Langgam.id - Langit mendung dan hujan lebat pada pengujung tahun 1955, tak menghalangi kerumunan orang berkumpul di Oostduinlaan, Den Haag, Belanda, untuk menyaksikan momen bersejarah. Belanda negeri Kincir Angin akhirnya punya masjid pertama yang diresmikan Sir Mohammad Zafrulah Khan dari Pakistan, hakim Mahkamah Internasional. Masjid ini dibangun oleh gerakan Ahmadiyah yang datang ke Belanda pada tahun 1917.
Dalam peresmian itu hadir Duta Besar Mesir, Hassan Zaki, utusan Iran, Andol Hussein Mcftah, Kuasa Usaha Pakistan, Salman A Ali, Penasihat Kedutaan Besar Pakistan. Mesir, Ibrahim Mahmoud, pemimpin beberapa misi Muslim Ahmadiyah di Eropa dan beberapa perwakilan gerakan ini seperti Abu Bakar Ayub.
Koran De Preangerbode memberitakan peristiwa monumental itu. Abu Bakar Ayub disebut berasal dari Sumatra, menjadi sosok yang sangat krusial dalam peresmian masjid tersebut.
“Setelah Sir Zafrullah Khan berbicara dan setelah berdoa, semua memasuki ruang masjid. Lalu, pertemuan dibuka dengan doa dan bacaan Al-Qur'an dengan pembicara Abu Bakar Ayub dari Sumatra,” tulis koran De Preangerbode, terbitan Rabu, 14 Desember 1955.
Didaulat sebagai pembicara, Abu Bakar berterima kasih kepada mereka yang hadir atas nama misi Ahmadiyah di Belanda, dan juga minat yang ditunjukkan dalam pembangunan masjid tersebut. Ia secara khusus mengucapkan terima kasih kepada istri-istri anggota gerakan tersebut.
Berdirinya masjid ini, menjadi tonggak terpenting bagi komunitas Muslim Ahmadiyah, tetapi juga bagi sejarah Islam di Eropa. Dalam pidatonya, ia mengingatkan bahwa bentuk masjid tak melulu harus megah, tetapi harus mampu menjadi tempat refleksi dan harmoni, memenuhi kebutuhan spiritual umat di manapun mereka berada.
“Masjid ini mungkin tidak terlihat seperti di beberapa negara Islam. Pekerjaan pembangunan seharusnya diperhitungkan,” katanya.
Ihwal berdirinya masjid ini, terlebih dahulu komunitas Ahmadiyah membeli sebidang tanah tahun 1949. Sekelindan itu, pada tahun 1954, komunitas Ahmadiyah tersebut menerbitkan terjemahan Al-Quran dalam bahasa Belanda.
“Kami mematuhi persyaratan pemerintah kota Den Haag dan persyaratan yang diberlakukan pada masjid sebagai tempat di mana seseorang dapat bersantai. Tidak ada bentuk khusus yang ditentukan untuk sebuah masjid. Hal ini sekarang memenuhi tuntutan yang ditetapkan gerakan untuk titik sentral ini."
Ayub adalah satu dari trio pemuda asal Minangkabau, selain Ahmad Nuruddin, dan Zaeni Dahlan, pengundang kedatangan Ahmadiyah ke Nusantara. Persisnya sekitar seabad lalu yakni titimangsa 24 November 1924, mereka bersama 12 rekan lainnya menyampaikan permintaan yang kelak menjadi salah satu tonggak sejarah penyebaran Ahmadiyah di Indonesia.
Alkisah, pada Desember 1922, dua pemuda, Abubakar Ayyub dan Ahmad Nuruddin, meninggalkan kampung halaman mereka di Padang Panjang untuk melanjutkan studi agama. Keduanya adalah lulusan Sumatera Thawalib, sebuah lembaga pendidikan Islam ternama. Rekan mereka, Zaini Dahlan, yang berasal dari Madrasah Darun Nabwah, harus menunda keberangkatannya karena hambatan tertentu. Ketika akhirnya menyusul, mereka bertiga kembali berkumpul di Lucknow, India.
Perjalanan mereka tidaklah mudah. Dengan usia yang masih sangat muda—Abubakar baru 20 tahun, sementara Ahmad dan Zaini bahkan lebih muda—mereka meninggalkan kenyamanan kampung halaman demi ilmu.
“Awalnya, Mesir adalah tujuan mereka, namun saran para guru di Sumatera Thawalib mengarahkan langkah mereka ke India, yang mulai dikenal sebagai pusat pemikiran Islam modern, sebagai ternukil pada situs resmi Ahmadiyah Indonesia, ahmadiyah.id.
Jejak Takdir di Lahore
Ketika mereka tiba di Lahore, mereka teringat nama Kwaja Kamaluddin, seorang ulama yang pernah menjadi imam Masjid di London. Namun, mereka hanya menemukan kediaman beliau di samping Islamic College, karena Kwaja sedang berada di Inggris. Sebagai gantinya, mereka bertemu Maulana Abdussatar, seorang hafiz Qur’an yang kemudian menjadi guru mereka.
Metode pengajaran Maulana Abdussatar yang unik, tanpa kitab tafsir, justru menggugah kekaguman mereka. Diskusi mengenai ayat-ayat Al-Qur’an membawa mereka pada pertanyaan tentang Nabi Isa a.s., topik yang memantik dialog mendalam. Di Indonesia, dua pendapat dominan soal Nabi Isa berkembang: satu menyebut beliau masih hidup di langit, seperti yang diyakini Haji Abdulkarim Amarullah; lainnya menyebut Nabi Isa wafat, meski tempatnya tidak diketahui, pendapat Zainuddin Labay El Yunusi.
Maulana Abdussatar menawarkan pandangan berbeda: Nabi Isa telah wafat seperti nabi-nabi lainnya. Pemikiran ini, didukung gagasan tentang kebutuhan akan seorang Imam Mahdi sebagai dokter ruhani, perlahan menggoyahkan keyakinan mereka.
Ketiganya tidak serta-merta menerima pandangan baru ini. Mereka menulis surat kepada para ulama di tanah air, memohon fatwa guna menyangkal pendapat Maulana Abdussatar. Namun, hanya satu surat yang mendapat balasan—dari Syekh Ibrahim Musa Parabek—yang menyatakan bahwa Nabi Isa telah wafat. Ketidakmampuan mereka menemukan argumen yang lebih kuat akhirnya membuat mereka menerima pemahaman baru itu.
Bai’at dan Perubahan Hidup
Musim panas Juli 1923 menjadi momen bersejarah. Ketiga pemuda tersebut berbai’at kepada Maulana Muhammad Ali, pemimpin Ahmadiyah Lahore. Sejak itu, ajaran Ahmadiyah mulai mengubah pemahaman mereka tentang Islam. Perjalanan mereka dari Padang Panjang hingga Lahore bukan hanya perjalanan fisik, tetapi juga perjalanan spiritual yang mengantarkan benih Ahmadiyah ke Nusantara.
Sejarah Ahmadiyah di Indonesia tak lepas dari keberanian dan tekad tiga pemuda ini. Dengan usia belia, mereka menjadi pelopor yang membuka jalan bagi perubahan besar dalam lanskap keislaman di tanah air. Apa yang dimulai sebagai perjalanan mencari ilmu, berakhir sebagai titik awal kisah baru dalam sejarah keagamaan Indonesia.
Selanjutnya, dalam sebuah acara sederhana namun penuh haru, Tea Party yang digelar di Qadian, India, ketiga pemuda ini mewakili pelajar tanah air menghadap Hazrat Mirza Basyiruddin Mahmud Ahmad, Khalifah Ahmadiyah ke-2. Dengan suara bergetar dan mata berkaca-kaca, perwakilan mereka, Haji Mahmud, menyampaikan harapan tulus dalam bahasa Arab:
"Sebagaimana Huzur telah berkenan melawat ke Barat, sudilah kiranya Huzur melawat ke Timur, terutama ke Nusantara."
Permintaan tersebut disampaikan dengan penuh penghormatan, mencerminkan keinginan mendalam para pemuda ini agar Jemaat Ahmadiyah, yang telah memberikan pengaruh di berbagai belahan dunia, turut membawa pencerahan ke Nusantara.
Menjawab permintaan itu, Khalifah Ahmadiyah ke-2 memberikan jawaban yang menjadi janji besar. Dalam pidatonya, beliau berkata:
"Hazrat Masih Mau’ud adalah Zulqarnain (yang memiliki dua tanduk), satu mengarah ke Barat dan satu lagi ke Timur. Sekarang, belum sempat melawat ke sana, tetapi untuk memenuhi permintaan saudara-saudara, saya berjanji akan mengutus utusan saya ke Nusantara."
Janji itu ditepati pada 17 Agustus 1925, ketika Maulana Rahmat Ali dilepas oleh Khalifah untuk berangkat ke Nusantara. Perjalanan panjangnya berujung di Tapaktuan, Aceh, pada 2 Oktober 1925, di mana benih pertama Jemaat Ahmadiyah ditanam di bumi Indonesia.
Desember 1925 menjadi awal perjalanan Ahmadiyah di Indonesia. Sebanyak 13 orang di Tapaktuan menyatakan ikrar bai’at mereka, menandai tumbuhnya komunitas Ahmadiyah di tanah air.