Ijtihad Politik Muhammadiyah Sumbar

Oleh: Didi Rahmadi*

Pemberian surat rekomendasi dukungan oleh Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Sumbar yang dilakukan secara terbuka pada Pilkada 2024 menuai polemik yang menarik. Terutama dikalangan internal persyarikatan Muhammadiyah, beberapa kader secara terbuka mengkritik kebijakan ini. Beberapa di antaranya, tulisan Buya Shofwan Karim yang terbit di Harian Singgalang (7/10/24) dan tulisan intelektual muda sekaligus Rektor UM Sumatera Barat Riki Saputra yang terbit di media online Langgam.id (24/10/24).

Kedua tulisan tokoh Muhammadiyah tersebut saya kira membuat satu benang merah yang sama yaitu menyayangkan keterlibatan Muhammadiyah yang terlalu jauh dalam kontestasi politik. Selain tulisan, kritikan langsung kepada penulis sempat disampaikan oleh salah satu senior yang mempertanyakan kebijakan pemberian rekomendasi yang digawangi langsung oleh LHKP Wilayah. Senada dengan kritik sebelumnya, namun menambahkannya dengan nasehat.

Penulis memahami kekuatiran tersebut. Bahwa hal ini didasarkan kepada upaya menjaga rumah besar tetap utuh didasarkan kepada ghirah awal Muhammadiyah yaitu gerakan amal ma’ruf nahi munkar. Sekaligus, sembari tetap menjaga jarak dengan kekuasaan.

Memang tema Muhammadiyah vis a vis dengan politik selalu menjadi perdebatan hangat sampai saat ini. Malahan, mengutip pendapat Ridho Al Hamdi Ketua LHKP PP Muhammadiyah, ada dua “mazhab” di Muhammadiyah yang saling mengisi perdebatan ini yaitu mazhab non politik yang berpegang teguh pada Khittah Ujungpandang (1971) dan “politik” merujuk kepada Khittah Denpasar (2002). Artinya, ini adalah perdebatan klasik yang selalu mengiringi perjalanan Muhammadiyah sampai saat ini.

Misi Komunitas

Saya tidak akan masuk kepada perdebatan klasik ini. Namun, lewat tulisan ini saya ingin melihat Muhammadiyah dengan perspektif sebagai gerakan sosial. Termasuk kerangka makna terma politik yang dimaksud.

Barangkali atau bisa jadi menyerempet dan mirip-mirip dengan pandangan mazhab Denpasar. Tapi bagi saya politik adalah keniscayaan, dan organisasi harus menjadi orkestra untuk mencapai tujuannya.

Saya pikir kita perlu mempertanyakan ulang orientasi sebuah komunitas membentuk organisasi. Apalagi kalau komunitas tersebut memiliki imajinasi tentang masyarakat yang ingin dicapai. Secara sosiologis, perubahan-perubahan di masyarakat disebabkan oleh proses konflik dan ketegangan di masyarakat itu sendiri.

Sedangkan dalam konteks politik, dengan perspektif Gramscian, masyarakat adalah gabungan dari individu-individu yang terorganisir. Ini menjadi proses kunci melahirkan masyarakat transformatif.

Dalam konteks imajinasi Muhammadiyah, meminjam istilah Prof. Amin Abdullah, yaitu masyarakat Islam yang dialektis atau bergerak. Suatu entitas yang selalu memberikan kemaslahatan dan bukan menjadi beban peradaban. Karena itu, pantang untuk gagap memahami dinamika sosial politik yang begitu cepat berubah. Masyarakat Islam harus tampil sebagai sebuah masyarakat yang solutif.

Politik Hikmah

Dengan begitu masifnya kerusakan tatanan politik nasional dalam satu dekade terakhir, Muhammadiyah perlu melakukan konsolidasi secara serius sampai ditingkat akar rumput. Untuk itu, perlu ada kesamaan pandangan tentang politik. Ini penting, agar nanti tidak selalu dicurigai sebagai aktivitas menyeret organisasi untuk kepentingan individu.

Di dalam konteks ini, dakwah tetap menjadi strategi utama Muhammadiyah. Yaitu dakwah amar ma’ruf nahi munkar. Begawan Antropologi, Kuntowijoyo memberikan klasifikasi dakwah Muhammadiyah menjadi dua bagian yaitu dakwah kultural serta dakwah struktural. Sekretaris PP Muhammadiyah Abdul Mu’ti menyebut dakwah politik bagian dari dakwah struktural.

Untuk itu dan Sebagai tahap awal, perlu pemahaman kader sampai ditingkat ranting tentang konsep politik. Terkadang resistensi kader terhadap politik sering beranjak dari konsep politik yang keliru. Apalagi menyamakan aktivitas politik Muhammadiyah dengan partai politik.

Di sini, saya kira politik secara sederhana dapat dipahami sebagai usaha bersama menuju kebaikan. Politik adalah pintu agar organisasi dapat menjangkau urusan-urusan publik yang lebih esensi. Di dalam Politik Islam, seperti yang disampaikan oleh Prof. Quraish Shihab bahwa esensi dari politik Islam adalah hikmah itu sendiri yaitu mencegah kezhaliman.

Memang di tingkat bawah, pandangan kader terhadap politik juga terfragmentasi dalam tiga kelompok besar yaitu kelompok apatis terhadap politik, kelompok status quo yang secara pribadi menikmati politik dengan memanfaatkan organisasi, dan kelompok pembaharuan. Yang ketiga ini menganggap politik adalah aktivitas pengabdian.

Nah, saya lebih cenderung sikap yang ketiga. Muhammadiyah harus berpolitik untuk kerja-kerja keberpihakannya kepada ummat. Termasuk tendensi keberpihakan kepada kader-kader yang memiliki prestasi politik. Dan mencabut mandat bagi kader-kader yang tidak amanah dalam berpolitik. Dalam hal ini, rekomendasi kader berpolitik harus berasal dari persyarikatan.

Berangkat dari konsep di atas, secara strategis keterlibatan Muhammadiyah dalam arena politik menjadi suatu keharusan bila bercermin dengan kondisi saat ini. Momentum Pilkada ini adalah eksperimen awal politik Muhammadiyah Sumbar. Konsekuensinya sudah pasti ada. Lagi-lagi meminjam istilah Buya Shofwan, Muhammadiyah Duduk atau terduduk. Duduk artinya perluasan dakwah struktural, terduduk artinya waktunya konsolidasi dan penguatan internal. Dua-dua positif buat pengembangan Muhammadiyah.

Independen atau Netral

Persoalan ummat saat ini begitu pelik, multidimensi dan problematik. Sebagaian besar persoalan yang dihadapi ummat adalah ketimpangan ekonomi, keadilan sosial, serta akses terhadap pendidikan. Karena itu, tak mungkin penyelesaiannya menggunakan konsep business as usual. Butuh inovasi serta keberanian bersikap.

Muhammadiyah telah berhasil mengembangkan gerakan filantropinya dibidang sosial, pendidikan dan kesehatan. Dengan modal sosial dan kapital tersebut, kerja-kerja advokasi terutama mendorong dan membela hak-hak dasar masyarakat dapat dengan mudah dilakukan. Dalam konsep mekanisme sosial, kerja-kerja mobilisasi, koalisi dan negosiasi digunakan untuk membangun posisi tawar.

Untuk membuat perubahan dan menciptakan sejarah, tentu Muhammadiyah tidak boleh bersikap ambigu. Ia harus mengambil posisi terlibat aktif bukan pasif. Yang selama ini pun kita sudah menunjukkan sikap kritis dan tidak tunduk terhadap pemilik modal. Artinya Muhammadiyah adalah organisasi mandiri, egaliter, dan merdeka dalam menentukan sikap.

Saya kira lebih tepat menyebut kita berposisi independen daripada netral. Termasuk sikap Pimpinan Wilayah Muhammadiyah dalam merespon Pilkada Sumatera Barat yang merupakan makna independensi organisasi itu sendiri. Dan itulah ijtihad politik persyarikatan.

Muhammadiyah memang rumah teduh buat semua kalangan, namun dia tak boleh bersikap los atau tidak perdulian. Ada norma dan nilai moral yang wajib dipatuhi setiap kadernya. Dalam teori gerakan sosial klasik Williams MacDougall’s organisasi sering menjadi The Group of Mind, atau kepala ide.

Muhammadiyah harus menjadi sumber nilai yang diikuti dan ditaati. Kader perlu patuh akan garis ketetapannya. Jangan sampai seperti perumpamaan, tidur satu bantal tapi berbeda mimpi. Di sinilah keberanian pimpinan untuk memberikan teguran bagi kader kutu loncat. Hadir saat menguntungkan, menghilang saat buntung.

Wallahu a'lam bishawab.

*Dosen Ilmu Politik UM Sumbar dan Wakil Ketua Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik Muhammadiyah Sumbar

Baca Juga

Debat Pilkada Tanah Datar, Paslon Saling Sindir Tarkait Infrastruktur
Debat Pilkada Tanah Datar, Paslon Saling Sindir Tarkait Infrastruktur
KPU Sumbar Gelar Simulasi Pemungutan Suara, Siapkan 10.824 TPS untuk Pilkada Serentak
KPU Sumbar Gelar Simulasi Pemungutan Suara, Siapkan 10.824 TPS untuk Pilkada Serentak
Permasalahan baru yang menimpa umat Islam yakni terkait daftar nama-nama ustadz kondang yang terdaftar dalam jaringan radikalisme.
Pergeseran Nilai Muhammadiyah Sumbar dalam Politik?
Calon Bupati Dharmasraya Annisa Suci Ramadhani Blusukan di Pasar Sikabau
Bakal Bangun BUMD, Calon Bupati Dharmasraya Annisa: Atasi Ketimpangan Harga dan Sejahterakan Petani 
Ketua KPU Sumbar, Surya Efitrimen mengungkapkan bahwa ada 56 pasangan calon (paslon) kepala daerah di Sumatra Barat untuk Pemilihan
Rumah Bagonjong Ajak Masyarakat Sumbar Dukung Pilkada Serentak 2024 Berjalan Sukses
Konsolidasi Akbar Tim Pemenang, Fadly Amran Komitmen Wujudkan Program BPJS dan Seragam Sekolah Gratis di Padang
Konsolidasi Akbar Tim Pemenang, Fadly Amran Komitmen Wujudkan Program BPJS dan Seragam Sekolah Gratis di Padang