Indonesia merupakan negara hukum, semua diatur berdasarkan hukum-hukum yang telah ditetapkan. Terdapat hukum-hukum yang menjadi acuan hukuman salah satunya yaitu hukuman mati, dalam hukum Indonesia masih terdapat Undang-Undang tentang hukum mati pasal 100 Undang-Undang Nomor 1 tahun 2023 tentang KUHP. Pasal 100 ayat 1 KHUP mengatur tentang hakim menjatuhkan pidana mati dengan masa percobaan selama 10 tahun dengan memerhatikan rasa penyesalan terdakwa dan ada harapan untuk memperbaiki diri atau peran terdakwa dalam tindak pidana. Hukum mati ini tentunya memunculkan pro dan kontra dari masyarakat, adanya kontra dari masyarakat yaitu Indonesia merupakan negara yang mengakui eksistensi hak asasi manusia, dan ketika hukuman mati ini dilaksanakan itu akan bertentangan dengan hak asasi manusia yang melanggar prinsip kemanusiaan yang adil dan beradab.
Hal ini juga ditegaskan dalam pasal 28 A UUD 1945 bunyinya “setiap orang berhak untuk hidup serta mempertahankan hidup dan kehidupannya” selain itu hukuman mati dinilai tidak dapat menghilangkan rantai kejahatan. Pro dari masyarakat yaitu masyarakat yang setuju dengan hukuman mati ini menganggap bahwa ketika dijatuhi hukuman ini akan memberikan efek jera kepada pelaku yang mana masyarakat khawatir jika tidak dihukum mati pelaku akan melakukan tindaknya berulang dan dengan cara ini orang yang melakukan tindakan yang sama akan lebih takut dan mengurungkan niatnya untuk melakukan kejahatan itu. Ketika vonis hukuman mati dijatuhkan terdapat upaya hukum yang dapat dilakukan oleh terpidana, yaitu banding, kasasi, peninjauan kembali.
Perdebatan mengenai penerapan hukuman mati ini akan terus menjadi sorotan dan tantangan dalam sistem peradilan Indonesia. Dalam KUHP saat ini, tindakan-tindakan yang dapat dijatuhi hukuman mati yaitu narkotika, korupsi, terorisme, dan kejahatan terhadap keamanan negara. Akhir-akhir ini banyak terjadi tindakan korupsi, yang mana kita tahu bahwa korupsi adalah tindakan yang merugikan negara. Ada kasus korupsi yang dilakukan oleh Dicky Iskandar dan rekannya, Dicky Iskandar terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi yang dilakukan secara bersama-sama dan berlanjut dalam membobol BNI Cabang Kebayoran Baru. Awalnya Dicky Iskandar Iskandar dituntut oleh jaksa penuntut umum yaitu hukuman mati, tetapi akhirnya Dicky Iskandar divonis hukuman 20 tahun penjara. Sebagaimana, Ketentuan pidana mati diatur dalam Pasal 2 Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) yaitu ayat (1) UU Tipikor menyebutkan “setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dipidana dengan pidana penjara minimal 4 tahun dan maksimal 20 tahun dan denda paling sedikit 200 juta rupiah dan paling banyak 1 miliar rupiah.” Ayat 2 uang bunyinya “Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu pidana mati dapat dijatuhkan.”
Menurut pandangan penulis, hukuman mati tidak sejalan dengan yang disebutkan dalam pasal 28 ayat 1 UUD 1945 yang berbunyi “Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun.” Selain itu, hukum mati juga tidak akan memutus kejahatan dan juga tidak akan memberikan efek jera, malahan akan memberikan trauma psikologis kepada keluarga menjelang dihukum mati tersebut.
Oleh karena itu, saya setuju tentang Undang-Undang KUHP yang baru tentang adanya alternatif dari hukuman mati, ketentuan hukuman mati yang diatur pada pasal 66 RKUHP bukan lagi menjadi pidana pokok tetapi terpisah sendiri dari ketentuan pidana pokok. Pemisah ini bertujuan untuk memastikan bahwa hukuman mati digunakan sebagai upaya terakhir untuk memberantas kejahatan. Hukuman mati merupakan pidana khusus yang dijatuhkan terhadap kejahatan yang termasuk dalam kategori kejahatan berat khususnya.
*Penulis: Cindi Gusrialnita (Mahasiswi Departemen Ilmu Politik FISIP Universitas Andalas)