Antara Kehendak Rakyat dan Kehendak Pusat

Gagasan mencari kepala daerah yang dapat melobi pemerintah pusat merupakan gagasan demokrasi yang sesat, atau defisit demokrasi kata ilmuan

Muhammad Nasir.

Gagasan mencari kepala daerah yang dapat melobi pemerintah pusat merupakan gagasan demokrasi yang sesat, atau defisit demokrasi kata ilmuan politik Winter (2014). Hal ini karena konsep dasar dari demokrasi adalah kedaulatan rakyat dan pemisahan kekuasaan yang jelas antara pemerintah pusat dan daerah.

Aktivitas lobi (lobbying) sebenarnya bagus dalam konteks bisnis dan komunikasi. Tetapi dalam konteks demokrasi, misalnya dalam momen politik elektoral semisal pilkada, alasan memilih calon yang disandarkan pada kriteria kedekatan calon kepada daerah yang dekat pemerintah pusat semata, bukan tidak mungkin menjadi instrumen untuk mengukuhkan persenyawaan ganjil antara kepentingan penguasa politik pusat dan penguasa politik daerah dalam tema otonomi daerah. 

Sejatinya, pilkada hanya instrument untuk mencari kepala daerah yang “diinginkan” oleh rakyat setempat tanpa harus dibenturkan dengan konsep atau isu-isu “kepentingan pusat” dan “kepentingan daerah.” Tapi apa boleh buat, ini pula “cara main” elit politik pusat dan elit politik daerah di musim-musim pilkada ini.

Mengapa gagasan tersebut dianggap tidak sesuai dengan prinsip demokrasi yang benar? Setidaknya ada beberapa alasan yang dapat ditimbangulang dan diinapmenungkan. Di antaranya;

Pertama, hal itu merupakan bentuk penyelewengan prinsip representasi kehendak rakyat. Kata JJ Rousseau dalam bukunya The Social Contract (1762), pemerintah yang adil dan berdaulat adalah hasil dari kontrak sosial antara rakyat. Selain itu demokrasi menghendaki bahwa kepala daerah dipilih berdasarkan kemampuan mereka untuk memenuhi kebutuhan dan aspirasi rakyat di daerahnya.

Jika fokusnya pada kemampuan melobi pemerintah pusat, tentu saja hal ini mengalihkan perhatian dari kebutuhan rakyat daerah dan mengabaikan kualitas kepemimpinan serta komitmen kepala daerah untuk melayani masyarakatnya. Alih-alih mewujudkan representasi atau kehendak rakyat daerah, justru menjadi ajang penyesuaian diri (adjustment) kepala daerah dengan pemerintahan pusat.

Kedua, Melanggar prinsip desentralisasi. Jika kepala daerah dipilih berdasarkan kemampuan melobi, maka ada kemungkinan konsentrasi kekuasaan akan kembali ke pemerintah pusat. Hal ini tentu bertentangan dengan prinsip desentralisasi yang merupakan salah satu pilar demokrasi modern, di mana daerah memiliki otonomi untuk mengelola urusan rumah tangganya sendiri tanpa harus bergantung secara berlebihan pada pemerintah pusat. 

Merujuk Eko Prasodjo (2015), desentralisasi sebagai asas dalam penyelenggaraan pemerintahan disebabkan oleh fakta bahwa tidak semua urusan pemerintahan dapat diselenggarakan secara sentralisasi, mengingat kondisi geografis, kompleksitas perkembangan masyarakat, kemajemukan struktur sosial dan budaya lokal serta adanya tuntutan demokratisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan.

Ketiga, berpotensi menyuburkan nepotisme dan korupsi (lagi). Vedi R Hadiz (2005) bahkan menulis, baru saja reformasi dijalankan, aroma politik oligarki, otoritarianisme pemerintah pusat dan praktik kekerasan (intimidasi) elit politik pusat terhadap elit politik local sudah mulai terasa. Mungkin akhir-akhir ini terasa sangat aroma politik oligarki berbasis koncoisme, orang dekat, atau orang dalam di pemerintahan pusat cendrung menjadi penentu keberhasilan pemerintah daerah mendapatkan anggaran. 

Karena itu, mendorong kepala daerah untuk melobi pemerintah pusat cenderung membuka peluang lebih besar untuk praktik korupsi dan nepotisme. Proses lobi sering kali tidak transparan dan rentan terhadap suap serta penyalahgunaan kekuasaan. Kepala daerah yang fokus melobi pusat mungkin lebih tergoda untuk mengamankan keuntungan pribadi atau kelompok tertentu daripada memperjuangkan kepentingan publik.

Keempat, berpotensi mengabaikan partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan politik. Namun, jika kepala daerah dipilih berdasarkan kemampuan melobi, maka partisipasi rakyat dalam menentukan arah pembangunan daerah menjadi terpinggirkan. Keputusan-keputusan penting mungkin lebih banyak dipengaruhi oleh kepentingan elit politik, elit kapitalis pusat ataupun daerah daripada mempertimbangkan aspirasi masyarakat luas.

Kelima, membunuh efektivitas efisiensi dan kinerja aparatur pemerintahan daerah. Kepala daerah yang terfokus pada melobi pemerintah pusat mungkin mengabaikan tugas-tugas pokok dalam pengelolaan daerah. Tetapi, efek dominonya tentuperlu ditimbang-timbang. Misalnya, birokrasi  yang diisi oleh aparatur sipil negara tentu kehilangan daya kreativitas, kurang efektif dan efisien dalam menjalankan program-program pembangunan dan pelayanan public karena terlalu bergantung kepada arahan kepala daerah. 

Keadaan seperti ini oleh Di Maggio dan Powell (1983) dalam teori institusionalnya diistilahkan dengan Coercieve Isomosphism. Di mana birokrasi yang diselenggarakan hanya formalitas. Di Sumatera Barat kondisi seperti ini digambarkan dengan ungkapan, sia laki amak awak, itulah apak awak (Siapapun suami ibu kita adalah bapak kita). Suatu gambaran sikap aparatur birokrasi yang terlihat naif dan putus asa dibandingkan sebuah sikap patuh dan loyalitas aparatur. 

Dalam demokrasi yang sehat, kepala daerah seharusnya dipilih berdasarkan visi, kompetensi, dan integritas mereka untuk memajukan daerahnya. Ketergantungan yang berlebihan pada kemampuan melobi hanya akan merusak prinsip-prinsip demokrasi dan berpotensi merugikan masyarakat yang seharusnya menjadi penerima manfaat utama dari pemerintahan yang baik. 

Oleh karena itu, gagasan mencari kepala daerah yang semata berdasarkan dapat melobi pemerintah pusat perlu ditimbang ulang. Kalaupun itu perlu cukup dijadikan salah satu nilai plus dari seorang calon. Tentu saja demi menjaga kemurnian dan kesehatan demokrasi. 

Misi tulisan inipun sebenarnya hanya untuk mengatakan bahwa pembangunan adalah hak semua warga negara, karena telah berpartisipasi membayar pajak untuk menopang sekitar tujuh persen sumber keuangan negara. Kecuali pemungutan pajak terhadap warga negara juga didasarkan pada persentase kemenangan politik elektoral di pemilu legislative dan pemilu presiden yang baru berlalu.

Misalnya, daerah yang tidak memberi sumbangan suara besar untuk partai penguasa atau penguasa itu sendiri dikenakan pajak tinggi, atau malah tidak dihitung sebagai wajib pajak. 

Tetapi karena bukan begitu kejadian yang sebenarnya, maka pertanyaanpun mesti perlu diganti menjadi, “Apakah untuk mendapatkan hak itu orang daerah perlu lobi-lobi pusat pula?” Semestinya tidak. Karena rakyat punya mulut, pemerintah punya kuping. Pemerintah yang sehat sangat paham kehendak rakyat. 

Muhammad Nasir, Mahasiswa S3 Studi Islam Pascasarjana UIN Imam Bonjol Padang

Baca Juga

Jelang tahapan pemungutan dan penghitungan suara, KPU Sumbar menggelar sosialisasi terkait regulasi pemungutan dan penghitungan suara Pilkada
Minimalisir Pemungutan Suara Ulang, KPU Sumbar Gencar Sosialisasi Pilkada
Sebanyak 1.487 Pengawas Tempat Pemungutan Suara (PTPS) dilantik oleh Bawaslu Kota Padang. Para pengawas ini bakal ditempatkan di setiap TPS
Cegah Potensi Pelanggaran saat Pilkada, Bawaslu Padang Lantik 1.487 PTPS
DPW LDII Sumbar mengelar Rapat Koordinasi Wilayah (Rakorwil). Acara tersebut diselenggarakan di Ponpes Miftahul Huda, Padang, Sumbar.
Berprinsip Netral Aktif, LDII Sumbar Dorong Warganya Gunakan Hak Pilih di Pilkada
Bawaslu memilih Padang Barat sebagai Kampung Pengawasan Partisipatif untuk Pilkada yang akan berlangsung pada 27 November 2024 nanti.
Padang Barat Dipilih Sebagai Kampung Pengawasan Partisipatif, Ini Alasannya
Sebanyak 684.475 lembar surat suara untuk Pemilihan Wali Kota dan Wakil Wali Kota Padang Tahun 2024 dari Semarang sudah diterima oleh KPU
684.475 Surat Suara Tiba di Gudang KPU Padang, Sortir dan Lipat Dijadwalkan Pekan Depan
Paling tidak kita dapat mengetahui partai politik mana yang memiliki mesin politik yang tangguh di akar rumput.
Mesin Partai vs Relawan Calon Kepala Daerah