Perubahan iklim, sebagai konsekuensi tak terhindarkan dari pemanasan global, dipercaya akan memiliki dampak yang merata di berbagai aspek kehidupan, termasuk sektor pertanian. Perubahan dalam pola curah hujan, peningkatan frekuensi kejadian iklim ekstrem, serta peningkatan suhu udara dan permukaan air laut adalah dampak serius yang dihadapi oleh Indonesia akibat perubahan iklim.
Sektor pertanian menjadi salah satu yang paling terdampak, meskipun sumbangan emisi dari sektor ini relatif kecil, namun dampak yang dirasakan sangat besar. Perubahan pola curah hujan dan kenaikan suhu udara menyebabkan penurunan signifikan dalam produksi pertanian.
Kejadian iklim ekstrem, seperti banjir dan kekeringan, semakin memperluas wilayah tanaman yang gagal panen. Selain itu, peningkatan permukaan air laut mengakibatkan penyusutan lahan sawah di daerah pesisir dan kerusakan tanaman karena tingkat salinitas yang meningkat. Menghadapi dampak perubahan iklim yang signifikan, diperlukan upaya aktif melalui strategi mitigasi dan adaptasi.
Teknologi mitigasi bertujuan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dari sektor pertanian dengan memanfaatkan varietas tanaman rendah emisi dan teknologi pengelolaan air dan lahan. Sementara itu, teknologi adaptasi termasuk penyesuaian waktu tanam, penggunaan varietas unggul yang tahan terhadap kekeringan dan salinitas, serta pengembangan teknologi pengelolaan air.
Musim kering kali ini menimbulkan sensasi panas yang menyengat. Sinar matahari terasa sangat menyengat dan menghangatkan. Air permukaan di berbagai tempat seperti waduk, danau, embung, dan sawah mengalami penurunan drastis, mengering dengan cepat.
Di beberapa lokasi, tanaman layu dan mati terpapar sinar matahari yang menyengat. Perubahan dari suhu yang moderat menjadi suhu yang sangat tinggi, kering, dan tandus membuat kekeringan kali ini terasa sangat parah. Diperparah dengan adanya El Nino yang moderat, periode dengan penguapan air yang sangat tinggi diperkirakan akan berlangsung hingga Desember mendatang.
Air hujan diprediksi akan menjadi satu-satunya sumber air untuk menjaga kelangsungan hidup masyarakat, diperkirakan baru akan turun menjelang akhir tahun. Dari tiga sektor yang menggunakan air, yaitu sektor municipal, pertanian, dan industri, sektor pertanian akan menjadi yang paling terpukul oleh dampak kekeringan.
Kegiatan pertanian sangat bergantung pada alam yang tidak sepenuhnya dapat dikendalikan oleh teknologi. Ketika air tidak tersedia, ancaman kecil pun menghantui kehidupan para petani. Mereka berisiko mengalami kemiskinan jika mata pencaharian utama mereka terganggu.
Siklus kejadian ini perlu diputus, dan salah satu caranya adalah dengan membangun sistem pertanian yang mampu beradaptasi dengan perubahan iklim.
Metode ini dapat dilakukan melalui upaya struktural maupun non-struktural. Ada lima langkah dalam upaya non-struktural ini. Pertama, adalah pemetaan komoditas yang sesuai dengan iklim. Setiap jenis tanaman, termasuk tanaman pangan, memiliki kebutuhan akan kondisi tanah dan cuaca yang spesifik. Pemetaan komoditas yang sesuai dengan iklim akan memastikan tingkat produktivitas yang tinggi.
Konsep ini sudah diterapkan sejak masa penjajahan Hindia Belanda, sebelum isu perubahan iklim menjadi perhatian utama. Keberhasilan Thailand dalam pengembangan pertanian tidak lepas dari penerapan konsep ini.
Musim kering kali ini menimbulkan sensasi panas yang menyengat. Sinar matahari terasa sangat menyengat dan menghangatkan. Air permukaan di berbagai tempat seperti waduk, danau, embung, dan sawah mengalami penurunan drastis, mengering dengan cepat. Di beberapa lokasi, tanaman layu dan mati terpapar sinar matahari yang menyengat.
Perubahan dari suhu yang moderat menjadi suhu yang sangat tinggi, kering, dan tandus membuat kekeringan kali ini terasa sangat parah. Diperparah dengan adanya El Nino yang moderat, periode dengan penguapan air yang sangat tinggi diperkirakan akan berlangsung hingga Desember mendatang.
Air hujan diprediksi akan menjadi satu-satunya sumber air untuk menjaga kelangsungan hidup masyarakat, diperkirakan baru akan turun menjelang akhir tahun. Dari tiga sektor yang menggunakan air, yaitu sektor municipal, pertanian, dan industri, sektor pertanian akan menjadi yang paling terpukul oleh dampak kekeringan.
Kegiatan pertanian sangat bergantung pada alam yang tidak sepenuhnya dapat dikendalikan oleh teknologi. Ketika air tidak tersedia, ancaman kecil pun menghantui kehidupan para petani. Mereka berisiko mengalami kemiskinan jika mata pencaharian utama mereka terganggu. Siklus kejadian ini perlu diputus, dan salah satu caranya adalah dengan membangun sistem pertanian yang mampu beradaptasi dengan perubahan iklim.
Metode ini dapat dilakukan melalui upaya struktural maupun non-struktural. Ada lima langkah dalam upaya non-struktural ini. Pertama, adalah pemetaan komoditas yang sesuai dengan iklim. Setiap jenis tanaman, termasuk tanaman pangan, memiliki kebutuhan akan kondisi tanah dan cuaca yang spesifik. Pemetaan komoditas yang sesuai dengan iklim akan memastikan tingkat produktivitas yang tinggi. Konsep ini sudah diterapkan sejak masa penjajahan Hindia Belanda, sebelum isu perubahan iklim menjadi perhatian utama. Keberhasilan Thailand dalam pengembangan pertanian tidak lepas dari penerapan konsep ini.
Kedua, mengembangkan berbagai jenis dan varietas tanaman yang memiliki siklus hidup singkat, hasil tinggi, dan toleransi terhadap tekanan lingkungan seperti perubahan suhu udara, kekeringan, banjir, tingginya kadar garam (salinitas) dan racun, serta serangan hama dan penyakit. Badan Litbang Kementerian Pertanian telah berhasil menghasilkan puluhan varietas tanaman pangan seperti padi, jagung, dan kedelai yang memiliki sifat-sifat tersebut, termasuk ketahanan terhadap berbagai hama dan penyakit, serta tidak memerlukan unsur hara yang berlebih. Pemerintah harus memastikan bahwa berbagai varietas ini diadopsi oleh petani dengan memastikan ketersediaan dan penyampaian informasi yang lengkap.
Ketiga, menggunakan informasi iklim sebagai dasar untuk menyusun perencanaan dan mengambil keputusan. Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi telah membangun jaringan stasiun iklim otomatis di tujuh provinsi yang merupakan pusat produksi pertanian. Data dari stasiun ini dapat diolah menjadi informasi iklim, seperti perkiraan curah hujan, peta musim kemarau, dan musim hujan. Dengan informasi iklim ini, perkiraan curah hujan bulanan 3-6 bulan ke depan dapat dibuat, serta musim kemarau atau musim hujan dapat diprediksi, yang dapat digunakan untuk merencanakan pola tanam. Informasi ini dapat diakses melalui internet. Bagaimana caranya informasi yang vital ini dapat diakses atau diterima oleh petani sehingga dapat diinterpretasikan dalam rencana penanaman? Sekolah lapang tentang iklim bisa menjadi media yang efektif.
Keempat, mengembangkan teknologi pengolahan tanah dan tanaman untuk meningkatkan kemampuan adaptasi tanaman. Teknologi tanpa pengolahan tanah, misalnya, dapat mengurangi emisi gas metana sebesar 31,5%-63,4% dibandingkan dengan pengolahan tanah yang sempurna. Irigasi yang berlangsung secara terputus-putus atau disebut irigasi macak-macak, selain dapat menghemat air, juga berperan dalam mengurangi emisi gas metana sebesar 34,3%-63,8% dibandingkan dengan irigasi yang terus-menerus. Teknik irigasi macak-macak, seperti yang digunakan dalam praktik sistem intensifikasi padi, dapat menghasilkan penghematan air yang signifikan.
Kelima, upaya untuk mengembangkan sistem perlindungan bagi usaha tani dari dampak perubahan iklim melalui asuransi cuaca pertanian. Seringkali, meskipun teknologi pertanian yang tahan terhadap tekanan iklim telah tersedia, namun tingkat adopsinya masih rendah. Hal ini disebabkan oleh ketidakpastian bahwa teknologi baru tersebut dapat berhasil mengatasi tekanan iklim atau meningkatkan pendapatan petani. Pengenalan asuransi pertanian oleh Kementerian Pertanian diharapkan dapat mempercepat adopsi teknologi baru yang tahan terhadap tekanan iklim. Untuk membantu petani, pemerintah dapat memberikan subsidi pada premi asuransi cuaca agar adopsinya lebih cepat. Meskipun upaya nonstruktural ini penting, namun tidak cukup untuk menjamin keberhasilan usaha tani, menjaga kesejahteraan petani, dan memastikan kecukupan pangan.
Selain perubahan iklim, ada tiga ancaman nyata yang mempengaruhi kemampuan Indonesia dalam menyediakan pangan di masa depan: pertumbuhan jumlah penduduk yang tinggi, kemiskinan dan kekurangan petani, serta konversi lahan pertanian menjadi non-pertanian yang tidak terkendali. Berdasarkan perhitungan Boer et al (2009), dengan asumsi laju konversi lahan sebesar 0,77% per tahun (30 ribu hektar per tahun) dan indeks pertanaman (IP) tetap, ditemukan penurunan total produksi padi di Jawa mencapai 6 juta ton pada tahun 2025 dan 12 juta ton pada tahun 2050 jika dibandingkan dengan tingkat produksi saat ini akibat kenaikan suhu dan konversi lahan saat ini.
Jika konversi lahan sawah dapat dihindari, dampak negatif dari kenaikan suhu terhadap produksi padi di Jawa pada tahun 2025 dan 2050 dapat dikurangi dengan meningkatkan IP padi sebesar 10%-20% dan 20%-30% dari IP saat ini. Namun, jika konversi lahan terus berlanjut pada kecepatan 0,77% per tahun, peningkatan IP tidak akan cukup efektif dalam mengurangi dampak negatif kenaikan suhu. Hal ini menunjukkan bahwa adaptasi terhadap iklim tidak hanya memerlukan usaha nonstruktural, tetapi juga usaha struktural yang meliputi perbaikan dan pembangunan infrastruktur seperti saluran drainase, pengendali banjir, waduk, irigasi, pengembangan teknologi pemanenan air hujan, rehabilitasi wilayah hujan, perluasan lahan baru, dan menghentikan konversi lahan pertanian.
Usaha-usaha struktural dan nonstruktural dilakukan untuk memastikan dua hal sekaligus. Pertama, untuk menjamin pasokan air dengan memelihara sumber-sumber air dan mempertahankan luasan catchment area (hutan, dll), serta memberikan kesempatan bagi air hujan untuk meresap ke dalam tanah. Kedua, untuk meningkatkan hasil produksi air dengan mengembangkan jenis, komposisi, dan proporsi serta penempatan tanaman yang ditanam sehingga dapat meningkatkan pendapatan petani sambil mengurangi kemungkinan konflik air yang disebabkan oleh kekeringan.
Dengan menggabungkan upaya struktural dan nonstruktural, kita dapat membangun sistem pertanian yang dapat beradaptasi dengan perubahan iklim. Sistem pertanian seperti ini akan menjadi benteng pertahanan bagi petani agar tidak terlalu menderita akibat perubahan iklim.
Rahmi Awalina, STP.,MP
Dosen Teknik Pertanian dan Biosistem - Fateta Univ.Andalas