Makan Bergizi Gratis untuk Character Building

Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang digagas Presiden Prabowo tampak semakin diseriusi. Meski awalnya sempat dilihat skeptis dan sebelah

Dosen UIN Imam Bonjol Padang, Dr Faisal Zaini Dahlan, MAg. (Foto: Dok. Pribadi)

Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang digagas Presiden Prabowo tampak semakin diseriusi. Meski awalnya sempat dilihat skeptis dan sebelah mata, tetapi tekad Prabowo untuk mengentaskan malnutrisi dan stunting terus berjalan progres.

Kebijakan efisiensi anggaran kementerian dan lembaga negara hingga Rp306 triliun, hampir sepertiganya dialokasikan untuk program ini (tempo.co/07/02/25). Prabowo sendiri bahkan turun langsung ke sekolah untuk memantau implementasinya.

Selain terkait soal stunting, proyek itu juga disebut bakal meningkatkan ekonomi hingga 2 persen lantaran menyerap hasil panen petani nelayan (voaindonesia.com/01/02/ 2025). Lebih dari itu, menurut Mendikdasamen Abdul Mu’ti, MBG juga sekaligus bagian pendidikan karakter.

Artinya, program ini tidak semata menyangkut urusan perut, tetapi juga otak dan hati, sehingga tercipta generasi yang sehat dan cerdas.

Belajar dari Negara Lain
Program semacam MBG ternyata sudah lama diterapkan di berbagai negara. Setidaknya sudah ada sepuluh negara di berbagai kawasan yang telah menerapkan dengan beragam model.

Mengutip detik.com (10/11/2024), Brasil adalah negara terdepan yang sejak 1940 sudah memulainya. Jaringan nasional dengan 8.000 ahli gizi menyediakan makanan bagi puluhan juta anak. Menariknya, minimal 30% makanan harus produk komoditi keluarga lingkungan sekolah.

Sedangkan Jepang sudah melaksanakan kyushoku ini sejak 2004 menyasar hampir semua siswa sekolah dasar dan menengah pertama. Uniknya, di sini siswa sendiri yang bertugas sebagai relawan, baik melayani siswa lain maupun menjaga kebersihan. Ini sekaligus menjadi sarana edukasi untuk membangun rasa tanggungjawab.

Negara dengan jumlah penduduk banyak pun seperti India telah menerapkan makan siang gratis bagi anak-anak. Pemerintah India tidak saja membidik sekolah, tetapi juga anganwadi (penitipan anak), madrasah, dan maktab.

Sementara negara dengan sistem pendidikan terbaik di dunia seperti Finlandia secara regulasi telah menjamin makan gratis sekolah pada Akta Pendidikan Dasar 1948, dan ini menjadi negara pertama di dunia. Bahkan beberapa kota justru sudah memulainya sejak awal abad 20.

Di sini, program tersebut menjadi alat pedagogi guru terkait materi kesehatan, nutrisi, serta perilaku dan budaya makan. Siswa juga turut berpartisipasi di kantin sekolah sebagai praktik working life yang dijadikan topik edukasi (kemdikbud.go.id/17/1/19).

Di Inggris, program ini sudah dikembangkan dengan standar yang sudah maju. Selain menu daging, unggas, atau ikan berkualitas tinggi, juga dilengkapi roti, sereal, atau kentang, dan sayur atau salad serta buah beragam.

Data-data ini selain membuktikan MBG sudah sejak lama diterapkan di berbagai negara, juga menujukkan dampak positif yang cukup kompleks dan sangat potensial diberdayakan untuk banyak agenda vital kemanusiaan.  

Makan dan Character Building
Harapan Mendikdasmen Abdul Mu’ti agar program MBG dipadukan dengan pendidikan karakter, patut digarisbawahi. Menurutnya, implementasi di lapangan menunjukkan berbagai nilai positif yang terintegratif.

Selain nilai-nilai disiplin, antre, tertib, bersih, mandiri, dan bertanggungjawab, juga menghindari perilaku mubazir, bahkan tenggang rasa, toleran, peduli sesama, dan kooperatif.

Secara konseptual MBG akan dipadukan pula dengan “Gerakan Tujuh Kebiasaan Anak Hebat”, yakni bangun pagi, beribadah, berolahraga, gemar belajar, makan makanan sehat dan bergizi, bermasyarakat, serta tidur cepat.  Pendek kata, MBG diharapkan mampu memberikan dampak positif tidak hanya pada kesehatan fisik, tetapi juga pada pembentukan sikap dan perilaku siswa. (dikdasmen.go.id/07/01/25)

Urgensitas character building atau penanaman nilai, sikap, dan perilaku positif kepada setiap individu, tentu tak terbantahkan. Apalagi, dalam konteks berbangsa bernegara hari ini dengan berbagai kasus moral dan etika yang tidak saja menjangkiti kalangan awam tak terdidik, tetapi juga elit dan kaum terpelajar. Bahkan, dekadensi moral dan nir etika meracuni elit agama yang sejatinya menjadi teladan.

Ibarat lingkaran setan, realitas menakutkan ini nyaris tak terbendung lantaran gagal memotong pangkal balanya. Salah satu upaya alternatif yang cukup logis adalah menelusuri dari hulunya, yakni soal makanan, sejak dari sisi material (kandungan), proses pengolahan, sumber, hingga cara mengonsumsinya. Dalam konteks itulah korelasi antara Makan Bergizi Gratis (MBG) dengan character building ini disigi.

Sebagai bangsa religius, tentu agama menjadi salah satu perspektif melihat korelasi antara makan dan karakter. Islam misalnya, sangat concern dengan makanan maupun cara makan. Tidak kurang 48 kali Al-Qur’an menyebut kata tha’am baik bermakna makanan maupun minuman.

Kata syaroba (minum) diulang sebanyak 39 kali, ghida’ (sarapan) 12 kali, maidah (hidangan) 5 kali, bahkan digunakan sebagai nama salah satu surat dalam Al-Qur’an (muhammadiyah.or.id/2024/03). Secara eksplisit dan tegas dalam surah ‘Abasa ayat 24 manusia diperintah mencermati makanannya. Kitab suci ini tidak saja mengenalkan kriteria halal sebagai aspek legal, tetapi juga thayyib (baik) sebagai aspek kualitas.

Kedua kriteria ini terkait erat dengan pembentukan karakter, aspek spiritual, moralitas, religiusitas, dan ketenteraman jiwa. Dalam konteks ini tidak berlebihan jika ada pandangan bahwa you are what you eat. 

Selain material, sumber, dan cara memperoleh makanan, Islam juga concern dengan pola konsumsinya. Larangan makan tergesa-gesa ternyata tidak semata berdampak buruk terhadap pencernaan, tetapi berakibat pada perilaku. Makan cepat cenderung berkolerasi dengan sifat tidak sabaran, impulsif, stress, reaktif, dan tidak menikmati suasana sosial. Sementara makan berlebih, selain buruk bagi pencernaan juga ekspresi perilaku mubadzir.

Nabi mengajarkan pola “makan ketika lapar, dan berhenti sebelum kenyang”. Lebih teknis lagi kata Nabi Saw, sepertiga lambung diisi zat padat, sepertiga zat cair, dan sisanya udara.

Imam Ghazali dalam Minhajul Abidin menyebut sepuluh bahaya makan berlebih, beberapa di antaranya terkait dengan karakteristik seperti hati menjadi keras dan cenderung berbuat dosa.

Kesediaan untuk berbagi makanan seperti dibiasakan Nabi Saw, ternyata mempengaruhi karakter sosial. Ditegaskan Nabi, "Tidaklah beriman kepadaku orang yang kenyang semalaman sedang tetangganya kelaparan, padahal ia mengetahuinya." (HR At-Thabrani).

Begitu pula kebiasaan makan bersama, sangat dianjurkan. Beliau berkata, “Berkumpullah kalian ketika makan dan sebutlah nama Allah SWT padanya, maka makanan kalian akan diberkahi” (Sunan Abu Dawud, IV: 38). Makan bersama ini ternyata cenderung membentuk pribadi supel dan altruisme.

Singkatnya, Program Makan Bergizi Gratis atau MBG sejatinya tidak semata bisa menjawab soal stunting dan gizi buruk. Tetapi, sekaligus mengantisipasi sikap, sifat, dan karakter busuk anak bangsa yang justru tak kalah mendesaknya. Semoga!

*Penulis: Faisal Zaini Dahlan (Dosen UIN Imam Bonjol Padang)

Baca Juga

Sumatera Barat, sebuah provinsi yang dikenal memiliki sejarah politik yang kaya dan beragam, selalu menunjukkan dinamika politik yang unik.
Efisiensi Anggaran: Strategi atau Ancaman bagi Pertumbuhan Ekonomi?
Simalakama Inpres 1/2025, Bagi Infrastruktur Daerah
Simalakama Inpres 1/2025, Bagi Infrastruktur Daerah
Janji Politik Mahyeldi - Vasko dan Janji Politik Mahyeldi Sebelumnya
Janji Politik Mahyeldi - Vasko dan Janji Politik Mahyeldi Sebelumnya
Sumatera Barat, sebuah provinsi yang dikenal memiliki sejarah politik yang kaya dan beragam, selalu menunjukkan dinamika politik yang unik.
Efisiensi APBD dan Tantangan Pertumbuhan Ekonomi Sumatera Barat
Opini “Bersyukur Masih Nomor Dua” oleh Gamawan Fauzi (Gubernur Sumatera Barat Periode 2005-2009), mengangkat isu tentang capaian pendidikan
Refleksi Kritis Pendidikan di Minangkabau
Jalan Tani di Kiri Kanan Tol: Solusi untuk Manfaat Maksimal bagi Masyarakat
Jalan Tani di Kiri Kanan Tol: Solusi untuk Manfaat Maksimal bagi Masyarakat