Di tengah deru mesin kecerdasan buatan yang melaju tanpa henti, masih ada segelintir orang yang memilih jalan sunyi. Mereka membaca, menulis, dan berpikir; ikhtiar yang nyaris tak terdengar dalam bisingnya era informasi. Ketika segalanya diukur dengan anggaran dan efesiensi, jalan itu tetap dilalui oleh mereka yang meyakini, nilai dan makna tak selalu ditakar. "Tidak semua bisa dihitung itu, bisa diperhitungkan; tidak semua pula semua yang diperhitungkan, bisa dihitung," begitu kira-kira quote dari Albert Enstien sering dikutip.
Itulah semangat yang dihidupkan kembali dalam Student Literacy Camp (SLC) 2025, yang digelar pada 9–16 April di Kampus UIN Imam Bonjol Padang. Sebanyak 40 mahasiswa terpilih mengikuti program SIBac-sip (Student of Imam Bonjol Academic Community – Smart Internship Program), sebuah inisiatif yang bukan hanya melatih keterampilan praktis, tetapi juga menyalakan ulang ruh akademik yang mulai meredup di banyak institusi pendidikan tinggi.
Menurut Prof. Welhendri Azwar, Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan dan Kerja Sama, program ini adalah bentuk ikhtiar sunyi kampus dalam menjaga api intelektual di tengah gelombang pragmatisme pendidikan tinggi. Di saat banyak kampus berlomba-lomba menjanjikan program instan untuk cepat kerja, UIN Imam Bonjol justru memilih jalan panjang: membentuk intelektualitas yang tangguh dan reflektif.
SLC bukan sekadar lokakarya menulis. Ia adalah bagian dari mekanisme seleksi mahasiswa untuk program pengabdian dan pengayaan akademik ke luar negeri. Tahun lalu, 20 dari 40 peserta diberangkatkan ke Sydney dan Istanbul. Tahun ini, cakrawala diperluas dengan menjadikan Uzbekistan sebagai destinasi baru—negeri yang menyimpan jejak para ilmuwan besar dunia Islam seperti Imam Bukhari, Al-Khwarizmi, hingga Ibnu Sina. Perjalanan ini bukan sekadar wisata akademik, tetapi sebuah pencarian jati diri ilmiah yang bersandar pada akar sejarah peradaban.
Sejak digagas pada 2023, SLC dirancang dengan keyakinan bahwa menulis adalah cara merapikan pikiran. Di tengah dunia yang serba cepat dan instan, menulis menjadi bentuk perlawanan sunyi. Bukan hanya terhadap algoritma, tapi terhadap kejumudan berpikir. SLC menjadi ruang pelatihan intensif bagi mahasiswa semester II dan IV. Mereka belajar menyusun argumen, mengutip dengan benar, mengolah data, serta menulis dengan presisi. Dalam prosesnya, mereka dilatih bukan untuk jadi pengikut tren, tapi pembangun gagasan.
Ironisnya, di tengah melimpahnya akses informasi, generasi muda justru tenggelam dalam distraksi. Menurut riset internal, rasio konsumsi informasi dari media sosial dibanding buku dan jurnal ilmiah mencapai 7:1. TikTok dan Instagram kini menjadi rujukan tugas kuliah. Ini bukan lagi soal selera media, melainkan krisis orientasi berpikir. Imajinasi dikurung dalam logika tren dan viralitas. Dalam lanskap seperti ini, latihan menulis yang manual, berbasis data, dan terstruktur menjadi semacam latihan kontemplatif. Ia membentuk kesabaran, ketelitian, dan kedalaman—atribut yang makin langka di tengah riuhnya konten digital.
SLC 2025 menghadirkan narasumber dari Universitas Negeri Padang seperti Dr. Reno Fernandes, Dr. Firdaus, serta Dewan Redaksi Langgam.id, Hendra Makmur. Sementara dari internal UIN Imam Bonjol hadir nama-nama seperti Dr. Abdullah Khusairi, Muhammad Taufik, Winbaktianur, Renggi Vrika, Dr. Sermal, dan Dr. Subhan Azim. Para instruktur tak sekadar memberi materi, tapi mendampingi langsung proses penyuntingan tulisan, membaca data, hingga menautkan perspektif ke dalam realitas.
Hasilnya mulai terlihat. Mahasiswa peserta kini percaya diri mengirimkan tulisan ke media lokal papan atas dan jurnal akademik. Mereka juga aktif di UKM Bengkel Kata, menjadi editor jurnal, hingga asisten peneliti dosen. Sebuah gerakan senyap, namun berpengaruh nyata.
Menulis adalah jalan sunyi melawan budaya layar yang serba cepat dan dangkal. Ia bukan keterampilan semata, tapi latihan berpikir yang mendalam. Di tengah kampus yang kian menyerupai pabrik gelar, literasi adalah salah satu benteng terakhir peradaban. Ketika mahasiswa belajar menulis, sejatinya mereka belajar berpikir. Ketika diminta mencari sumber, mereka dilatih skeptis. Ketika menyusun argumen, mereka sesungguhnya sedang ditantang untuk memahami dunia, bukan sekadar mengulangnya.
Di dunia yang makin datar dan dangkal, mahasiswa yang mampu berpikir kritis, menyampaikan gagasan secara jernih, dan menulis dengan presisi adalah aset yang tak tergantikan. Mereka adalah pemikir masa depan—yang menulis dalam diam dan berpikir dalam sunyi.
Sebab dari kesunyian itulah, tapak-tapak peradaban dibangun. Bukan lewat sorak-sorai panggung motivasi, tetapi dari ruang-ruang kecil tempat ide diuji dan makna dilahirkan. Sayangnya, menulis dengan serius, mendalam, adalah jalan orang-orang memang selalu sedikit dan sepi. Salam. []
Dr. Abdullah Khusairi, MA adalah Dosen Literasi Media Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi
UIN Imam Bonjol Padang