Oleh: M Ariansyah
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), korupsi adalah penyalahgunaan atau penyelewengan uang negara, perusahaan, organisasi, yayasan, dan sebagainya untuk kepentingan pribadi atau orang lain.
Definisi ini terdengar sangat akademis jika dicerna oleh kepala, tetapi di kehidupan nyata, korupsi lebih menyerupai seni gelap. Ya, seni. Sebuah mahakarya manipulasi, kebohongan, dan kerakusan yang sering kali dilakukan dengan keanggunan, meski hasil akhirnya tetap menjijikkan.
Dalam konteks kekuasaan, korupsi bukan hanya penyalahgunaan kepercayaan publik, melainkan juga pengkhianatan terhadap moralitas dasar manusia. Kekuasaan, sebagaimana pernah dikatakan Lord Acton, "cenderung korup, dan kekuasaan absolut akan mengkorupsi secara absolut."
Sayangnya, korupsi bukan sekadar "kecelakaan." Ini adalah sistem yang dipelihara, disiram dengan dalih, dan dipupuk dengan ketidakpedulian. Dalam praktiknya, kekuasaan tanpa pengawasan adalah tiket emas menuju eksploitasi.
Contohnya, kasus terbaru yang melibatkan Thomas Trikasih Lembong, mantan Menteri Perdagangan, yang diduga terlibat korupsi impor gula pada tahun 2015–2016. Kerugian negara? Hanya Rp400 miliar jumlah yang barangkali hanya setara dengan “uang jajan” dalam lingkaran elite. Ironisnya, para tersangka sering kali tetap berwajah santai, dan terlihat menganggap sidang sebagai ajang yang biasa.
Dampak dari kasus seperti ini sangat nyata: masyarakat kehilangan kepercayaan pada pemimpin mereka. Bagaimana bisa tidak? Kita sering mendengar bahwa "pemimpin adalah panutan." Tetapi, di negara ini, panutannya adalah bagaimana menyamarkan kejahatan sebagai kebijakan.
Ketika korupsi merajalela, apa yang sebenarnya dipertaruhkan? Bukan hanya uang negara, tetapi juga moralitas publik. Ketika seorang pejabat memanfaatkan posisinya untuk kepentingan pribadi, mereka tidak hanya mencuri uang, tetapi juga mencuri harapan rakyat.
Sayangnya, korupsi sering kali dianggap sebagai “bagian dari permainan.” Nepotisme? Oh, itu hanya keluarga membantu keluarga, kata mereka. Suap? Bukankah itu sekadar bentuk "ucapan terima kasih"? Bahkan penggelapan dana dianggap sebagai "strategi manajemen risiko."
Di sinilah sarkasme menjadi relevan: mungkin kita harus mulai memasukkan korupsi ke dalam kurikulum sekolah sebagai "mata pelajaran wajib." Bayangkan saja: "Cara Mempermainkan Sistem 101" atau "Strategi Efektif untuk Menyamarkan Kekayaan Hasil Haram."
Mari kita serius sejenak. Korupsi adalah kanker sosial yang mematikan, dan stadiumnya sudah tinggi. Hal ini merusak kepercayaan, menghancurkan ekonomi, dan memperlebar ketimpangan sosial. Seperti yang dijelaskan dalam teori principal-agent problem, ketika penguasa (agen) tidak diawasi oleh rakyat (prinsipal), peluang penyalahgunaan kekuasaan menjadi sangat besar.
Dan sudah selayaknya semua pejabat di atas bumi ini tahu, bahwa transparansi dan akuntabilitas seharusnya menjadi pilar utama dalam setiap pemerintahan. Namun, ketika pilar-pilar ini runtuh, yang tersisa hanyalah reruntuhan keadilan.
Lucunya, dalam setiap kasus korupsi yang terungkap, selalu ada momen "plot twist." Para pelaku sering kali berdalih bahwa mereka adalah korban sistem. "Saya hanya menjalankan perintah," kata mereka, seolah-olah perintah tersebut datang dari langit.
Bahkan lebih ironis, beberapa dari mereka tetap dielu-elukan oleh pendukungnya sebagai “pahlawan.” Mungkin di negara ini, definisi pahlawan memang telah mengalami evolusi bukan lagi mereka yang memperjuangkan kebenaran, melainkan mereka yang paling pintar menyembunyikan jejak.
Korupsi juga sering kali menjadi bahan lelucon hitam di masyarakat. "Kenapa uang negara tidak pernah habis?" tanya seseorang. Jawabannya: "Karena koruptor selalu meninggalkan cukup untuk dikorupsi lagi." Tragis, tetapi lucu, bukan? Kita seakan berada di dunia di mana ironi adalah kenyataan, dan kenyataan terasa seperti lelucon suram.
Tetapi, mari kita berhenti sejenak untuk bertanya: apakah rakyat benar-benar tidak peduli, ataukah mereka hanya lelah? Bagaimana tidak lelah, ketika setiap upaya pemberantasan korupsi terasa seperti menimba air dari perahu yang terus-menerus bocor? Bagaimana tidak muak, ketika pelaku yang jelas-jelas bersalah hanya dihukum ringan, sementara rakyat kecil yang mencuri ayam demi bertahan hidup dihukum berat?
Ya, pada akhirnya, tugas kita bukan hanya menertawakan absurditas ini, tetapi juga bertindak, tentu dan ini harus. Kekuasaan seharusnya bukan menjadi alat eksploitasi, melainkan amanah untuk melayani rakyat. Ya, sembari itu kita juga perlu memastikan bahwa kekuasaan digunakan sebagai instrumen keadilan, bukan senjata untuk memperkaya diri sendiri. Sebagaimana dikatakan dalam adagium hukum, "Fiat justitia ruat caelum" keadilan harus ditegakkan, meskipun langit runtuh.
Jadi apapun itu, mari kita berhenti memberi ruang pada korupsi, baik dalam bentuk kecil maupun besar. Dan jika masih ada yang menganggap korupsi sebagai "tradisi," mungkin saatnya kita menghentikan tradisi itu dengan tawa sarkastik dan tindakan nyata. Karena jika tidak, kita hanya akan menjadi penonton dalam komedi tragis bernama "Negara yang Tenggelam oleh Korupsi."
Penulis: M Ariansyah (Mahasiswa Program Studi Komunikasi dan Penyiaran Islam, UIN Sjech M.Djamil Djambek Bukittinggi)