Langgam.id – Perhimpunan Dokter Forensik dan Medikolegal Indonesia (PDFMI) akhirnya mengumumkan hasil ekshumasi jenazah Afif Maulana (13), yang ditemukan tewas di bawah jembatan Batang Kuranji, Kelurahan Pasar Ambacang, Kecamatan Kuranji, Kota Padang. Konferensi pers tersebut digelar di Mapolresta Padang, Rabu (25/9/2024). Sebelumnya, ekshumasi telah dilakukan pada Kamis (8/8/2024) satu setengah bulan lalu.
Afif ditemukan tak bernyawa pada Minggu, 9 Juni 2024. Namun, pihak keluarga dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Padang menilai ada ketidakjelasan penyebab kematiannya, sehingga meminta dilakukan ekshumasi dan investigasi lebih lanjut.
Ketua Tim Ekshumasi PDFMI, Ade Firmansyah, menyampaikan bahwa proses ekshumasi disusul dengan autopsi di Rumah Sakit M. Djamil. Selain itu, dilakukan pemeriksaan di lokasi kejadian dan analisis dari berbagai dokumen yang diperoleh dari Polresta Padang, LBH Padang, dan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).
“Hasil ini mencakup bukti ilmiah dari segi kedokteran forensik. Kami menganalisis luka-luka yang ditemukan pada jenazah, biomekanika forensik untuk menjelaskan mekanisme luka, serta mengidentifikasi penyebab dan mekanisme kematian,” kata Ade, Rabu (25/9/2024).
Ade menambahkan bahwa pemeriksaan penunjang seperti histopatologi forensik dilakukan di Laboratorium Patologi Anatomi serta di Laboratorium Forensik RSUD Dr. Soetomo. Proses analisis memakan waktu lebih lama karena sampel yang diambil berupa tulang, yang membutuhkan waktu lebih lama dalam pengolahannya.
Dalam laporannya, Tim Forensik mengidentifikasi tiga kemungkinan penyebab luka pada tubuh Afif: kecelakaan motor, jatuh dari ketinggian, dan kekerasan fisik seperti pemukulan dan penendangan.
Namun, setelah menganalisis secara mendalam, Ade mengungkapkan bahwa luka-luka di tubuh Afif lebih sesuai dengan mekanisme jatuh dari ketinggian. Luka-luka ditemukan pada lengan kiri, paha kiri, dada bawah, punggung, serta kepala bagian belakang. Luka-luka ini dinyatakan sebagai luka intravital, yang berarti terjadi saat korban masih hidup.
Ade menjelaskan bahwa luka di punggung, pinggang, dan kepala menunjukkan kesesuaian dengan mekanisme jatuh dari ketinggian. Berdasarkan perhitungan massa tubuh Afif dan ketinggian jembatan yang mencapai 14,7 meter, energi yang diterima tubuh saat jatuh dari ketinggian tersebut mencapai 7.200 joule. Energi sebesar ini, kata Ade, melebihi batas toleransi tubuh manusia, khususnya di bagian kepala dan punggung, yang menyebabkan patah tulang belakang dan luka pada jaringan otak.
“Ini merupakan very high fall, dengan luka-luka yang berkesesuaian pada tubuh korban,” tambah Ade.
Tim forensik juga menganalisis kemungkinan kekerasan fisik berdasarkan dokumen dari LPSK, yang menyebut adanya dugaan pemukulan dan penendangan. Namun, hasil autopsi tidak terlalu jelas adanya tanda-tanda kekerasan yang umum ditemukan pada kasus penganiayaan, seperti patah tulang di bagian depan tubuh atau pola luka yang acak.
“Luka yang kami temukan di tubuh Afif lebih spesifik, hampir segaris, yang menunjukkan bahwa luka ini terjadi akibat gaya yang kuat dan seragam—seperti yang terjadi saat jatuh dari ketinggian,” jelas Ade.
Dalam konferensi pers tersebut, muncul pertanyaan apakah Afif langsung meninggal setelah jatuh. Ade menjelaskan bahwa jenazah Afif ditemukan di air, namun hasil pemeriksaan tidak menemukan diatom (ganggang bersel satu) di dalam sum-sum tulang Afif, yang seharusnya ada jika ia masih hidup saat jatuh ke air.
“Hasil ini memperkuat dugaan bahwa Afif meninggal akibat luka-luka yang disebabkan oleh jatuh dari ketinggian, bukan tenggelam,” pungkas Ade.
Dengan temuan ini, Tim Forensik PDFMI menyimpulkan bahwa penyebab kematian Afif Maulana adalah akibat luka-luka berat yang terjadi karena jatuh dari ketinggian. Temuan ini diharapkan dapat menjawab pertanyaan keluarga dan memberikan kejelasan terkait penyebab kematian anak tersebut. (*/Yh)