Muhammadiyah, sebagai salah satu organisasi sosial keagamaan terbesar di Indonesia, telah memainkan peran penting dalam sejarah bangsa. Dengan visi yang jelas untuk memajukan umat dan memajukan bangsa, Muhammadiyah tidak hanya bergerak dalam bidang keagamaan tetapi juga dalam bidang sosial, pendidikan, dan kesehatan.
Seperti kata pendiri Muhammadiyah KH. Ahmad Dahlan, gerakan dakwah Muhammadiyah tetap mengacu pada Ali ’Imran ayat 104 untuk menyeru kepada kebajikan dan menjauhi kemungkaran. Muhammadiyah ingin tetap konsisten berkiprah untuk kemaslahatan umat dan tetap dengan gerakan kultural dan dakwahnya.
Namun, di tengah dinamika politik yang kian kompleks, muncul tantangan bagi Muhammadiyah untuk tetap menjaga netralitas sebagai organisasi. Terbitnya surat rekomendasi yang diterbitkan Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Sumbar pada Senin (7/10/2024) di Padang yang secara resmi telah menyerahkan 14 rekomendasi pasangan calon kepala daerah untuk Pilkada serentak 27 November 2024 mendatang, dan 5 paslon daerah lainnya yang diserahkan pada 13 Oktober bersamaan dengan penyerahan rekomendasi untuk paslon Gubernur Sumbar (MenaraMu, 07/10/24), merupakan salah satu contoh yang memicu perdebatan tentang posisi Muhammadiyah Sumbar dalam politik praktis.
Muhammadiyah, sebagai organisasi yang memiliki basis massa yang luas, harus mampu menjadi pilar penyangga untuk menjaga persatuan umat. Dalam konteks ini, terbitnya surat rekomendasi berpotensi menciptakan polarisasi dikalangan anggota dan simpatisan Muhammadiyah.
Sementara politik adalah arena yang penuh dengan kepentingan dan perbedaan. Muhammadiyah seharusnya berfungsi sebagai jembatan yang menghubungkan berbagai kelompok dan tidak terjebak dalam kepentingan politik praktis.
Netralitas organisasi bukanlah tanda bahwa Muhammadiyah tidak peduli terhadap politik. Sebaliknya, organisasi ini memiliki tanggung jawab moral untuk mendorong anggota dan masyarakat agar aktif dalam proses politik dengan cara yang konstruktif. Dalam konteks ini, Muhammadiyah dapat memberikan pendidikan politik, mengajak anggotanya untuk memahami pentingnya partisipasi dalam pemilu, dan mengedukasi masyarakat tentang calon pemimpin yang berkualitas, tanpa harus secara langsung memberikan dukungan kepada salah satu calon.
Pendekatan netralitas ini juga penting untuk menjaga citra Muhammadiyah sebagai organisasi yang inklusif dan terbuka untuk semua kalangan, tanpa memandang afiliasi politik. Dengan demikian, Muhammadiyah dapat menjadi wadah untuk membangun dialog dan komunikasi antar kelompok, yang pada gilirannya dapat memperkuat kohesi sosial di tengah keberagaman yang ada.
Di samping itu, jika merujuk pada pendekatan atau teori filsafat yang relevan, termasuk etika politik, maupun filsafat moral, maka barangkali ini bisa menjadi pertimbangan bagi Muhammadiyah Sumbar dalam mengambil sebuah keputusan atau langkah politiknya, baik dari segi epistemologis dan aksiologisnya yang bisa diambil:
Pertama, pendekatan etika politik Aristotelian. Menurut Aristoteles, politik merupakan tentang bagaimana mencapai eudaimonia (kebahagiaan atau kebaikan hidup) dalam konteks komunitas. Bagi Aristoteles, politik bukanlah sekadar alat untuk memperebutkan kekuasaan, melainkan sarana untuk mewujudkan kebaikan bersama. Dalam konteks Muhammadiyah, yang didasarkan pada nilai-nilai kebajikan dan kemaslahatan umat, peran organisasi tersebut dalam politik bisa dianggap sebagai perwujudan dari upaya mewujudkan kebaikan bersama.
Namun, Aristoteles juga berpendapat bahwa politik harus dijalankan dengan kebijaksanaan praktis (phronesis), yang berarti memahami konteks, mempertimbangkan berbagai kepentingan, dan bertindak sesuai dengan tujuan tertinggi masyarakat. Dengan mengeluarkan rekomendasi calon kepala daerah, PWM Sumbar mungkin merasa sedang berkontribusi terhadap tujuan politik ini.
Tetapi, dalam perspektif phronesis, tindakan tersebut dapat menimbulkan masalah karena dapat memecah belah organisasi atau menciptakan konflik kepentingan. Dari perspektif Aristotelian, menjaga netralitas Muhammadiyah justru dapat dianggap sebagai upaya untuk mempertahankan harmoni dan kebaikan bersama yang lebih besar, yaitu persatuan umat.
Kedua, pendekatan Kantianisme. Dalam etika Kantian, tindakan dinilai baik berdasarkan prinsip-prinsip moral universal, bukan karena hasil atau konsekuensinya. Bagi Kant, setiap tindakan harus sesuai dengan prinsip moral yang bisa dijadikan hukum universal.
Dalam hal ini, keputusan Muhammadiyah untuk bersikap netral bisa dilihat sebagai komitmen pada prinsip moral yang lebih tinggi, yaitu keadilan dan kemandirian. Netralitas Muhammadiyah mungkin dilihat sebagai bagian dari prinsip universal untuk tidak memihak dalam hal-hal yang mengandung potensi konflik kepentingan atau polarisasi sosial.
Apa yang dimaksud oleh Kant ini bahwa manusia harus selalu diperlakukan sebagai tujuan dalam dirinya sendiri, bukan sebagai alat untuk mencapai tujuan lain. Dalam konteks ini, jika Muhammadiyah terlibat dalam politik praktis dengan mendukung kandidat tertentu, ada risiko bahwa anggota organisasi diperlakukan sebagai alat untuk kepentingan politik calon tersebut, bukan sebagai individu yang otonom. Oleh karena itu, dari perspektif Kantian, menjaga netralitas dalam politik adalah cara untuk memastikan bahwa Muhammadiyah tetap berfokus pada nilai-nilai moral yang mengutamakan keadilan dan integritas, bukan sekadar alat untuk memenangkan kontestasi politik.
Ketiga, pendekatan utilitarianisme. Dari perspektif utilitarian, keputusan diambil berdasarkan hasil yang akan memaksimalkan kebahagiaan atau kebaikan bagi sebanyak mungkin orang. Dalam konteks pendekatan ini, netralitas Muhammadiyah dalam politik dapat dianggap sebagai upaya untuk menghindari dampak buruk yang mungkin timbul jika organisasi terlibat dalam politik praktis. Seperti penerbitan surat rekomendasi oleh PWM Sumbar terhadap calon kepala daerah untuk Pilkada 2024 dapat menyebabkan polarisasi di kalangan anggota dan masyarakat. Dalam jangka panjang, ini bisa mengurangi kepercayaan terhadap Muhammadiyah sebagai organisasi sosial keagamaan yang netral dan inklusif.
Dengan menghindari dukungan terhadap calon tertentu, Muhammadiyah dapat mencegah konflik internal, memelihara kohesi sosial di antara anggota, dan menghindari kerusakan reputasi yang mungkin timbul. Dalam hal ini, menjaga netralitas dapat dipandang sebagai tindakan yang memaksimalkan kebaikan dan kebahagiaan bagi mayoritas, yaitu dengan menjaga integritas dan kesatuan organisasi serta memberikan ruang bagi semua anggota untuk berpolitik secara independen.
Keempat, pendekatan teori kewajiban sosial Emile Durkheim. Durkheim, sebagai seorang sosiolog dan filsuf, menjelaskan bahwa institusi sosial, seperti agama dan organisasi, memiliki peran penting dalam menjaga solidaritas sosial dan keteraturan masyarakat. Muhammadiyah, sebagai organisasi sosial keagamaan, memiliki fungsi ini dalam konteks masyarakat Indonesia yang plural dan demokratis. Durkheim juga menekankan bahwa norma dan nilai bersama adalah fondasi dari kohesi sosial. Jika Muhammadiyah terlibat langsung dalam politik praktis, hal ini berisiko merusak norma bersama yang telah dijaga oleh organisasi selama ini.
Netralitas dalam politik adalah cara untuk mempertahankan kepercayaan publik terhadap Muhammadiyah sebagai pilar moral yang melampaui politik praktis dan kepentingan partisan. Dengan tidak terlibat dalam dukungan kandidat, Muhammadiyah dapat terus memainkan peran moral yang lebih besar dalam masyarakat, mendorong partisipasi politik yang sehat tanpa harus mengorbankan nilai-nilai sosial yang menyatukan.
Dari berbagai pendekatan filosofis di atas, netralitas Muhammadiyah dalam dinamika politik dapat dibenarkan sebagai pilihan yang sesuai dengan prinsip-prinsip moral, etika, dan keadilan. Dalam konteks etika politik, netralitas memungkinkan Muhammadiyah untuk terus menjadi organisasi yang inklusif dan menjaga kohesi sosial. Seperti pendekatan Kantian, Utilitarianisme, dan teori kewajiban sosial Emile Durkheim juga menegaskan bahwa netralitas ini melindungi nilai-nilai keadilan dan kebebasan anggota, sambil meminimalkan dampak negatif yang mungkin muncul dari keterlibatan politik praktis.
Sebagai organisasi yang memiliki pengaruh besar di tengah masyarakat, Muhammadiyah seharusnya menjadi contoh dalam menjaga etika politik. Muhammadiyah dapat menunjukkan bahwa mereka menghargai keberagaman pandangan dan siap untuk menjadi mediator dalam konteks politik.
Selain itu, Muhammadiyah juga dapat berperan dalam menciptakan kesadaran politik di kalangan masyarakat. Melalui program-program pendidikan politik dan diskusi publik, Muhammadiyah dapat membantu masyarakat memahami pentingnya memilih pemimpin yang berkualitas, tanpa harus terjebak dalam permainan politik praktis yang dapat merugikan.
Dalam era politik yang semakin kompleks, penting bagi Muhammadiyah untuk kembali pada prinsip-prinsip netralitas organisasi. Muhammadiyah memiliki tanggung jawab besar untuk menjaga persatuan dan kesatuan umat, serta berperan sebagai mediator dalam dinamika politik.
Dengan tetap menjaga netralitas, Muhammadiyah tidak hanya akan memperkuat posisinya sebagai organisasi sosial keagamaan yang dihormati, tetapi juga akan memberikan kontribusi positif bagi masyarakat dalam proses demokrasi. Di tengah keberagaman pandangan politik, Muhammadiyah tetap konsisten dengan nilai-nilai yang telah menjadi dasar perjuangan organisasi, yakni keadilan, kesejahteraan, dan kemaslahatan umat.
Penulis: Riki Saputra (Aktivis Muhammadiyah Sumbar)