Fluktuasi iklim bisa mengakibatkan perubahan dalam pola musim, tanpa kepastian mengenai kapan musim kemarau atau musim hujan akan terjadi. Karena hal ini, para petani menjadi sangat rentan terhadap kekeringan atau kegagalan panen.
Perubahan iklim telah menjadi masalah yang signifikan bagi para petani dalam menjalankan usaha pertanian mereka. Sebagai akibatnya, mereka cenderung lebih memilih menanam tanaman yang lebih tahan terhadap kekeringan seperti ubi, jagung, terung, dan lainnya, daripada memilih padi sawah.
Hal ini telah mengubah pola tanam di lahan pertanian dan secara langsung berdampak pada penurunan produktivitas pertanian saat terjadi kekurangan air. Adapun tantangan yang dihadapi oleh petani, seperti kelebihan air saat musim hujan dan kekurangan air saat musim kemarau, menunjukkan bahwa sistem irigasi dan drainase di lahan pertanian masih belum cukup handal untuk mengatasi kondisi tersebut.
Tantangan utama sebenarnya adalah menentukan timing yang tepat untuk memulai penanaman, sehingga pertumbuhan tanaman tidak terhambat oleh kekeringan atau banjir. Petani perlu mengakui adanya perubahan kondisi ini dan bersedia untuk mengubah pola tanam yang sudah lama mereka terapkan. Tantangan terbesar terletak pada keengganan untuk menerima hal baru serta fakta bahwa kondisi iklim telah berubah.
Selain itu, diperlukan optimalisasi manajemen sistem irigasi dengan menghidupkan kembali peran Persatuan Petani Pengguna Air (P3A) atau kelompok tani yang bertanggung jawab atas pembagian air dan penjadwalan pola tanam. Hal ini sangat penting untuk mencegah konflik terkait penyaluran air yang terbatas.
Untuk mengantisipasi perubahan iklim, penting untuk mendorong pendekatan teknologi berbasis kearifan lokal, seperti menghidupkan kembali tabek-tabek gadang di Sumatra Barat. Saat ini, banyak tabek gadang yang telah dialihfungsikan untuk kegunaan lain, namun dapat dimanfaatkan kembali sebagai solusi adaptasi terhadap perubahan iklim.
Saat ini, pemerintah telah memulai program pembangunan 1000 embung sejak tahun 2022 di berbagai wilayah. Namun, respons terhadap program ini hanya terlihat dari sebagian kepala daerah, karena kurangnya perencanaan yang matang dalam pengembangan embung.
Di sisi lain, pada tingkat petani atau kelompok tani, disarankan untuk mempertimbangkan pembuatan kolam retensi atau sumur bor guna membantu memenuhi kebutuhan air tanaman saat musim kemarau yang panjang.
Dalam konteks pengelolaan sumber daya air yang terbatas dan terpengaruh oleh perubahan iklim, penting bagi petani atau kelompok tani untuk memiliki kesamaan visi. Pendekatan berbasis kearifan lokal, seperti musyawarah dan mufakat, perlu dipertimbangkan dalam mengatur jadwal tanam dan pola tanam, khususnya saat musim kemarau.
Diperlukan juga pengaturan dan pembagian air irigasi yang efektif dan efisien untuk mencegah konflik terkait air, terutama menjelang musim kemarau. Misalnya, pembagian air irigasi dapat dilakukan secara bergantian antara siang dan malam, dimana air dialirkan pada bagian hulu pada siang hari untuk mengurangi penguapan, sementara pada bagian hilir dialirkan pada malam hari untuk menghindari penguapan yang tinggi.
Salah satu pendekatan dalam pembagian air berdasarkan luas area, seperti yang dilakukan pada sistem irigasi paraku di Nagari Situgar, telah terbukti mampu bertahan hingga saat ini dengan menjaga keseimbangan dalam distribusi air.
Pendekatan irigasi terputus-putus (intermittent irrigation) juga dapat menjadi solusi untuk pengaturan pemberian air irigasi. Dalam metode ini, tinggi muka air sawah diatur dengan kedalaman 5 - 10 cm, kemudian air irigasi dihentikan sampai tidak ada genangan yang tersisa, lalu proses penggenangan kembali diulang. Pendekatan ini dapat membantu dalam pemerataan distribusi air irigasi dari bagian hulu hingga hilir.
Diperlukan kebijakan dan regulasi yang mendukung pertanian dalam beradaptasi dan bermitigasi terhadap perubahan iklim. Dinas pertanian telah menyusun jadwal tanam yang sesuai dengan kondisi iklim lokal di setiap daerah.
Hal ini memberikan petani pedoman untuk melaksanakan kegiatan budidaya. Selain itu, reaktivasi P3A atau GP3A dan lembaga lokal lainnya untuk pengelolaan air irigasi juga perlu dilakukan.
Pentingnya ketersediaan dan akses informasi data klimatologi yang terus diperbaharui dan tepat waktu tidak boleh diabaikan. Data ini menjadi acuan bagi peneliti dalam menganalisis dan mengambil keputusan.
Selain itu, isu alih fungsi lahan juga perlu mendapat perhatian, baik melalui peraturan daerah maupun peraturan perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan (LP2B).
Hal ini penting agar investasi yang telah dilakukan untuk mitigasi perubahan iklim tidak sia-sia karena digunakan untuk kepentingan lain oleh petani.
Rahmi Awalina, S.TP.,MP
Dosen Teknik Pertanian dan Biosistem, Fateta – Univ. Andalas