Oleh: Muhamad Hafidz Ar Rizki
Judul ini terinspirasi dari novel berjudul “Robohnya Surau Kami”, karya A.A. Navis. Bedanya, yang rubuh dan hancur di sini bukanlah surau kami, melainkan harapan kami memperoleh dosen Gen-Z yang catchy dan sefrekuensi. Sayang sekali, mereka mundur sebelum sempat menjejakkan kaki di gerbang kampus.
Mengutip kumparan.com, sebanyak 714 calon pegawai negeri sipil (CPNS) Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Kemendiktisaintek) mengundurkan diri. Dari jumlah tersebut, 61 di antaranya dianggap mengundurkan diri lantaran tidak mengisi daftar riwayat hidup (DRH) sampai batas waktu yang ditentukan, sementara 653 lainnya mundur dengan berbagai alasan. Pengumuman Kemendiktisaintek nomor 5590/A.A3/KP.01.01/2025 menyebutkan, dari 714 CPNS yang mengundurkan diri, sebanyak 628 CPNS berasal dari formasi dosen.
Bertahun-tahun mencoba masuk formasi, setelah lulus, malah mengundurkan diri. Kira-kira begitulah realitas yang terjadi saat ini. Di saat ribuan orang berjuang mendapatkan 18 digit NIP untuk dicantumkan di bawah namanya, banyak di antaranya malah memilih mundur, turun dari pentas. Mengherankan, bukan? Bukankah ini yang dicari-cari Gen-Z saat ini? Bukankah ini yang didamba-damba para pegawai baru hingga lama? Lantas, mengapa kejadiannya seperti ini?
Rasanya, dulu menjadi seorang pegawai negeri sipil adalah satu hal yang diidamkan banyak orang. Yang muda, yang tua, orang desa, orang kota, semua bermimpi sama: jadi abdi negara. Walau dengan segudang aturan, regulasi begitu begini dan larangan foto berpose dua jari, seragam coklat dan lambang Korpri itu tetap menjadi idaman. Setidaknya untuk beberapa waktu lalu. Tapi kini, tren sepertinya sudah berubah. Bukan hanya velocity, tapi juga mengundurkan diri.
Saya pernah bertanya kepada kawan-kawan saya yang pernah mendaftar menjadi calon abdi negara ini. Saya menanyakan alasan mereka ikut tes, berhitam-putih bersama jutaan pesaing lainnya untuk menyandang status tiga huruf itu. Alasannya mulai dari disuruh orang tua, coba-coba, gabut, hingga benar-benar niat menjadi PNS. Meski demikian, tak sedikit juga yang skeptis, menolak mentah-mentah tawaran ini. Alasannya, “Nanti kalau punya anak, UKT-nya mahal, enggak bisa dapat beasiswa pula.” Ucap salah seorang teman.
Alasan Mengundurkan Diri
Beragam alasan para calon mantu idaman mama papa ini mengundurkan diri. Kalau kata Pak Sekjen Kemendiktisaintek, alasan utamanya karena penempatan yang tak sesuai dengan keinginan mereka. Padahal, di awal pendaftaran mereka mengisi persetujuan untuk bersedia ditempatkan di mana saja, di seluruh penjuru nusantara. Saat sudah diterima? *tringg, *menghilang*. Sepertinya, para CPNS ini harus belajar dari guru Matematika; walau panas terik, hujan badai, angin ribut, mau di manapun dan kapan pun, tetap datang juga. Pantang menyerah walau satu langkah.
Perihal penempatan, memangnya apa salahnya ditempatkan jauh dari rumah? Toh bukannya bekerja juga untuk menghidupi anak dan orang rumah? Bukankah status PNS itu yang menjanjikan hidup layak dan sejahtera? Para CPNS ini, seharusnya bersyukur. Kan sudah diterima, hanya tinggal menunggu pengangkatan saja, to? Di luar sana, masih sangat banyak pegawai yang belum berkesempatan mengecap status pegawai tetap pemerintah ini. Masih banyak dari mereka yang berstatus sebagai pegawai honorer, dibayar perjam, dengan tambahan potongan ini itu.
Apalagi yang mendaftar pada formasi dosen di Kemendiktisaintek. Wah, hilang sudah harapan para mahasiswa mendapat dosen-dosen tetap Gen-Z yang satu frekuensi. Bagaimana tidak, selama ini, dosen-dosen senior masih mendominasi kampus, mengisi ruang-ruang kelas dengan “harus pakai teori ini, dengan metode ini, dari buku ini”. Sementara, mahasiswa saat ini lebih membutuhkan dosen yang catchy, sefrekuensi, dan menghidupkan ruang-ruang kelas dengan diskusi, bukan hanya sekadar berkutat dengan teori.
Hal ini menuai beragam tanggapan dari para warganet yang budiman di X. Ramai yang menghujat, tak sedikit juga yang mendukung. Seperti yang dikatakan oleh akun @achmadnaxxx, “jika tidak niat jadi pegawai, mestinya dari awal saja agar kuota bisa dipakai oleh yang membutuhkan. Jika begini, kan mubadzir”. Begitu juga dengan komentar dari @anovaxxx “…nama lu aje “abdi negara”, kalo gakmau ngabdi lu kerja swasta, jd entrepreneur! Susah emang mental bobrok!”.
Meski demikian, banyak juga yang justru mendukung langkah para CPNS ini untuk mengundurkan diri. Seperti cuitan dari @jonixxx, “udah bener, nggak cocok mundur ketimbang main suap-nepotisme”, yang menyoroti maraknya kasus orang dalam pada proses seleksi abdi negara ini. Lalu cuitan dari @arlandixxx, “sebelum salahkan yang mengundurkan diri, coba cek gaji dan tunjangan mereka untuk hidup ‘di mana saja’ itu bagaimana”. Ternyata, penempatan bukan satu-satunya alasan. Kecilnya tunjangan juga menjadi alasan lain di balik fenomena mundur berjamaah ini.
Netizen tak hanya ribut perkara CPNS yang mundur, ada juga yang mengembalikan hal ini kepada pemerintah. “gaji 2.3 sok-sokan evaluasi, kementerian para b**ingan” ucap @pandamxxx. Ungkapan senada juga diucapkan oleh @luqmanxxx, “tinggal nunggu presiden dan wakilnya kapan mundur, alasannya juga sama. Gk siap ditempatkan di ibukota baru. IKN”. Kalau dipikir-pikir, memang ada benarnya juga. Toh, apakah pemerintah sendiri siap jika ditempatkan di posisi mereka? Seharusnya, memang pemerintah dan sistemnya dahulu yang dibenahi, baru para CPNS yang melamar di berbagai formasi.
Sebuah renungan, mau sampai kapan kita menuruti ego dan keinginan diri sendiri? Segalanya harus kehendak pribadi, sesuai dengan kemauan diri, bukan kemampuan diri. Tuhan sudah memilih kita di antara jutaan pesaing lainnya yang memperebutkan formasi yang sama, tapi malah kita lepas begitu saja.
Kepada Bapak/Ibu CPNS yang terhormat, kesempatan tak datang dua kali. Kemenangan dan keberhasilan itu milik mereka yang mau mengambil kesempatan dan mencari jalan. Ada jutaan orang yang berjuang dengan tujuan yang sama. Membawa asa dan cinta dari keluarga, agar kompor mereka tetap bisa menyala. Tapi ternyata, tak sedikit yang mengkhianati keberhasilan dan kesempatan itu. Berjalan di antara tangisan kekecewaan dan keputusasaan mereka yang gugur.
Semoga di hari esok, kampus punya dosen-dosen yang profesional dan benar-benar mau mengajar. Siap dengan segala serba-serbi dan hiruk-pikuknya, juga dengan segala halangan dan rintangan yang ada. Mahasiswa butuh dosen-dosen yang bertekad membangun institusi pendidikan yang hampir roboh, dari maraknya oknum yang menggerogoti institusi pendidikan itu sendiri. (*)
Muhamad Hafidz Ar Rizki, mahasiswa UIN Imam Bonjol Padang