jabatan Pendaftaran Negara (JPN). Namun data atau identitas ibunya tidak ditemukan.
Hal ini terjadi, kata Zahira, karena ibunya sudah 30 tahun meninggalkan Malaysia dan tinggal di Indonesia karena dibawa neneknya yang menikah lagi dengan orang Indonesia, hingga ibunya memiliki KTP dan KK Indonesia.
"Ibu saya pernah menikah secara sah dengan orang Indonesia dan memiliki satu orang anak yaitu saya Zahira," ucapnya.
Zahira menambahkan, bahwa setelah menunggu pihak JPN memberikan kabar, ibunya ditangkap oleh pihak Imigrasi Malaysia karena tidak memiliki dokumen Malaysia. Ibunya pun dipenjara selama dua bulan di Penjara Kajang Malaysia.
"Ibu saya sudah mengatakan kalau ibu saya baru dideportasi dari Indonesia, paspor asli ditahan pihak Imigrasi bandara Malaysia saat kedatangan ibu saya. Akan tetapi pihak imigrasi sudah mengecek dokumen ibu saya tetap tidak ditemukan," bebernya.
Usai dua bulan dipenjara, kata Zahira, ibunya diusir dari Malaysia menggunakan SPLP dari KJRI Johor Bahru Malaysia dengan biometrik.
Setelah tiba di Indonesia, Zahira bisa kembali berkumpul dengan ibu tercinta selama lebih kurang lima bulan. Namun pihak imigrasi mengetahui kedatangan ibunya lalu. Lalu pihak imigrasi melihat SPLP ibunya yang sah dari KJRI, maka kasus ibunya ditutup.
"Ibu saya disuruh ke Capil untuk mengaktifkan KTP ibu saya kembali. Sampai ibu saya di Capil, ibu saya disuruh meminta surat keterangan WNI ke pihak Imigrasi Agam," tutur Zahira.
Di kantor Imigrasi Agam, kata Zahira, SPLP ibunya ditahan karena dituduh menggunakan SPLP secara tidak sah. Pihak Imigrasi Agam menyebutkan bahwa SPLP ibunya harus diverifikasi dulu ke pihak KJRI Johor Bahru.
Kemudian, kata Zahira, setelah hampir dua minggu, ibunya dihubungi oleh pihak Imigrasi untuk datang ke kantor tersebut.
"Ibu saya diberikan surat pembatalan SPLP dari KJRI Johor Bahru Malaysia, dan saat itu juga ibu saya di BAP dan ditahan di ruang detensi Imigrasi Agam sampai saat ini tanpa ada surat Berita Acara Penahanan dan alasan penahanan," ungkap Zahira.
Di akhir suratnya, Zahira meminta pihak Imigrasi Agam untuk tidak mendeportasi ibunya karena ia masih sekolah dan sangat membutuhkan ibundanya.
"Karena hanya ibu saya yang dari saya lahir membesarkan diri saya seorang diri. Ayah saya tidak pernah bertanggung jawab terhadap saya dari lahir," ujarnya.
"Kalau ibu saya dideportasi lagi, saya akan terlantar dan masa depan saya akan hancur serta ibu saya akan kehilangan pekerjaan," sambung Zahira.
Ia pun meminta pihak Imigrasi Agam untuk memberikan izin tinggal untuk ibunya di Indonesia karena sang ibunda tidak seorang kriminal. (*/y)