Orientalis Belanda Jacob Vandenbregt dalam artikelnya “Ibadah Haji: Beberapa Ciri dan Fungsinya” (1991) menggambarkan dengan apik sisi sosiologis haji. Dengan setting biografi Muhammad Radjab, seorang tokoh penting Minangkabau, Vandenbregt antara lain mencatat bahwa haji ternyata tidak semata-mata memiliki dampak teologis, tetapi juga sosiologis antropologis. Posisi sosial, bahkan transisi kehidupan dipertegas sekembalinya seorang haji ke tengah komunitasnya.
Menurut Vandenbregt, martabat tinggi yang diperoleh seorang haji sepulang dari Mekkah membuat banyak anak muda ingin berangkat sambil belajar agama di Haramain. Pulang haji, mereka melengkapi diri dengan berbagai asesoris dan simbol haji seperti serban dan lainnya. Lebih dari itu, para haji muda mulai menyiapkan diri dilamar untuk dinikahkan. Mereka juga mempertegas transisi kehidupannya dari era sebelumnya kepada era hidup baru pasca haji dengan memakai nama baru yang diberikan syekh di Mekkah. Inilah barangkali argumentasi historis dan sosio-antropologis di balik pemakaian sejumlah atribut haji bagi Muslim yang telah menunaikan rukun Islam kelima ini.
Dari Atribut Hingga Status Sosial
Meski sebagian muslim menanggalkan simbol-simbol fisik haji, namun umumnya masih memakai asesoris sebagai penciri khas, seperti peci dan sorban terutama pada momen tertentu. Begitu pula penulisan gelar Haji (H) maupun Hajjah (Hj) di awal nama masih lumrah dan bahkan dinilai sebagai kewajaran dan kepantasan. Ini terutama lantaran rukun Islam kelima itu hanya bisa ditunaikan bagi yang memiliki kemampuan finansial, selain fisik dan psikis yang prima. Dalam konteks sekarang, waiting list haji reguler hingga 30 tahun lebih di sebagian daerah, menjadi kendala tersendiri yang butuh kesabaran tinggi. Karenanya, keberhasilan berhaji dengan perjuangan demikian berat, dipandang prestisius sehingga perlu diabadikan dengan gelar maupun panggilan yang berpengaruh pada status sosial. Selain itu posisi Mekah sebagai pusat spiritual, legitimasi kekuasaan dan keilmuan muslim (Van Bruinessen, 1991) menambah rekognisi untuk mendapatkan achieved status dalam sistem sosial.
Secara historis, sejumlah peneliti memastikan bahwa gelar Haji justru dilegalkan oleh pemerintah kolonial di pertengahan abad 19 dengan tujuan memudahkan identifikasi pasca haji untuk pengawasan karena dianggap sangat potensial melawan kekuasaan. Dien Majid dalam Berhaji di Masa Kolonial (2008) mencatat peraturan Staatsblad van Nederlandsch Indië tahun 1859 tentang ujian bagi mereka yang pulang berhaji. Penguasa lokal bersama ulama setempat mengevaluasi dengan sejumlah pertanyaan mengenai situs suci, dan kemudian memberi sertifikat, hak gelar haji, dan izin memakai atribut haji. Bagi yang gagal atau tidak bisa membuktikan kunjungan, selain larangan pemakaian gelar dan atribut, juga dikenakan denda 25 hingga 100 gulden.
Apresiasi sosiologis yang diterima para haji cukup variatif, sejak dari status sosial yang diberikan lingkungan hingga pemanfaatan elit penguasa sebagai resources politik. Menurut Zainuddin (2013), di kalangan pedagang Betawi, haji menaikkan status sosial sejajar elit keagamaan lainnya seperti kyai atau ulama, terlepas apakah gelar itu linear dengan kualitas keberagamaannya. Bahkan, menjadi legitimasi untuk poligami dan status sosial isteri pun meningkat terlepas dari posisinya dimadu atau tidak. Sedangkan bagi masyarakat pedesaan Madura dan juga Malang, ibadah haji menjadi bagian cita-cita hidup, sehingga nilainya amat istimewa. Pengeluaran biaya besar untuk berhaji dipercaya tidak akan menyebabkan ekonomi jatuh pailit, bahkan haji membuat orang menjadi kaya karena harta yang digunakan berhaji tidak pernah akan habis.
Mabrur dan Kesalehan Sosial Haji
Sejatinya sebagai rukun Islam kelima dan puncak ibadah, haji bisa membentuk seorang muslim paripurna dalam beragama. Tentu saja tidak hanya terkait aspek ritual personal, tetapi juga kebaikan sosial. Karena secara prinsip, setiap ibadah dalam Islam memiliki nilai horizontal atau hablum minannas yang berkontribusi sosial, di samping nilai vertikal atau hablum minallah. Dalam konteks berhaji, mestinya pelaku tidak hanya terfokus pada ritual manasik, tetapi juga nilai simbolik dan tujuan hakiki yang ingin diraih. Serentetan manasik penuh simbol bermakna sosial kemanusiaan berlangsung sepanjang ibadah haji. Misalnya saja prosesi ihram sebagai awal haji, dilakukan dengan menanggalkan pakaian biasa dan memakai pakaian khusus putih-putih tak berjahit yang sama bagi semua jamaah tanpa kecuali. Simbol diakhirinya segala perbedaan kelas, latar primordial, dan status sosial ini mestinya mengejawantah pasca haji, bukan justru mengkonstruksinya kembali setiba di tanah air dengan berbagai atribut dan gelar haji.
Begitu juga prediket mabrur sebagai tujuan ideal haji, sangat terkait erat dengan kepedulian sosial. Mabrur dalam haji ibarat prestasi summa cumlaude yang diraih dalam studi, yakni pencapaian tertinggi dan prestisius. Hakikat mabrur seperti ditegaskan Nabi Muhammad Saw dalam hadis riwayat Ahmad, adalah “ith‘amut tha‘am” dan “ifsya’us salam”, yakni memberi makan orang lapar dan menebarkan kedamaian. Kedua amal ini menyangkut kepekaan terhadap problem sosial. Artinya, karakteristik individu yang telah mencapai prediket mabrur ditandai oleh kepedulian yang tinggi pada sesama. “Memberi makan” bisa dimaknai lebih luas sebagai kebutuhan primer fisik, sedangkan “menebarkan kedamaian” berkonotasi non fisik.
Berkaca pada kriteria mabrur di atas, dalam konteks Indonesia, angka jemaah haji yang terus naik sejatinya berbanding lurus dan signifikan dengan penurunan kemiskinan. Artinya, semakin banyak jumlah jemaah haji maka akan semakin sedikit masyarakat yang miskin, karena para hujjaj tersebut akan maksimal dalam pengentasan kemiskinan dan seabreg social problem lainnya. Pada momen haji 2023 ini, angka jemaah asal Indonesia menempati posisi tertinggi mencapai 229.000 orang dengan tingkat persebaran daerah asal yang relatif merata. Karena itu, jika sekembali ke tanah air mereka dalam keadaan mabrur, maka persoalan kesejahteraan masyarakat yang masih rendah mestinya cukup bisa diatasi, meski berskala kecil di lingkungan masing-masing.
Data kemiskinan per September 2022 seperti dirilis BPS (bps.go.id/16/01/23) menunjukkan trend yang masih tinggi, berkisar di angka 9,57% atau 26,36 juta jiwa, dan meningkat 0,03 poin terhadap Maret 2022. Angka-angka ini mestinya menjadi concern para jemaah haji tentang beratnya tugas kemanusiaan di pundak mereka. Dari perspektif fikih prioritas, pengentasan kemiskinan yang masih merajalela, barangkali lebih utama dari sekedar haji berulang-ulang. Di tengah kondisi umat yang masih terpuruk ini, ada baiknya dicermati kritik Imam Ghazali dalam magnum opus-nya Ihya’ Ulumuddin seperti dikutip Mihrob (2019). Ghazali mengkritisi mereka yang bersikeras mengeluarkan harta untuk pergi haji berulang kali, sementara membiarkan tetangganya kelaparan. Ia menukil Ibnu Mas’ud yang mengingatkan di akhir zaman akan banyak orang berhaji tanpa sebab. Meski mereka mudah melakukannya karena rezeki yang lancar, tapi pulang tanpa pahala lantaran tidak menghiraukan tetangga yang kesulitan di hadapannya. Wallahu a’lam. (*)
Dr. Faisal Zaini Dahlan adalah Dosen Studi Agama-Agama UIN Imam Bonjol Padang