Integrasi Islam dan Budaya dalam Tafsir Al-Azhar Karya Buya Hamka

Buya Hamka atau Haji Abdul Malik Karim Amrullah adalah salah satu ulama besar dan sastrawan terkemuka di Indonesia. Lahir di Maninjau,

Budiman. [Foto: Dok. Penulis]

Oleh: Budiman

Buya Hamka atau Haji Abdul Malik Karim Amrullah adalah salah satu ulama besar dan sastrawan terkemuka di Indonesia. Lahir di Maninjau, Sumatra Barat pada 1908, Hamka dibesarkan dalam lingkungan budaya Minangkabau yang kuat dengan nilai-nilai Islam.

Terbukti keluarga terdiri dari orang-orang terpandang, ayah ulama, dan begitu juga dengan sang kakek yang merupakan ulama besar Maninjau pada masanya, yang tercatat sebagai Mursyid Tarekat Naqsyabandiyah, memiliki nama Syekh Amrullah Tuanku Kisa'i.

Hamka juga dikenal sebagai pemikir progresif, ia menggabungkan wawasan agama dengan apresiasi sastra dan budaya, terutama dalam konteks Melayu dan Minangkabau.

Bicara tentang sang ayah, yang dikenal dengan sebutan Haji Rasul, juga merupakan seorang yang berpengaruh pada masanya, yang justru memberikan dasar intelektual dan spiritual yang kuat bagi perkembangan Hamka sejak kecil. Ayahnya juga tercatat sebagai sosok yang amat menyenangi diskursus dan terbilang sering berdebat dengan ulama-ulama yang berbeda dengannya.

Di samping itu, sebagai seorang ulama dan penulis produktif, karya-karya Hamka tak hanya mencakup tafsir dan sejarah Islam, tetapi juga novel dan esai yang menggugah pemikiran dan nurani. Karyanya yang paling monumental, Tafsir Al-Azhar, ditulis dalam kondisi yang paradoksal.

Selama pemenjaraannya pada 1964–1966 oleh pemerintahan Orde Lama karena alasan politik, Hamka justru meraih momen refleksi yang mendalam, menyelesaikan tafsir ini dengan nama yang diambil dari Masjid Al-Azhar di Jakarta, tempat ia pernah menjadi imam besar.

Tafsir Al-Azhar mencerminkan metode tafsir bi al-ma'tsur, berbasis riwayat Al-Qur'an dan Hadis, serta tafsir bi al-ra’yi, yaitu tafsir berdasarkan pandangan pribadi yang kontekstual. Hamka mempersembahkan pendekatan yang unik dengan menyertakan perspektif budaya lokal yang kental, sehingga menjadikan ajaran Al-Qur’an lebih akrab dan mudah dipahami oleh masyarakat Melayu dan Minangkabau.

Bahasa yang digunakannya kaya akan nuansa sastra Melayu yang indah, penuh dengan kiasan yang hidup dan mudah dicerna.

Sebagai contoh, dalam menafsirkan Surah Al-Baqarah ayat 153 tentang kesabaran, Hamka menggunakan pepatah “bagai air di daun talas” yang dalam budaya Melayu konotasinya sering berarti ketidakkekalan atau ketidakstabilan. Namun, Hamka menafsirkan pepatah ini secara positif, sebagai anjuran agar seorang mukmin senantiasa fleksibel dan siap menghadapi berbagai kondisi hidup.

Gaya tafsirnya yang mengaitkan ajaran Islam dengan budaya lokal memperlihatkan bagaimana nilai-nilai universal Al-Qur’an dapat terjalin erat dengan kearifan lokal, menciptakan tafsir yang relevan dan akrab bagi pembaca Melayu.

Dalam tafsirnya mengenai Surah Ash-Shura ayat 38, Hamka menjelaskan konsep musyawarah yang sesuai dengan nilai musyawarah mufakat dalam adat Minangkabau. Prinsip ini mengajarkan setiap anggota keluarga atau masyarakat untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan penting, baik dalam pembagian harta pusaka maupun masalah lainnya.

Budaya Minangkabau sangat menekankan prinsip kebersamaan dan saling menghormati, sebagaimana pepatah “bulat air karena pembuluh, bulat kata karena mufakat.” Bagi Hamka, kesamaan ini memperlihatkan bahwa Islam dapat tumbuh dalam harmoni dengan budaya lokal yang sejalan dengan prinsip-prinsip ajaran Islam.

Dengan menghubungkan musyawarah Islami dan musyawarah dalam adat Minangkabau, Hamka menghidupkan ajaran Al-Qur'an dalam konteks sosial yang sangat relevan dan bermakna bagi masyarakat setempat.

Tak hanya itu, dalam menafsirkan ayat-ayat yang menjelaskan hubungan antara manusia dan Tuhan, seperti Surah Qaf ayat 16, Hamka menggunakan bahasa yang puitis, “dekat di mata, jauh di hati.” Istilah ini menggambarkan kondisi di mana seseorang mungkin dekat secara fisik tetapi memiliki jarak batin yang luas.

Dalam konteks relasi spiritual, Hamka menegaskan bahwa Allah sangat dekat dengan manusia lebih dekat dari urat lehernya, namun sering kali manusia tidak menyadari kehadiran-Nya. Keindahan ungkapan ini menggugah pembaca untuk merenung tentang kedekatan sejati dengan Tuhan, bukan sekadar kedekatan fisik atau lahiriah, melainkan keintiman batin yang mendalam.

Hamka juga menyinggung isu keadilan sosial dalam tafsirnya, terutama pada topik-topik yang berhubungan dengan hak-hak perempuan, kritik sosial, dan penyimpangan moral. Dalam menafsirkan Surah An-Nisa ayat 19 tentang hak perempuan, ia menekankan posisi perempuan dalam adat Minangkabau yang matrilineal, di mana perempuan memiliki hak khusus dalam pewarisan harta pusaka. Kedudukan ini bukan sekadar penghargaan atas status perempuan, tetapi juga tanggung jawab moral sebagai penjaga nilai-nilai adat.

Di Minangkabau, perempuan, terutama yang tertua atau "Bundo Kanduang" memegang peranan penting dalam menjaga stabilitas keluarga dan kelestarian adat. Hamka melihat kedudukan perempuan ini sejalan dengan ajaran Islam yang menempatkan perempuan pada posisi yang terhormat dan adil.

Bagi Hamka, Islam adalah agama yang selaras dengan nilai-nilai kebaikan dan keadilan dalam masyarakat. Ketika menafsirkan ayat-ayat tentang perempuan, ia menyampaikan bahwa Islam mendukung kesetaraan dan keadilan, yang tercermin dalam budaya Minangkabau yang memberikan hak pewarisan kepada perempuan.

Ini adalah contoh bagaimana Hamka berusaha menunjukkan bahwa ajaran Al-Qur’an dapat diselaraskan dengan budaya lokal tanpa kehilangan makna esensialnya. Dalam tafsirnya, Buya Hamka menjadikan Al-Qur’an lebih dekat dan relevan dengan kehidupan sehari-hari masyarakat lokal, terutama masyarakat Melayu dan Minangkabau.

Dengan menggunakan pendekatan sastra Melayu dan memperkaya tafsirnya dengan nilai-nilai lokal, Buya Hamka berhasil menciptakan karya yang bukan hanya akademis, tetapi juga penuh estetika budaya yang merangkul kehidupan sehari-hari masyarakat.

Baginya, tafsir bukan sekadar penjelasan teks, tetapi juga jembatan antara ajaran agama dan kehidupan nyata. Pendekatan Hamka dalam Tafsir Al-Azhar adalah bukti bahwa Al-Qur'an memiliki nilai-nilai universal yang dapat diterapkan dalam konteks budaya apa pun tanpa mengorbankan makna fundamentalnya.

Sebagai penutup, tulisan ini diharapkan memberi wawasan tentang kekayaan Tafsir Al-Azhar karya Buya Hamka. Dengan mengangkat aspek budaya lokal, Hamka menjadikan tafsir ini sebagai karya yang memiliki kedalaman intelektual dan estetika, memperlihatkan bagaimana ajaran Al-Qur’an dapat dihayati dengan sentuhan budaya lokal yang akrab dan bermakna. (*)

Penulis: Budiman (Mahasiswa Program Studi Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir, UIN Sjech M. Djamil Djambek Bukittinggi)

Baca Juga

Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad berkembang di tengah masyarakat Arab Jahiliah yang akidah dan moralnya sangat rusak, sehingga
Kejayaan Ilmu Pengetahuan Islam: Inspirasi dari Masa Lalu untuk Kebangkitan Masa Kini
Mengapa Budaya Politik Partisipatif Penting untuk Masa Depan Demokrasi Indonesia
Mengapa Budaya Politik Partisipatif Penting untuk Masa Depan Demokrasi Indonesia
Politik hadir sebagai wujud dari distribusi keadilan bagi masyarakat. Apabila dia tidak berjalan maka ada patologi politik yang merusak dari
Kepemimpinan Moral dan Patologi Politik
Bobroknya Birokrasi: Ancaman Bagi Kualitas Budaya Politik
Bobroknya Birokrasi: Ancaman Bagi Kualitas Budaya Politik
Sosok Buya Hamka barangkali sudah tak asing lagi bagi masyarakat Indonesia. Ulama karismatik yang juga seorang sastrawan besar
Perahu Kecil Hamka Mengarungi Samudra Cinta Raham
Masih ingatkah kita akan viralnya "Clash of Champions" yang diselenggarakan oleh Ruangguru pada pertengahan tahun ini? Bagaimana antusiasme
Rekonstruksi Peradaban Ilmiah Islam: Antara Romantisme dan Realitas