Oleh: Habibur Rahman
Perilaku merendahkan orang lain dengan ejekan biasanya terjadi ketika seseorang tidak mampu membantah pendapat lawan melalui argumen rasional. Ejekan menjadi cara pintas untuk menutupi kelemahan diri sekaligus menyerang harga diri orang lain atau menyerang hal-hal yang sebenarnya telah lari dari konteks ataupun tema pembahasan.
Sikap ini muncul dari rasa frustrasi atau kegagalan dalam menghadapi perbedaan pendapat, termasuk dalam upaya mengajak orang lain pada kebaikan. Tindakan tersebut sering kali diwarnai dengan celaan kasar seperti, “Kamu bodoh, tidak mau diajak baik.”
Fenomena ini ditegaskan dalam Al-Qur’an, QS Al-Qashash [28]: 55, yang menyatakan bahwa perkataan buruk hanya berasal dari orang-orang bodoh. Kebodohan di sini bisa bersifat sementara, seperti saat seseorang sedang emosi, atau bisa juga menunjukkan kebodohan yang lebih mendalam sebagai ciri kepribadian.
Allah mengingatkan bahwa orang-orang yang cerdas dan berakhlak baik tidak akan merespons kebodohan dengan tindakan serupa. Mereka memilih untuk berpaling dengan cara yang elegan, sebagaimana dicontohkan dalam QS Al-Muzzammil [73]: 10: “Bersabarlah (Nabi Muhammad) terhadap apa yang mereka katakan dan tinggalkanlah mereka dengan cara yang baik.”
Kesabaran menjadi kunci dalam menghadapi hinaan dan makian. Hal ini juga menggambarkan optimisme bahwa penolakan seseorang terhadap kebaikan saat ini bisa berubah menjadi penerimaan di masa depan, bahkan jika bukan orang tersebut yang menerima, mungkin anak cucunya kelak.
Sebuah contoh inspiratif adalah ketika malaikat Jibril menawarkan Nabi Muhammad SAW untuk menimpakan gunung kepada penduduk Thaif yang menolak ajarannya. Nabi dengan penuh kesabaran menolak, seraya berharap bahwa keturunan mereka suatu saat akan beriman kepada Allah.
Kesabaran Nabi juga tercermin ketika berhadapan dengan ejekan dalam dialognya dengan delegasi Kristen Najran. Ketika argumen mereka kalah, mereka beralih pada ejekan, yang dijawab oleh Nabi dengan mengikuti perintah Allah dalam QS Ali 'Imran [3]: 20, yakni untuk tidak menanggapi mereka secara emosional. Tindakan Nabi menunjukkan bagaimana menghadapi ejekan dengan kepala dingin adalah refleksi dari kecerdasan emosional dan spiritual.
Dalam ilmu logika, perilaku menyerang pribadi lawan debat dikenal sebagai "argumentum ad hominem". Ini adalah bentuk kesesatan berpikir yang mencoba mendiskreditkan lawan dengan menyoroti sifat negatif pribadi mereka, bukan merespons argumen yang disampaikan, lebih lengkapnya bisa di dapatkan di dalam buku dari Fahruddin Faiz yang berjudul "Ihwal Sesat Pikir dan Cacat Logika."
Misalnya, kita dapat temui dalam kisah cicit Nabi, yakni Muhammad Al-Baqir, menjadi pelajaran berharga tentang bagaimana merespons serangan ad hominem dengan tenang. Ketika seseorang mencemoohnya sebagai “baqar” (sapi) atau menghina keluarganya, Al-Baqir menjawab dengan rendah hati, bahkan mendoakan orang yang mencelanya. Sikap ini bukan sekadar akhlak mulia, tetapi juga mencerminkan pengendalian diri dan keimanan yang mendalam.
Kita bisa amati bahwa tindakan merendahkan orang lain sering kali muncul dari kebutuhan untuk meningkatkan citra diri yang terancam. Di samping itu, dalam Teori “Self-Affirmation”, kita dapat mengerti, bahwa individu yang merasa identitas dirinya direndahkan akan mencari cara untuk memulihkan harga dirinya, sering kali dengan menyerang balik.
Namun, Islam mengajarkan cara yang berbeda. Respons bijaksana, seperti yang ditunjukkan oleh Nabi dan Al-Baqir, tidak hanya meredakan konflik tetapi juga membuka peluang perubahan hati pada pihak yang mencela.
Hal ini senada dengan QS Al-Hijr [15]: 94-95, di mana Allah memerintahkan Nabi untuk tetap menyampaikan dakwah dengan terang-terangan dan berpaling dari mereka yang mencemooh. Allah menjamin perlindungan bagi Nabi dari orang-orang yang memperoloknya. Sikap ini mencerminkan kepercayaan penuh kepada keadilan Allah dalam mengatur segala urusan, termasuk menghadapi hinaan dan cemoohan.
Kisah Nabi Nuh juga memberikan pelajaran penting. Ketika beliau diperintah Allah untuk membuat kapal di daratan, Kaum Musyrik menertawakannya. Nabi Nuh tidak membalas ejekan itu, tetapi menyampaikan peringatan akan azab yang akan datang, sebagaimana diabadikan dalam QS Hûd [11]: 38-39. Sikap ini menunjukkan bahwa menjawab ejekan dengan tindakan serupa hanya akan menurunkan martabat diri.
Menanggapi ejekan dengan cara yang baik juga memiliki dampak psikologis yang signifikan. Jikalau kita tilik pada teori “Cognitive Dissonance” dari Leon Festinger (1957), bahwa ketika seseorang menerima respons positif dari orang yang diejeknya, hal ini dapat memicu ketidaknyamanan kognitif.
Individu tersebut mungkin mulai mempertanyakan motif ejekan mereka dan berpotensi mengubah perilaku ke arah yang lebih positif. Dengan kata lain, kesan baik yang ditinggalkan oleh orang yang dihina dapat menjadi titik balik bagi si pencela untuk introspeksi.
Nabi Isa AS pernah bersabda bahwa dirinya, dengan izin Allah, mampu menyembuhkan berbagai penyakit, bahkan menghidupkan kembali orang mati. Namun, beliau menyatakan ketidakmampuannya untuk menyembuhkan kedunguan, sebuah sindiran halus terhadap mereka yang menutup hati dan pikiran mereka terhadap kebenaran.
Ungkapan ini sejalan dengan nasihat Imam Syafi’i bahwa diam adalah jawaban terbaik bagi orang bodoh. Dalam hati, seseorang bisa berkata kepada dirinya sendiri bahwa keengganan meladeni bukanlah kelemahan, melainkan bentuk pengendalian diri.
Prof. Quraish Shihab juga pernah memberitahu bahwa debat dengan orang yang tidak mau mendengar bukan hanya sia-sia tetapi juga berisiko menimbulkan konflik yang lebih besar. Beliau mengingatkan agar kita tidak berdebat dengan seseorang yang bisa kita kalahkan secara argumen tetapi tidak mampu kita tundukkan egonya. Sikap ini menggambarkan kebijaksanaan dalam memilih pertempuran yang benar-benar penting.
Sebagai penutup, ejekan dan hinaan adalah ujian yang menguji kesabaran dan kebijaksanaan kita. Respon yang baik, sesuai dengan ajaran Al-Qur'an dan sunnah Nabi, bukan hanya menjaga martabat diri tetapi juga menjadi contoh akhlak yang baik bagi orang lain.
Dengan tidak membalas ejekan, kita membangun potensi perubahan hati pada orang yang mencela, sekaligus menunjukkan kedewasaan spiritual. Seperti kata pepatah, “Anjing menggonggong, kafilah berlalu.” Namun, yang lebih penting, ketika kafilah berlalu, ia meninggalkan jejak yang positif dan bermakna.
Penulis: Habibur Rahman, Mahasiswa Program Studi Komunikasi dan Penyiaran Islam, UIN Sjech M. Djamil Djambek Bukittinggi. Aktif menulis tentang sejarah ulama-ulama tarekat di Sumatra Barat serta dinamika dan problematika Surau Tradisional Minangkabau.