Putusan MK Nomor 03-03/PHPU.DPD-XXII/2024 adalah mara. Putusan yang memerintahkan Pemungutan Suara Ulang (PSU) pada Pileg Anggota DPD Sumbar itu, oleh MK, adalah upaya mengakomodasi hak konstitusional Irman Gusman yang tersandung kasus korupsi atas suap kuota impor gula di tahun 2016.
Padahal terang bahwa seorang koruptor mesti melalui masa “pertaubatan” atas laku buruknya selama 5 tahun sejak keluar dari penjara. Lebih jelasnya bisa dibaca pada Putusan MK Nomor 12/PUU-XXI/202. Masalahnya, praktik pembonsaian yudikatif telah menjalar bagai sel kanker, dan MK tidak bercermin pada putusannya sendiri. Bila diperhatikan dengan saksama, laju langkah Irman Gusman hingga mendapat hadiah PSU dari MK adalah sekelumit skandal penegakan hukum yang dimulai dari kegemaran MA memberi diskon hukuman bagi koruptor.
Secara tragis, Rektor Universitas Muhammadiyah Sumbar, Riki Saputra, berupaya menghamparkan alas bagi laju Irman Gusman. Melalui tulisannya yang berjudul Irman Gusman dan Etika Politik (Langgam.id, 28/6/2024 https://langgam.id/irman-gusman-dan-etika-politik/), Riki berupaya memberi legitimasi tambahan bagi koruptor yang juga dilegitimasi Muhammadiyah Sumbar itu.
Sayangnya, legitimasi yang diberi Riki begitu ringkih dan lebih terlihat sebagai cocoklogi karena secara serampangan meletakkan teori seperti melempar kain buruk ke tengah gelanggang.
Jadi beginilah, Pak Rektor…
Untuk menganalisis sebuah kasus secara imparsial dengan kecanggihan teori sebagai pisau analisa, seorang ilmuwan tidak selayaknya mengenakan kacamata kuda untuk dapat menggunakan teori secara parsial dengan mengambil sebagian gagasan yang menguntungkan dan berpihak pada posisi politiknya.
Sebagai manusia, ilmuwan tentu juga memiliki keberpihakan politik, namun akan menjadi sebuah kecelakaan intelektual bilamana keilmuwan yang dimilikinya digunakan untuk mendalilkan sebuah teori secara serampangan untuk meligitimasi pilihan politiknya.
Secara umum, Riki mengurai konsep keadilan, etika politik dan demokrasi dalam bingkai perspektif filosofis yang amat canggih sebagai alas jalan bagi laju Irman Gusman, di mana peran hukum begitu menentukan. Ia menggunakan teori Rawls yang pada dasarnya menggariskan keadilan diniscayakan melalui pendistribusian manfaat dan beban yang proporsional di tengah masyarakat.
Oleh Riki, gagasan Rawls kemudian ditarik ke ranah kontestasi pemilu di mana semua kandidat harus memiliki kesempatan yang sama, sehingga ia berkesimpulan bahwa permohonan Irman Gusman ke MK merupakan upaya menyelematkan keadilan prosedural sekaligus mempertanyakan legitimasi proses pemilu. Lantas, bilamana Irman Gusman dibenarkan dengan alasan keadilan prosedural dan legitimasi proses pemilu, bagaimana dengan kandidat lainnya yang telah bertungkus lumus untuk memenangi kontestasi politik berbiaya mahal di negeri ini?
Bukankah sama halnya dengan politik belah bambu, untuk menyelamatkan dahaga seorang mantan narapidana korupsi harus mengorbankan 3 juta pemilih yang telah menggunakan hak pilihnya?
Amunisi ongkos politik kontestan lainnya juga telah habis digelontorkan, namun tidak bagi Irman Gusman. Ia masih memiliki celengan untuk misi politiknya. Seharusnya kenyataan ini harus dielaborasi Riki sebagai lampu kuning potensi salah alamatnya amunisi ongkos politik yang masih tersimpan di tengah kenyataan tidak lagi diperbolehkannya para kandidat untuk berkampanye. Maka kemanakah uang itu akan dialamatkan?
Bahkan Riki mengabaikan tulang punggung teori yang digunakannya, proporsionalitas distribusi manfaat dan beban. Manfaat apakah yang dicapai dengan kembalinya lebih 150 ribu petugas ke lebih dari 17 ribu TPS di Sumbar yang mesti bekerja tanpa bayaran tambahan?
Pengerahan tenaga besar itu juga menguras dana tak kurang dari 250 Miliar rupiah, hanya untuk memenuhi “keadilan” bagi seorang Irman Gusman! Jangankan menemui manfaat dan memenuhi proporsionalitas distribusi beban, PSU Pileg DPD di Sumbar justru menjadi beban, dan Riki menutup mata pada fakta itu.
Riki kemudian menambahkan teori Rousseau yang ia pinjam dari pemahaman James Swenson atas teori klasik kontrak sosial. Riki menggunakan teori kontrak sosial dalam kerangka proses demokrasi guna mencari legitimasi politik bagi Irman Gusman. Baginya, jika proses pemilihan dipandang curang atau tidak adil, legitimasi wakil yang terpilih menjadi dipertanyakan, sehingga kehendak Irman Gusman untuk PSU ia nilai sebagai usaha memulihkan legitimasi demokrasi di Sumbar.
Kalaupun ada masalah bagi kandidat yang didukung Riki, yang jadi soal bukanlah proses pemilihan namun tahapan proses menuju pemilihan. Sebab Irman Gusman bukanlah subjuk hukum atas pemilihan, ia merupakan subjek hukum atas proses menuju pemilihan.
Di sisi lain, jikalau Riki benar-benar memahami konteks kecurangan pemilu yang dikaitkan dengan teori Rousseau, sejatinya PSU justru adalah mekanisme yang lebih rentan bila dihadapkan dengan teori kontrak sosial.
Teori ini berkait erat dengan teori lainnya yang digunakan Riki, yakni kedaulatan rakyat oleh Locke, ruang publik Habermas dan teori Foucault tentang kekuasaan. Di titik ini tanpa ia sadari, sebenarnya Riki tengah menggali lubang kubur bagi argumentasinya yang dibuat-buat.
Teori Rousseau dan Locke bersifat konsensual di mana masyarakat saling berinteraksi untuk kemudian menghasilkan opini publik sebagaimana gagasan Habermas, di saat yang sama Foucault membangun teori tentang kekuasaan sebagai sebuah strategi yang bekerja bottom-up. Sedangkan PSU bagi Irman Gusman berada pada posisi yang berseberangan.
Belajar dari yang sudah-sudah, rata-rata hanya 25% dari jumlah pemilih yang menggunakan hak pilihnya pada PSU. Merujuk data KPU di pemilu lalu, dari 4 jutaan DPT di Sumbar, hanya 3 jutaan yang menggunakan hak pilihnya. Dengan rasio tersebut dan rata-rata pemilih di PSU, Riki bisa berhitung berapa kira-kira DPT yang akan menggunakan hak pilihnya.
Di sinilah lubang kubur bagi argumentasi Riki, bagaimanakah cara Riki membenarkan legitimasi elektoral bagi Irman Gusman bilamana mekanisme politik representasi yang dimenanginya kelak tidak berasal dari setidaknya 50% pemilih yang menggunakan haknya? Bukankah hal itu jelas-jelas bertentangan dengan teori-teori canggih yang digunakan Riki?
Bahkan praktik politik tungkus lumus yang dilakoni Irman Gusman sehingga menghasilkan PSU justru menyimpangi teori kekuasaan Foucault di mana representasi terbentuk dari fenomena rasio golput yang besar.
Secara simultan cara kerja kekuasaan justru tidak lagi menyebar dalam arus wacana yang ditentukan masyarakat, melainkan bertumpu pada sekelompok elit yang membentuk entitas kekuasaan menunggal.
Logika di atas sekali jalan juga dapat mempertanyakan cocoklogi Riki lainnya tentang prinsip universal sebagai standar kebenaran. Universalitas macam apakah itu, Pak Rektor? Justru etika politik di iklim demokrasi gersanglah yang kian dikering-kerontangkan oleh Irman Gusman, dan teori sembarang kena Riki turut andil di dalamnya.
Bahkan bilamana kembali menggunakan teori Kant yang menekankan pentingnya kejujuran dan integritas dalam tindakan publik, redaksional Pengumuman Jati Diri Irman Gusman justru minim kejujuran dan integritas. Lihatlah bagaimana redaksional Pengumuman Jati Diri yang lebih terbaca sebagai upaya framing-playing victims dan pembelaan diri. Irman Gusman justru tidak jantan mengakui dirinya adalah mantan narapidana kasus korupsi, alias koruptor.
Silakan Riki mencari dan memaparkan di manakah letak kejujuran dan integritas di dalamnya.
Implikasi sosial dan politik yang dihasilkan memang begitu luas, namun tidak seperti pandangan Riki dengan teori canggihnya yang kelewat imajinatif, bahwa implikasinya justru disruptif. Akibat yang dipicu hanya kesadaran masyarakat tentang kontestasi manipulatif yang dijalankan demi kepentingan personal Irman Gusman.
Riki Saputra benar sepanjang dalil bahwa pemilu mesti dijalankan dengan ideal, namun menggunakan teori secara serampangan untuk membentangkan jalan bagi langkah Irman Gusman justru adalah senjata makan tuan baginya.
Riki terlalu tinggi, ia bagai hidup di awang-awang bersama bayang-bayang Irman Gusman yang terzalimi. Ia terjebak dalam fantasi politik di tengah kerontang iklim demokrasi. Alih-alih membentangkan karpet merah, tulisan Riki lebih berupa lapik buruk yang dibentangkan demi Irman Gusman.
Pada akhirnya, Riki agaknya perlu mengamati lebih jauh apakah PSU bagi satu orang Irman Gusman yang memaksa kembalinya lebih 150 ribu petugas ke lebih dari 17 ribu TPS di Sumbar untuk bekerja tanpa bayaran tambahan, dan gelontoran uang tak kurang dari 250 Miliar rupiah telah sejalan dengan teori utilitarianisme Bentham.
Kata dibalas kata, tulisan dibalas tulisan. Dan gelanggang telah dibuka. Salam!
Ilhamdi Putra, namanya ada dalam DPT tapi tidak akan memilih koruptor sebagai wakilnya dalam politik representasi yang compang-camping.