Langgam.id - Tingkat hunian atau okupansi hotel yang ada di Sumatra Barat (Sumbar) mengalami penurunan di tahun 2019. Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Sumbar mengklaim, penurunan itu telah terjadi sejak tahun 2018.
Ketua PHRI Sumbar, Maulana Yusran, mengatakan salah satu penyebab penurunan okupansi hotel diakibatkan faktor mahalnya harga tiket pesawat. Dari periode dua tahun tersebut, penurunan terjadi mencapai 15 persen.
"Tingkat hunian dibandingkan dua tahun lalu mengalami penurunan. Tak terlalu baik. Sejak tahun 2018 sudah terjadi penurunan, di 2019 terjadi hal yang sama. Faktor pertama karena tiket pesawat mahal," kata Maulana, saat dihubungi langgam.id, Selasa (31/12/2019).
Ia mengungkapkan, di tahun 2017 okupansi hotel bisa mencapai 90 persen. Namun sejak tiket pesawat mahal, membuat momen hari penting seperti Lebaran, Natal serta tahun baru tidak berpengaruh terhadap hunian hotel.
"Biasanya Lebaran dan tahun baru kita selalu bicara ekstra flight, sekarang tidak (karena tiket mahal). Kemudian kita cuma bergantung dengan jalur darat, walaupun masih ada yang datang dari provinsi tetangga tapi karena cuaca dan longsor serta macet akses masuk ke Sumbar menjadi masalah juga," ujarnya.
Momen tahun baru ini, kata Maulana, biasanya peningkatan okupansi hotel akan mulai terjadi pada tanggal 22 Desember. Akan tetapi, di tahun 2019 ini, hal tersebut tidak ada kenaikan signifikan.
"Kita biasanya tahun 2017 ke bawah pasti tinggi, bahkan sampai 2 Januari okupansi cukup tinggi, kalau sekarang tidak. Malam jelang pergantian tahun mungkin ada peningkatan, tapi kita tidak hitung perharinya, momentum itu kita hitung mulai natal hingga tahun baru," jelasnya.
Meskipun mengalami penurunan secara keseluruhan, Maulana mengatakan, khusus di Kota Bukittinggi okupansi hotel selalu tinggi. Sebab, daerah tersebut menjadi salah satu tujuan wisatawan dari berbagai daerah.
Namun, katanya, oerband6 okupansi hotel di Bukittinggi sangat jauh berbeda dengan Kota Padang. Hal ini disebabkan karena perbandingan jumlah kamar hotel yang ada di antara dua daerah tersebut.
"Bukittinggi tetap menjadi destinasi masyarakat, tetap menjadi ikon. Cuman ada perbedaan, karena jumlah kamar terbatas di Bukittinggi makanya okupansi cukup tinggi. Misalnya Padang 2.000 kamar tapi di Bukittinggi hanya 1500 kamar," tuturnya. (Irwanda/HM)