Langgam.id - Kementerian Kesehatan berupaya menemukan lebih banyak kasus tuberkulosis (TBC) dengan optimalisasi deteksi dini atau skrining.
Upaya ini sejalan dengan Program Hasil Cepat Terbaik (PHCT) atau Quick Win penanganan TBC yang dicanangkan oleh Presiden Prabowo Subianto.
Masyarakat yang tinggal di daerah padat penduduk menjadi sasaran utama dalam penemuan kasus TBC. Investigasi kontak juga dilakukan oleh tenaga kesehatan atau kader, dengan minimal delapan orang diperiksa untuk setiap kasus TBC yang ditemukan.
Sekretaris Ditjen Penanggulangan Penyakit, Yudhi Pramono, seperti yang dikutip InfoPublik Sabtu (1/2/2025), menjelaskan alasan pemilihan daerah padat penduduk sebagai fokus utama temuan kasus tuberkulosis.
"Daerah padat penduduk memiliki kepadatan orang yang tinggi dalam ruang terbatas. Kondisi ini meningkatkan kemungkinan penyebaran penyakit TBC, yang menular melalui udara saat seseorang yang terinfeksi TBC batuk atau bersin," kata Yudhi.
Kepadatan penduduk berkaitan erat dengan tingginya angka kasus TBC, karena kondisi lingkungan tempat tinggal yang berpotensi mendukung penyebaran penyakit, terutama terkait sirkulasi udara yang buruk.
Terdapat sebuah studi dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Muhammadiyah Jakarta, yang ditulis oleh Triana Srisantyorini dkk., menganalisis kejadian TBC di DKI Jakarta dari 2017 hingga 2019.
Yudhi mengatakan studi tersebut menyatakan bahwa kepadatan penduduk memiliki korelasi yang signifikan dengan peningkatan kasus TBC.
Kondisi ini terjadi karena kepadatan penduduk dapat mempercepat penularan penyakit melalui udara atau droplet, seperti TBC. Semakin padat suatu wilayah, semakin mudah kuman menyebar dan terhirup oleh banyak orang.
"Selain itu, kurangnya sirkulasi udara di daerah padat penduduk juga meningkatkan risiko infeksi dan mempercepat penyebaran penyakit," kata Yudhi.
Pemeriksaan TBC kini dapat dilakukan menggunakan metode Polymerase Chain Reaction (PCR), sebuah teknik yang mampu mendeteksi DNA Mycobacterium tuberculosis (MTB) secara in vitro.
Yudhi menegaskan bahwa PCR TBC memiliki sensitivitas tinggi dan menjadi metode diagnostik cepat untuk TBC paru. PCR juga dapat mendeteksi resistensi MTB, yang tidak bisa ditemukan melalui metode mikroskopis (Bakteri Tahan Asam/BTA).
"Cara kerja PCR TBC adalah dengan memperbanyak DNA secara enzimatis dan mendeteksi DNA Mycobacterium tuberculosis berdasarkan siklus termal," kata Yudhi.
Berdasarkan Surat Edaran (SE) Dirjen P2P Nomor HK.02.02/III.1/936/2021, Tes Cepat Molekuler (TCM) ditetapkan sebagai alat diagnosis utama untuk TBC di Indonesia.
Sebagai bagian dari Quick Win Kesehatan, pemerintah berkomitmen untuk menurunkan insidensi TBC dan meningkatkan deteksi dini melalui berbagai strategi, termasuk optimalisasi skrining di daerah padat penduduk untuk menemukan lebih banyak kasus TBC sejak dini.
Selain itu, juga dilakukan penguatan layanan diagnostik dengan teknologi PCR dan TCM yang lebih cepat dan akurat, serta percepatan penelitian inovasi diagnosa berbasis spesimen air liur guna mengatasi tantangan dalam pengambilan spesimen dahak.
"Serta investigasi kontak secara agresif, dengan minimal delapan orang diperiksa untuk setiap kasus TBC yang ditemukan," kata Yudhi.
Pemerintah menargetkan eliminasi TBC di Indonesia pada 2030, sejalan dengan target global WHO. Dengan strategi yang terintegrasi dan dukungan penuh dari tenaga kesehatan, kader, serta masyarakat, Indonesia semakin optimis dalam menekan angka kejadian TBC. (*/Yh)