Tragedi Hukum Idham Rajo Bintang dan Hotel Maninjau Indah, “Rumah Sudah, Tukang Dibunuh”

Penulis: Arief Paderi

Bisikan profetik dari seorang pengusaha pada tahun 1973 itu ternyata bukan sekadar paranoia, melainkan ramalan yang akhirnya menjelma menjadi otobiografi hidup sang pembisiknya sendiri. Idham Rajo Bintang—nama yang kini tercatat dalam sejarah sebagai bukti bahwa di negeri ini, pepatah kuno tentang raja yang membunuh tukangnya setelah istana selesai bukanlah dongeng belaka, melainkan praktik birokrasi modern dengan kemasan yang lebih sopan.

Idham, putra Maninjau yang dipanggil pulang dari Jakarta oleh sang Gubernur dengan janji-janji manis pembangunan daerah, justru menutup mata pada 2018 dengan luka birokrasi yang tak pernah sembuh. Ia pergi dengan satu pertanyaan besar yang tak pernah terjawab: mengapa negara begitu piawai menciptakan labirin hukum yang hanya bisa ditembus oleh mereka yang memiliki kekuasaan?

Kisah ini bermula dari drama klasik yang dibungkus sebagai "kebijakan pembangunan daerah." Pada 1972, Gubernur Sumatera Barat dengan gagah berani mengundang Idham, pengusaha sukses di ibukota, untuk "pulang membangun kampung." Sebuah undangan yang terdengar mulia, tapi ternyata menyimpan ironi yang sempurna.

Melalui surat resmi No. 200/Bpp-IX/1972, Gubernur Sumatera Barat memperkenalkan Idham kepada Badan Pariwisata Daerah Kabupaten Agam sebagai "penyelamat" yang akan menyulap tepi Danau Maninjau menjadi surga pariwisata. Sebuah drama pembangunan dengan pemain utama yang tak menyadari bahwa ia telah dicast untuk peran tragis.

Dengan semangat membangun negeri yang belum ternoda oleh pengalaman pahit, Idham memulai proyek di tanah ex kompleks Perusahaan Daerah Telaga Biru Maninjau seluas 1,5 hektar. Namun, ia sadar betul pentingnya kepastian hukum dalam negeri yang terkenal dengan biropatologi kreatifnya. 

Pada 4 April 1973, ia mengajukan permohonan Hak Guna Bangunan (HGB) kepada Bupati Agam, sembari membisikkan kekhawatiran profetiknya di paragraf ke-empat surat itu: "Rumah Sudah, Tukang Dibunuh". Sebuah kalimat yang ironisnya, bukan sekadar paranoia pengusaha berpengalaman, melainkan premonisi yang nantinya akan menjadi epitaf bagi perjuangan hidupnya sendiri. 

Siapa sangka bahwa pepatah yang biasanya hanya hidup dalam dongeng-dongeng kekejaman raja zaman dahulu ini, akan menjadi autobiografi sempurna dari seorang putra daerah yang dipanggil pulang hanya untuk kemudian dikhianati.

Menanggapi permohonan tersebut, pada tanggal 21 April 1973, Bupati Agam menerbitkan Surat Keputusan Bupati Kepala Daerah Kabupaten Agam Nomor 8/SP/BA/1973 yang memberikan hak pakai atas tanah Pemerintah Daerah Agam, yaitu ex kompleks Perusahaan Daerah Telaga Biru Maninjau seluas 1,5 hektar kepada Idham Rajo Bintang untuk pembangunan sarana Proyek Pariwisata Maninjau Indah. Awalnya masa sewa ditetapkan hanya 5 tahun, namun pada tanggal 11 Juli 1973, Bupati Agam menerbitkan SK Nomor 27/SP/BA/1973 yang merevisi jangka waktu hak pakai menjadi 25 tahun.

Dan di sinilah letak komedi absurd dari birokrasi kita dimulai. Tak puas dengan sekadar hak pakai—yang tentu saja tak memberikan kepastian apa-apa—Idham mengajukan permohonan HGB kepada Gubernur Sumatera Barat pada Agustus 1974. Sebuah langkah yang kelak akan menjerat lehernya sendiri di labirin birokrasi yang ia coba navigasi.

Permohonan tersebut dikabulkan dengan dua Surat Keputusan Gubernur pada November 1974—sebuah "kemurahan hati" yang ternyata hanyalah pintu masuk ke penderitaan birokrasi yang tak berujung. SK Nomor DA/25/HGB/2539/III/3B/74 dan DA/26/HGB/2538/III/3B/74 secara resmi memberikan Idham HGB atas tanah seluas 747 m² dan 1.645 m². Dokumen-dokumen ini dengan tegas menyatakan bahwa tanah tersebut adalah "tanah Negara bebas" dan "bukan tanah yang dikuasai langsung oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Agam."

Begitulah, serangkaian stempel dan tanda tangan yang menghasilkan dua lembar kertas—yang kelak akan menjadi sia-sia di hadapan permainan kekuasaan yang jauh lebih kuat dari segala kepastian hukum.

Ode untuk Birokrasi yang Menelan Korbannya Sendiri

Tahun 1996 menjadi babak baru dalam saga kekecewaan ini. Seperti adegan yang sudah tertulis dalam naskah tragedi klasik, muncullah antagonis bernama Syafril—Kepala Bank Bukopin Cabang Padang—yang dengan bantuan Camat Tanjung Raya, menciptakan sebuah mahakarya kecurangan: peralihan hak atas objek jaminan kepada dirinya pribadi melalui Akta Jual Beli.

Inilah contoh sempurna bagaimana sistem yang seharusnya melindungi justru menjadi alat untuk merampas. Bagaimana selembar kertas bermeterai dapat menghapus hak yang telah dijamin oleh hukum. Bagaimana tangan besi birokrasi dapat mencekik bahkan mereka yang telah dianggap "anak emas pembangunan."

Idham, dengan keyakinan naif pada keadilan, memulai pertarungan hukum yang akan memakan waktu hingga akhir hayatnya. Mahkamah Agung, melalui Putusan Nomor 1400 K/PDT/2001, mengembalikan hak yang telah dirampas. Namun, seperti yang sering terjadi di republik ini, putusan hakim tertinggi ternyata hanyalah tinta di atas kertas yang tak bermakna di hadapan arogansi birokrasi.

Para tergugat dan turut tergugat dengan gagah berani mengabaikan perintah pengadilan—sebuah tamparan keras pada wajah sistem hukum kita. Mereka begitu yakin bahwa tidak ada konsekuensi nyata bagi pembangkangan terhadap putusan pengadilan.

Tahun 2008, Idham kembali menggugat, kali ini atas ketidakpatuhan terhadap putusan sebelumnya. Kemenangan kembali diraih melalui Putusan MA Nomor 1135 K/PDT/2010. Sebuah "kemenangan" yang hanya ada di atas kertas, karena BPN Kabupaten Agam—dengan kebijaksanaan birokrasi yang mengagumkan—tetap menolak untuk mengalihkan hak.

Bapak Birokrasi Memakan Anaknya Sendiri

Berkali-kali sejak 2003 hingga 2018, Idham memohon, meminta, bahkan memelas kepada BPN Agam untuk mengalihkan hak sesuai putusan pengadilan. Namun, seperti Sisifus yang dikutuk untuk mendorong batu ke puncak gunung selamanya, usaha Idham selalu berakhir sia-sia.

Tahun 2010, ia mengajukan permohonan peralihan hak berdasarkan putusan MA 2001—tidak ditindaklanjuti. Tahun 2015, setelah menerima sertifikat, ia kembali mengajukan permohonan—diabaikan hingga masa berlaku HGB berakhir pada Maret 2016. November 2017, sebuah permohonan terakhir diajukan—tetap tanpa jawaban hingga Idham menutup mata pada 2018.

Inilah salah satu contoh paling elegan dari apa yang disebut "pembunuhan karakter birokratis"—sebuah seni membunuh tanpa darah, mencekik tanpa meninggalkan bekas, merampas hak tanpa perlu melanggar hukum. Cukup dengan tidak melakukan apa yang seharusnya dilakukan.

Keagungan Hukum yang Ditelanjangi

Dalam jawaban klarifikasi BPN Agam pada 20 Maret 2025 melalui surat nomor HP.03/164-13.06/III/2025, BPN beralasan bahwa karena jangka waktu HGB telah berakhir tanggal 22 Maret 2016, maka balik nama kembali kedua sertifikat tersebut dari atas nama Syafril SE menjadi atas nama Idham Rajo Bintang tidak dapat dilaksanakan.

BPN juga menyimpulkan bahwa status tanah yang diberikan HGB kepada Idham Rajo Bintang adalah tanah Pemerintah Daerah Agam yaitu bekas komplek Perusahaan Daerah Telaga Biru Maninjau seluas 1,5 Ha yang diberikan Izin Pakai kepada Idham Rajo Bintang selama 25 tahun dengan kewajiban membayar sewa kepada Pemerintah Kabupaten Agam.

Kesimpulan ini jelas merupakan kesalahan interpretasi hukum yang sangat fundamental terhadap bukti-bukti formal yang ada. Bagaimana mungkin BPN mengabaikan kedua Keputusan Gubernur Kepala Daerah Provinsi Sumatera Barat Nomor DA-25/HGB/2359/III/JB/74 dan Nomor DA-26/HGB/2338/III/JB/74 tertanggal 29 November 1974 yang memberikan Hak Guna Bangunan kepada Idham Rajo Bintang?

Kedua Keputusan Gubernur tersebut secara tegas menyatakan pada bagian diktum PERTAMA: "Menegaskan bahwa tanah yang terletak di Kenegerian Maninjau, Kecamatan Tanjung Raya, Kabupaten Agam, Propinsi Sumatera Barat seluas 747 M² (dan 1645 M²)... adalah tanah Negara bebas dan dikuasai langsung oleh Negara terhitung mulai tanggal surat keputusan ini."

Alasan lain yang dikemukakan BPN adalah adanya klaim dari Kerapatan Adat Nagari (KAN) Maninjau yang mengklaim kepemilikan atas kedua bidang tanah tersebut sebagai tanah ulayat Nagari Maninjau.

Sungguh menggelikan! Terdapat kontradiksi dalam posisi Kantor Pertanahan Kabupaten Agam yang di satu sisi menyatakan bahwa objek sengketa merupakan aset Pemerintah Kabupaten Agam, namun di sisi lain juga mengakomodasi klaim Kerapatan Adat Nagari (KAN) Maninjau bahwa objek tersebut adalah tanah ulayat nagari. Secara logika yuridis, kedua klaim tersebut tidak mungkin benar secara bersamaan.

Klaim KAN Maninjau sebagaimana dimuat dalam surat Nomor 25/KAN-MIN/II/2020 tertanggal Februari 2020 tidak memiliki landasan hukum yang kuat karena diajukan pada tahun 2020, jauh setelah penerbitan HGB tahun 1974 dan perpanjangannya tahun 1995, serta setelah Putusan Mahkamah Agung yang telah berkekuatan hukum tetap tahun 2003 dan 2010.

Menghancurkan Iklim Investasi dengan Keanggunan Birokratis

Kasus Idham bukan sekadar tragedi individual, melainkan cermin buram dari iklim investasi kita. Bagaimana mungkin investor berani menanam modal jika kepastian hukum bisa diterbangkan begitu saja oleh angin birokrasi? Bagaimana mungkin perantau mau membangun daerahnya jika yang menunggu di penghujung jalan adalah pengkhianatan berbalut stempel resmi?

Kerugian finansial, hilangnya potensi pendapatan, tertundanya pengembangan investasi, terhambatnya kontribusi terhadap PAD, dan hilangnya potensi lapangan kerja—semua ini hanyalah "kerusakan kolateral" dari sebuah sistem yang lebih mengutamakan ego institusional daripada pembangunan nyata.

Panggilan untuk Keadilan, atau Setidaknya Kesadaran Diri

Yang terjadi pada Idham adalah manifestasi sempurna dari ketidakberdayaan warga negara di hadapan birokrasi yang keras kepala. BPN Kabupaten Agam, dengan segala keanggunannya, telah melakukan perbuatan melawan hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 1365 KUH Perdata—sebuah prestasi tersendiri dalam dunia birokrasi.

Berdasarkan asas non-venire contra factum proprium, seseorang tidak boleh mengambil keuntungan dari kesalahannya sendiri. Namun, inilah justru yang dilakukan BPN: menggunakan daluwarsa HGB—yang terjadi akibat kelalaian mereka sendiri—sebagai alasan untuk tidak memproses peralihan hak.

Alih-alih menjadi fasilitator pembangunan, BPN justru bertransformasi menjadi obstruktor terkemuka. Alih-alih menegakkan hukum, BPN menciptakan ketidakpastian hukum dengan keahlian yang mengagumkan. Alih-alih memberikan kesejahteraan, BPN dengan efektif menghancurkan potensi ekonomi daerah.

Idham Rajo Bintang memang telah tiada. Namun, kisah ketidakadilan yang dialaminya menjadi monumen abadi bagi keindahan birokrasi kita. "Rumah Sudah, Tukang Dibunuh" kini bukan lagi pepatah kuno, melainkan slogan tak resmi yang mengancam setiap investor yang berani bermimpi membangun negeri ini.

Sang tukang memang telah pergi, namun gema ketidakadilan masih bergaung di lorong-lorong birokrasi Sumatera Barat. Mungkin inilah yang namanya "warisan budaya" dalam konteks modern—tradisi mengorbankan sang tukang setelah bangunannya selesai, kini dengan stempel resmi dan memorandum berlaminasi.

Arief Paderi
Kuasa Hukum Ahli Waris Idham Rajo Bintang, dan Managing Director Firma Hukum Pragma Integra

Baca Juga

Kakak-Adik di Solok Berebut Rumah Berujung Dibakar, 2 Balita Nyaris Jadi Korban
Kakak-Adik di Solok Berebut Rumah Berujung Dibakar, 2 Balita Nyaris Jadi Korban
Sebanyak 75 ton ikan-ikan yang dibudidaya oleh petani keramba jaring apung (KJA) di Danau Maninjau, Agam, mati. Jumlah ikan yang mati
75 Ton Ikan KJA di Danau Maninjau Mati, Kerugian Rp1,8 Miliar
Langgam.id - Bupati Kabupaten Agam, Andri Warman mengungkapkan keinginannya terkait pengelolaan Keramba Jaring Apung (KJA) di Danau Maninjau.
Mantan Anggota DPR RI Taslim Soroti Keramba Jaring Apung yang Rusak Keindahan Danau Maninjau
Banjir Bandang Landa Kabupaten Agam, Belasan Rumah Terdampak
Banjir Bandang Landa Kabupaten Agam, Belasan Rumah Terdampak
Tokoh-tokoh Besar Salingka Danau Maninjau di Panggung Sejarah Indonesia
Tokoh-tokoh Besar Salingka Danau Maninjau di Panggung Sejarah Indonesia
Dua nagari di sekitar Danau Maninjau, Kecamatan Tanjung Raya, Kabupaten Agam, dilanda banjir dan longsor disertai pohon tumbang,
Berikut Rekapitulasi Data Dampak Bencana di Tanjung Raya Agam