Langgam.id - Fadhilah Tsani membolak-balikkan berkas pengaduan kasus yang menerpa RK (16) ke pelbagai lembaga berwenang, saat disambangi di kantornya di Padang Panjang, Minggu (16/7/2023). Ia memperlihatkan lembaran pengaduan demi meraih rasa keadilan bagi RK, anak yang dituduh mencuri kendaraan bermotor, namun diduga mengalami penyiksaan oleh penyidik.
Ia optimistis ikhtiar demikian menjadi jalan keadilan bagi RK.
RK ditangkap oleh Satuan Reskrim Polres Padang Panjang, Senin (6/3/2023). Berdasarkan Surat Perintah Penangkapan nomor Sp.Kap/20/III/2023/Reskrim Polres Padang Panjang, tertanggal 6 Maret 2023, RK dituduh melakukan dua kali pencurian sepanjang tahun 2021 dan 2022.
Pertama terjadi pada hari Kamis tanggal 9 Desember 2021, sekira pukul 05.00 WIB. Bertempat di Garase Rumah Jalan M. Nazir Dt. Pamuncak Rt. 21, Kelurahan Silaing Bawah, Kecamatan Padang Panjang Barat, Kota Padang Panjang. Barang yang dilaporkan hilang adalah sepeda motor merek Honda Scoopy berwarna hitam putih.
Tuduhan kedua perihal hilangnya sepeda motor bermerek Honda Beat pada hari Jum'at tanggal 7 Oktober 2022, sekira pukul 07.30 WIB. Bertempat di parkiran teras rumah Jalan Sutan Syahrir, gang Manunggal Rt. 010, Kelurahan Silaing Bawah, Kecamatan Padang Panjang Barat, Kota Padang Panjang.
Belakangan RK di vonis bebas oleh pengadilan, karena tidak terbukti bersalah melakukan pencurian sepeda motor. Namun, dugaan kekerasan yang ia dapati selama proses penyidikan mewariskan trauma yang tak berkesudahan, dan juga merusak nama baik keluarga.
Selain berkirim surat ke Karo Provos Divpropam Polri, Fadhilah juga mendampingi keluarga RK mengadu ke Komnas HAM Perwakilan Sumatera Barat (Sumbar) di Padang.
Intinya, mereka meminta perlindungan kepada Komnas HAM Sumbar atas kasus dugaan penganiayaan yang dialami adiknya, RK (16) oleh penyidik Polres Padang Panjang. Selain ke Komnas HAM, Fadhilah juga mengirim laporan terkait dugaan penyiksaan kepada Ombudsman Perwakilan Sumatera Barat. Semua ini adalah ikhtiar bagi keluarga RK untuk mendapatkan keadilan yang layak.
Kepala Perwakilan Ombudsman Sumatera Barat (Sumbar) Yefri Heriani, mengatakan, pihaknya telah melakukan pemeriksaan terkait laporan tersebut. Utamanya perihal pengabaian Standar Operasional Prosedur (SOP) dan indikasi dugaan keterlambatan penanganan.
"Pertama, kita kirimkan ke Provos untuk minta tolong dilakukan pemeriksaan. Setelah itu kita lakukan pemeriksaan langsung kepada pihak-pihak terkait. Baik itu reskrim yang ado di Polres Padang Panjang atau pun klarifikasi kepada Propam," ucap Yefri kepada Langgam.id di kantor Ombudsman perwakilan Sumbar, Selasa (18/7/2023).
Ombudsman dalam hal ini belum bisa menyampaikan apakah ada pelanggaran atau tidak. Sebab, laporan tersebut masih dalam tahap pemeriksaan. Pihaknya masih dalam upaya pembuktian untuk bisa menyampaikan hasilnya.
Ombudsman masih menunggu temuan dan surat dari Divisi Propam Polda Sumbar. Sampai saat ini terangnya, belum ada balasan terkait kasus tersebut. "Kalau Divisi Propam Polda masih memang tidak ada balasan, nanti kami akan mintakan klarifikasi kedua,” ucap Yefri.
Terpisah, Kepala Komnas HAM Perwakilan Sumbar Sultanul, mengatakan, pihaknya sudah menerima surat tersebut sejak bulan Maret lalu. Pelapor (Keluarga RK) menyampaikan kepada Komnas HAM, bahwa ada indikasi penyiksaan terhadap anak. "Hal itu sudah dilaporkan ke Polres Padang Panjang tapi belum ditindak langsung. kemudian pengadu dan keluarga mengalami intimidasi agar mencabut laporan dan lain-lain," kata Sultanul kepada Langgam.id, Selasa (18/7/2023).
Saat ini Komnas HAM telah meminta Polda Sumbar untuk memberikan keterangan terkait dugaan penyiksaan tersebut. Komnas HAM juga meminta agar Polres menindaklanjuti laporan penyiksaan oleh keluarga. Lalu, agar terlapor melakukan pemeriksaan kepada oknum anggota yang dilaporkan memakai tindak kekerasan.
Sultanul menjelaskan, permintaan tersebut telah dilayangkan langsung oleh Komnas HAM pusat pada tanggal 3 Juli 2023 kemarin. Hanya saja sampai saat ini belum ada balasan dari kepolisian. Pihaknya sedang menunggu balasan tersebut agar bisa melangkah lebih jauh. Ia juga menjelaskan, setelah ada balasan dari Polda, Komnas HAM Perwakilan Sumbar harus menunggu terlebih dahulu petunjuk dari pusat.
Dua laporan yang dilayangkan penasehat hukum RK di atas memiliki kendala yang sama. Yakni, pendalaman lebih lanjut belum bisa dilakukan, sebab masih menunggu jawaban dari Polda Sumbar.
Mengenai hal itu, Langgam.id kemudian menemui Pelaksana tugas (Plt) Kasi Propam Polres Padang Panjang Hutry Sony. Perihal tindak lanjut dari laporan tersebut. Hutry menjelaskan, laporan tersebut awalnya ditujukan ke Polda Sumbar. Kemudian lewat unit Pengamanan Internal (Paminal) Polda, memberikan surat kepadanya untuk ditindaklanjuti.
Hutry mengatakan pihaknya telah melakukan proses penyelidikan. "Saat ini penanganan laporan masih dalam tahap berjalan," ujarnya saat ditemui di ruangan Seksi Propam Polres Padang Panjang, Senin (17/07/2023).
Sampai saat ini baru dua anggota yang diindikasikan terlibat penganiayan yang telah diperiksa. Selain itu, bilang Hutry, RK dan kakaknya juga telah dimintai keterangan. “Masih ada beberapa orang lagi yang nantinya akan diperiksa,” katanya.
Ditanyai kendala terkait penyelidikan, Hutry menyebut ada beberapa orang yang belum hadir. "Mungkin karena orang itu sibuk," ujarnya. Selain itu, Propam Polres Padang Panjang juga belum menerima aduan masyarakat (dumas) dari pihak RK.
"Kalau ke Propam itu pengaduan dumas. Sementara laporannya masih laporan pengaduan di Reskrim. Ini terkendalanya, laporan pengaduannya masih ke Reskrim, belum dumas ke Propam. Mereka belum ke sini. Cuma karena sudah perintah dari Polda, itu perlu juga ditindaklanjuti, maka kita melakukan penyidikan," ucapnya.
Saat ini, pihaknya belum bisa menyampaikan temuan penyelidikan. Itu semua karena laporan masih dalam proses. Ia mengatakan pihaknya selalu terbuka dan akan menindak setiap anggota yang bermasalah.
Ada Pengabaian Penegakan Hukum Berperspektif Anak
Guru Besar hukum pidana Universitas Andalas Elwi Danil mengatakan terdapat perbedaan yang cukup signifikan terhadap penanganan perkara anak jika dibandingkan dengan orang dewasa. Baik dari sisi prosedur maupun dari aspek aparat yang terlibat di dalam penanganannya.
Ia menyebutkan, paling tidak secara khusus terdapat dua undang-undang yang mengatur soal perlindungan dan proses peradilan anak. Pertama Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak sebagaimana diubah dengan Undang-Undang No. 35 Tahun 2014. Kedua Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA). Di samping itu terdapat pula berbagai konvensi internasional yang sudah diratifikasi oleh Indonesia dan memberikan perhatian terhadap hak-hak anak.
Pasal 23 ayat (1) Undang-Undang SPPA mewajibkan dalam setiap pemeriksaan anak didampingi oleh penasihat hukum dan pembimbing kemasyarakatan. Atau oleh pembimbing lain yakni orang tua atau keluarga yang dipercaya si anak. "Dalam hal proses pemeriksaan yang tidak didampingi oleh PH/Keluarga, maka hasil pemeriksaan itu dapat dianggap tidak sah dan keterangan yang diberikan tidak dapat diterima hakim sebagai alat bukti yang sah," kata Prof. Elwi, Jum'at (21/7/2023).
Mantan Dekan Fakultas Hukum Unand itu juga menjelaskan, bahwa penegak hukum wajib memperhatikan kepentingan terbaik bagi anak dan mengusahakan suasana kekeluargaan tetap terpelihara. Hal itu berkaitan dengan proses penyidikan yang dialami RK.
Elwi mengatakan pemborgolan atau pemakaian baju tahanan terhadap anak dapat dikategorikan sebagai tindakan penegak hukum yang tidak memperhatikan kepentingan anak dan tidak memelihara suasana kekeluargaan.
Kewajiban seperti ini menurut ketentuan Pasal 18 UU SPPA, terangnya, tidak saja bagi penegak hukum, tapi juga bagi pihak-pihak terkait lainnya dalam proses perkara anak.
"Anak yang diperiksa tidak boleh mendapatkan ditekan, baik secara fisik maupun psikis. Kalau tekanan itu dilakukan oleh penyidik itu berarti telah melanggar hak anak yang harus dilindungi," tuturnya.
Dalam konteks ini, lebih dari itu, secara tegas disebutkan dalam Pasal 3 huruf e UU SPPA yang menentukan, "setiap anak dalam proses peradilan pidana berhak bebas dari penyiksaan, penghukuman atau perlakuan lain yang kejam, tidak manusiawi serta merendahkan derajat dan martabatnya."
Oleh sebab itu lanjutnya, penyidikan terhadap anak dilakukan oleh penyidik khusus yang ditetapkan berdasarkan Keputusan Kapolri, atau pejabat lain yang ditunjuk. Untuk dapat ditetapkan menjadi penyidik perkara anak, UU menentukan adanya syarat-syarat yang harus dipenuhi sebagaimana tersebut dalam Pasal 26 ayat (3) UU SPPA. Tapi dalam hal tidak ada penyidik khusus yang memenuhi syarat-syarat tersebut, maka penyidik dalam perkara orang dewasa boleh melakukan penyidikan dalam perkara anak.
Ditanya soal upaya kekerasan yang dilakukan polisi dalam pengungkapan suatu tindak pidana, Prof. Elwi mengatakan hal itu harus diukur secara proporsional.
"Menurut saya, dalam batas-batas tertentu, kadang-kadang petugas polisi itu harus keras, khususnya dalam menghadapi penjahat-penjahat yang berbahaya. Kita tidak bisa membayangkan kalau dalam menghadapi penjahat yang kejam, seorang petugas polisi itu ramah dan lemah lembut. Bisa-bisa itu bisa berbahaya bagi keselamatan polisi itu sendiri dan masyarakat pada umumnya," tuturnya.
"Hal semacam itulah yang disebut sebagai police hazard," lanjutnya menuturkan. Tapi jelas Prof. Elwi, itu semua tentunya tetap memperhatikan perlindungan HAM sebagai sesuatu yang diamanahkan. Dan kekerasan polisi itu tidak boleh terjadi dalam menangani perkara anak.
Ia berharap polisi dapat meningkatkan profesionalismenya dalam menangani setiap perkara pidana sebagai aparat penegak hukum dan sebagai penegak ketertiban. Ia menambahkan agar warga masyarakat secara bersama-sama turut membantu tugas-tugas kepolisian secara procedural. Serta menghargai polisi dalam melaksanakan tugas.
Terkait modus penggunaan kekerasan oleh aparat, Ketua Komnas HAM perwakilan Sumbar Sultanul, mengatakan, hal itu sering terjadi di pemeriksaan. Hal itu kata Sultanul dalam pengalamannya, digunakan untuk mendapat pengakuan lebih cepat saat.
"Hal itu tidak sesuai dengan prosedur. Masak memperoleh pengakuan orang dengan proses penyiksaan. Korban takut dan kemudian disiksa. Karena takut disiksa, akhirnya mereka mengaku. Nah itu yang ada terjadi biasanya," katanya.
Yefri Heriani mengatakan sebenarnya telah ada Undang-Undang yang mengatur terkait anak yang berhadapan dengan hukum. Hanya saja, ia menemukan catatan, apakah aturan itu dipahami oleh penyelenggara negara (kepolisian) atau tidak.
Namun dari beberapa laporan yang ada ungkap Yefri, indikasi kesalahan yang sering muncul di Ombudsman antara lain: pelanggaran prosedur, dugaan penundaan (penyelesaiannya) berlarut, atau tidak diberikan layanan.
"Tidak diberikan layanan itu bisa di indikasi bahwa, disuruh tu dulu. Langsung diselesaikan di keluarga (mediasi -red). Itu ada beberapa laporan-laporannya," ujarnya, Selasa (18/07/2023).
Yefri yakin bahwasannya aparat pasti memiliki pengetahuan terhadap prosedur yang diatur Undang-Undang. Sebab aturannya telah lama ada. Namun yang jadi titik tekan Ombudsman bukanlah soal kompetensi aparat. Melainkan, apakah penegak hukum taat terhadap prosedur yang ada. Atau apakah aparat tidak menyalahgunakan wewenang?
Tidak menyelenggarakan pelayanan sesuai aturannya. Atau abai atas standar layanan yang telah ditetapkan. Yefri mengatakan itu semua akan merugikan masyarakat.
“Jadi yang kita perhatikan itu bukan hanya pada soal dia tidak mengerti. Tapi keabaian. Intinya tidak patuh pada standar pelayanan yang telah diatur oleh Undang-Undang. Nanti hal itu bisa dikaitkan dengan kompetensinya,” tandasnya. (*/Yh)